Selasa, 23 November 2021

LELUHUR ATAU PITARA

 



Leluhur adalah arwah nenek yang moyang atau orang tua yang telah meninggal. Mereka masih mempunyai hubungan rohani dengan yang masih hidup. Mereka merupakan asal mulanya keluarga tersebut yang lazim disebut dengan Pitara. Sebagai asal ia disebut Kemulan atau Kemimitan. Kemimitan berasal dari urat kata "Wit" yang berarti "Asal" mula. Ibuk Bapak yang mengadakan kita, kalau telah meninggal ia dikatakan leluhur kita nyata.

Kakek dan nenek yang telah meninggal juga leluhur kita. Biasanya leluhur ditarik sampai tiga tingkat. Menurut kepercayaan agama Hindu mereka yang ada hubungannya dengan menurunkan kita dari pihak laki-laki dan keluarga laki-laki disebut leluhur.
Leluhur laki disebut Pitara (Pitra) dan leluhur perempuan disebut Pitari. Semua rokh orang tua yang telah meninggal diupacarakan untuk dapat disebut Pitara atau Pitari. Arwah inilah yang diminta ikut melindungi keturunannya.
Sebagai keturunannya mereka berhutang kepