Selasa, 23 November 2021

LELUHUR ATAU PITARA

 



Leluhur adalah arwah nenek yang moyang atau orang tua yang telah meninggal. Mereka masih mempunyai hubungan rohani dengan yang masih hidup. Mereka merupakan asal mulanya keluarga tersebut yang lazim disebut dengan Pitara. Sebagai asal ia disebut Kemulan atau Kemimitan. Kemimitan berasal dari urat kata "Wit" yang berarti "Asal" mula. Ibuk Bapak yang mengadakan kita, kalau telah meninggal ia dikatakan leluhur kita nyata.

Kakek dan nenek yang telah meninggal juga leluhur kita. Biasanya leluhur ditarik sampai tiga tingkat. Menurut kepercayaan agama Hindu mereka yang ada hubungannya dengan menurunkan kita dari pihak laki-laki dan keluarga laki-laki disebut leluhur.
Leluhur laki disebut Pitara (Pitra) dan leluhur perempuan disebut Pitari. Semua rokh orang tua yang telah meninggal diupacarakan untuk dapat disebut Pitara atau Pitari. Arwah inilah yang diminta ikut melindungi keturunannya.
Sebagai keturunannya mereka berhutang kepada leluhur. Karena leluhur atau Ibuk Bapak memelihara badan kita, memelihara hidup atau jiwa kita yaitu dengan cara memberi makan, minum dan cara pemeliharaan yang lain misalnya, mengadakan upacara yajña sejak dalam kandungan, mendidik supaya menjadi anak Suputra yakni anak yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Demikianlah jasa orang tua dengan payah memelihara anak disertai dengan doa dan berusaha supaya anaknya menjadi anak yang berguna.
Dengan mempunyai anak Suputra berarti orang tua merasa mendapat sorga (kebahagiaan) baik sekala maupun (sekarang) niskala (setelah mati). Karena jasa-jasa orang tua tersebut, maka dengan sendirinya kita berhutang budi kepada beliau. Hutang itu harus kita bayar walaupun kita tidak akan mampu melunasinya. Hutang itu kita bayar dengan cara sebagai berikut :
Pitra Yajña yaitu hutang yang dibayar setelah orang tua itu meninggal, misalnya upacara Ngaben, Tiwah atau semacamnya adalah untuk membayar hutang kepada orang tua yang telah meninggal.
Bila upacara Atma Wedana atau Ngaben telah selesai, Rokh leluhur menjadi suci. Rokh ini yang ditempatkan di sanggar pemujaan keluarga.
OM Shanti.

Jumat, 19 November 2021

Pesan para leluhur di hari Kuningan (Lontar Sundarigama).

 



1. Hendaknya sembahyang sebelum waktu pukul 12 siang.

.—'Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari, para dewatā telah kembali ke kahyangan.'
2. Pada Hari Kuningan, para dewa dan leluhur turun ke bumi.
.—'Pada Hari Kuningan, para dewata diiringi oleh para leluhur turun ke dunia untuk melakukan penyucian dan kemudian menikmati hasil persembahan yadnya.'
3. Jenis-jenis perlengkapan upacara yang hendak dipersiapkan.
.—'Banten yang dipersembahkan untuk pelinggih-pelinggih adalah segehan dan setanggi, tebog serta raka-raka, lengkap dengan pasucian dan canang wangi selengkapnya. Di pelinggih-pelinggig agar dipasang gantungan-gantungan dengan tamiang, caniga pada treptepan, juga pada tempat ternak.'
4. Media nasi kuning.
.—'Untuk upacara manusia dipergunakan sesayut prayascita lewih, berupa punjung nasi kuning, dengan ikan itik putih (betutu), penyeneng dan tetabus. Tujuannya adalah untuk memperoleh pikiran yang suci. Dan untuk itu lakukanlah perenungan suci.'
______________________________
Bhagavad-gītā (5.29)
bhoktāraṁ yajña-tapasāṁ
sarva-loka-maheśvaram
suhṛdaṁ sarva-bhūtānāṁ
jñātvā māṁ śāntim ṛcchati
.—'Orang yang sadar kepada-Ku sepenuhnya, karena ia mengenal Aku sebagai penerima utama segala korban suci dan pertapaan, Tuhan Yang Maha Esa penguasa semua planet dan dewa, dan penolong yang mengharapkan kesejahteraan semua makhluk hidup, akan mencapai kedamaian dari penderitaan kesengsaraan material.'
______________________________
Photo: @wayan.yatika

Senin, 08 November 2021

"Karma" hanya mungkin dalam tubuh manusia.




 Tubuh lain seperti babi, kambing, kerbau adalah buah karma dari kelahiran sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukan karma baik atau buruk dalam tubuh ini, jadi satu-satunya cara mukti mereka adalah dengan mengorbankan mereka dalam kurban suci.

यज्ञार्थं पशवः सृष्टाः स्वयमेव स्वयम्भुवा।⁣
यज्ञोऽस्य भूत्यै सर्वस्य तस्माद् यज्ञे वधोऽवधः॥
Manu Smṛti (5.39).—'Hewan-hewan telah diciptakan oleh Prajāpati (Tuhan) untuk tujuan kurban suci demi kesejahteraan seluruh dunia. Membunuhnya pada upacara kurban bukanlah kegiatan kekerasan sama sekali.'
Manu Smṛti, atau di Nusantara dikenal dengan nama Mānava-Dharmaśāstra adalah kitab Hukum Tertinggi Sanātana-Dharma, seperti yang disebutkan dalam Veda Śruti (Yajurveda, Taittirīya Saṁhitā, 2.2.10.2): मानवी ऋचौ धाय्ये कुर्याद्यद्वै किं च मनुर्वदत्तद्भेषजम्.—'Dia harus mengutip śloka-śloka dari Manu; apa pun yang dikatakan Manu adalah kebenaran.'
• Lalu apa yang diharapkan umat manusia secara niṣkala?
1. Hewan yang dikurbankan akan dibebaskan, naik ke surga & akan terlahir kembali mendapatkan tubuh yang lebih tinggi (tubuh manusia).
ओषध्यः पशवो वृक्षास्तिर्यञ्चः पक्षिणस्तथा ।
यज्ञार्थं निधनं प्राप्ताः प्राप्नुवन्त्युत्सृतीः पुनः ॥ ४० ॥
Manu Smṛti (5.40).—'Tumbuh-tumbuhan dan hewan yang dipakai dalam upacara, akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.'
2. Praṇā (energi) hewan yang disembelih akan menjadi āhāra (makanan) untuk Bhagavatī Parameśvarī Caṇḍikā Mahāmāyā, yang adalah Śakti Agung atau permaisuri Tuhan.
अर्चिष्यन्ति मनुष्यास्त्वां सर्वकामवरेश्वरीम् । धूपोपहारबलिभि: सर्वकामवरप्रदाम् ॥ १० ॥
Bhāgavata Purāṇa (10.2.10).—'O Durgā, dengan pengorbanan hewan, umat manusia akan menyembah-Mu dengan indah, dengan berbagai perlengkapan, karena Kau adalah yang tertinggi dalam memenuhi keinginan material semua umat.'
3. Darahnya akan dikonsumsi oleh para bhūta.
अध्यापनं ब्रह्मयज्ञः पितृयज्ञस्तु तर्पणम् ।
होमो दैवो बलिर्भौतो नृयज्ञोऽतिथिपूजनम् ॥ ७० ॥
Manu Smṛti (3.70).—'Upacara Bali (caru) adalah persembahan untuk bhūta (elemental).
4. Dagingnya akan menjadi makanan yang layak (yajña-śiṣṭa) untuk umat manusia.
क्रीत्वा स्वयं वाऽप्युत्पाद्य परोपकृतमेव वा ।
देवान् पितॄंश्चार्चयित्वा खादन् मांसं न दुष्यति ॥ ३२ ॥
Manu Smṛti (5.32).—'Setelah membelinya, atau menyembelihnya sendiri, atau di dapatnya karena menerima pemberian dari orang lain,—jika seseorang makan daging setelah atau pada waktu memuja Dewatā dan Pitṛ (leluhur), ia tidak terikat dosa pembunuhan.'
______________________________
Lontar Sundarigama (8c).—'Pada hari Penampahan, Sang Bhūta Galungan mencari makan. Maka sediakan suguhan kurban caru untuk para bhūta. Persembahan kepada bhūtakāla boleh sederhana, sedang atau besar.'
📸: @kakang_photoworks

Jumat, 05 November 2021

Metanding adalah ritual penebusan dosa




 Metanding adalah ritual penebusan dosa (prāyaścitta) dalam kehidupan sehari-hari bagi seorang perumah tangga.

Seperti disinggung oleh Mānava-Dharmaśāstra (3.68) ada 5 tempat penjagalan di dalam rumah:
1. Ketika kita menyapu, kita menginjak begitu banyak serangga kecil, kita membunuhnya.
2. Saat kita minum air, di bawah tempayan ada banyak semut, mereka terbunuh.
3. Ketika kita menyalakan api, ada begitu banyak hewan-hewan kecil, mereka juga ikut terbakar.
4. Saat kita menggosok lesung, begitu banyak mikroba kecil yang terbunuh. Atau
5. Disaat kita membunuh mereka untuk menjadi santapan, kita mengambil nyawa mereka.
Jadi kita bertanggung jawab atas kematian mereka, mau atau tidak mau, kita terjerat dalam begitu banyak aktifitas berdosa.
तासां क्रमेण सर्वासां निष्कृत्यर्थं महर्षिभिः ।
पञ्च कॢप्ता महायज्ञाः प्रत्यहं गृहमेधिनाम् ॥ ६९ ॥


(3.69-70).—"Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian ke-5 alat itu para mahaṛṣi telah memutuskan untuk para perumah tangga agar setiap harinya melakukan pañca-yajña, yaitu:
1. Ṛṣi-yajña, dengan memahami sedalam-dalamnya tujuan hidup & menghormati guru,
2. Pitra-yajña, dengan menghaturkan persembahan harian kepada leluhur,
3. Deva-yajña, dengan menghaturkan persembahan harian kepada dewatā,
4. Bhūta-yajña, dengan melalukan upacara kurban (caru) atau persembahan harian kepada elemental (bhūta),
5. Manuṣya-yajña, dengan memperlakukan tamu atau sesama manusia dengan sikap ramah."
(3.71).—"Dia yang tidak mengabaikan 5 pengorbanan ini, dengan kemampuan terbaiknya — tidak menjadi ternoda oleh dosa pembunuhan, meskipun ia tinggal di rumah itu."
(3.72).—"Dia yang tidak memberikan persembahan kepada 5 persembahan—pada hakekatnya ia tidak hidup walaupun bernafas."
______________________________
Catatan: Di Bali, persembahan harian dapat dilakukan dengan media canang atau mesaiban.
Bhagavad Gītā (7-21-22 & 9.24).—"Memuja mereka sama dengan memuja-Ku karena Aku bersemayam di hati para dewa, leluhur, di hati setiap insan sebagai Antarātmān. Satu-satunya Aku yang menikmati dan menguasai segala kurban suci."
📸: @madewedastra

Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh aktivitas berdosa tanpa kita sadari

 



Apa pun yang kita lakukan di dunia material ini, ada semacam aktivitas berdosa tanpa kita sadari.

Seperti disinggung oleh Mānava-Dharmaśāstra (3.68), ketika kita menyapu, kita menginjak begitu banyak hewan. Saat kita minum air, di bawah tempayan ada banyak semut, mereka terbunuh. Ketika kita menyalakan api, ada begitu banyak hewan-hewan kecil, mereka juga ikut terbakar. Saat kita menggosok lesung, begitu banyak mikroba kecil yang terbunuh. Atau disaat kita membunuh mereka untuk menjadi santapan, kita mengambil nyawa mereka. Jadi kita bertanggung jawab atas kematian mereka, mau atau tidak mau, kita terjerat dalam begitu banyak aktifitas berdosa.
तासां क्रमेण सर्वासां निष्कृत्यर्थं महर्षिभिः ।
पञ्च कॢप्ता महायज्ञाः प्रत्यहं गृहमेधिनाम् ॥ ६९ ॥
(3.69-70).—"Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian ke-5 alat itu para mahaṛṣi telah memutuskan untuk para perumah tangga agar setiap harinya melakukan pañca-yajña, yaitu:

(1). Ṛṣi-yajña, dengan memahami sedalam-dalamnya tujuan hidup & menghormati guru,
(2). Pitra-yajña, dengan menghaturkan persembahan harian kepada leluhur,
(3). Deva-yajña, dengan menghaturkan persembahan harian kepada dewatā,
(4). Bhūta-yajña, dengan melakukan upacara kurban (caru) atau persembahan harian kepada elemental (bhūta),
(5). Manuṣya-yajña, dengan memperlakukan tamu atau sesama manusia dengan sikap ramah."
पञ्चैतान् यो महाऽयज्ञान्न हापयति शक्तितः ।
स गृहेऽपि वसन्नित्यं सूनादोषैर्न लिप्यते ॥ ७१ ॥
(3.71).—"Dia yang tidak mengabaikan 5 pengorbanan ini, dengan kemampuan terbaiknya — tidak menjadi ternoda oleh dosa pembunuhan, meskipun ia tinggal di rumah itu."
देवताऽतिथिभृत्यानां पितॄणामात्मनश्च यः ।
न निर्वपति पञ्चानामुच्छ्वसन्न स जीवति ॥ ७२ ॥
(3.72).—"Dia yang tidak memberikan persembahan kepada 5 persembahan — pada hakekatnya ia tidak hidup walaupun bernafas."
______________________________
Catatan: Di Bali, persembahan harian dapat dilakukan dengan media canang atau mesaiban.
Bhagavad Gītā (7-21-22 & 9.24).—"Memuja mereka sama dengan memuja-Ku karena Aku bersemayam di hati para dewa, leluhur, di hati setiap insan. Satu-satunya Aku yang menikmati segala kurban suci."
📸: @rahjunn87

4 hal yang harus dilakukan di Rahinan Sugihan Jawa

 



Di hari Sugihan Jawa ini, lontar Sundarigama menyebutkan:—

1. 𝒓𝒆𝒓𝒆𝒔𝒊𝒌 𝒓𝒊𝒏𝒈 𝒃𝒉𝒂𝒕𝒂𝒓𝒂, 𝒔𝒂𝒉𝒂 𝒑𝒖𝒔𝒑𝒂 𝒘𝒂𝒏𝒈𝒊 = sembah bhakti kehadapan Ida Bhaṭāra dengan mempersembahkan bunga;
2. 𝒘𝒓𝒖𝒉𝒊𝒏𝒈 𝒕𝒂𝒕𝒕𝒘𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒂𝒅𝒊 𝒑𝒂𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒐𝒈𝒂 = mengendalikan pikiran atau melepaskan pikiran terhadap kepuasan indria-indria;
3. 𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒊𝒌𝒖 𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒓𝒈𝒉𝒂 𝒑𝒖𝒋𝒂 = para pendeta melakukan puja stuti;
4. 𝒔𝒆𝒔𝒂𝒚𝒖𝒕 𝒎𝒘𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒖𝒕𝒘𝒂𝒏 = natab banten sesayut disertai banten tutuan.
Mengapa keempat ini dilakukan di hari Sugihan Jawa?
𝙖𝙥𝙖𝙣 𝙗𝙝𝙖𝙩𝙖𝙧𝙖 𝙩𝙪𝙧𝙪𝙣 𝙧𝙞𝙣𝙜 𝙢𝙖𝙙𝙮𝙖 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙢𝙞𝙡𝙪 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙚𝙬𝙖 𝙥𝙞𝙩𝙖𝙧𝙖, 𝙖𝙢𝙪𝙠𝙩𝙞 𝙢𝙖𝙣𝙩𝙚𝙣, 𝙝𝙖𝙙𝙮𝙪𝙨 𝙩𝙚𝙠𝙖𝙣𝙞𝙣𝙜 𝙜𝙖𝙡𝙪𝙣𝙜𝙖𝙣
.—"Sebab pada hari ini Tuhan dalam wujud Bhaṭāra dan Pitara (leluhur) turun menikmati penyucian sampai pada hari Galungan."
______________________________
Dewasa ini Sugihan Jawa dalam mengikuti arusnya dipandang sebagai hari penyucian terhadap bhuwana-agung (alam semesta). Tattwa dari penyucian alam semesta secara filosofi adalah memandikan Tuhan sebagaimana alam semesta ini adalah wujud virāṭ atau badan-Nya.
.—"Sujud pada Sadāśiva, yang wujud-Nya adalah langit, bumi, segala penjuru mata angin, air, api dan waktu yang abadi. Sujud pada Sadāśiva yang tidak termanifestasikan, yang dari-Nya wujud Puruṣa keluar bersama sifat asalnya. Sujud pada Śiva yang menciptakan seluruh semesta ini dalam wujud Brahmā, yang melindungi dalam wujud Viṣṇu, dan yang menghancurkan dalam wujud Rudra."
Śiva Purāṇa, 2.2.6.17-19

______________________________
.—"Akulah kurban suci, ritus pengurbanan, Akulah apa yang kau persembahkan, Aku adalah kurban yang dikurbankan dan Aku adalah orang yang khusyuk dalam upacara kurban. Aku juga yang memberkahi pengurbanan itu. Siapakah dia? Siapakah kau? Siapakah kalian? Pada kenyataannya semua itu adalah Aku, Aku adalah realitas satu-satunya di alam semesta."
Śiva Purāṇa, 2.2.26.47-48
______________________________
Photo: @yande_zetia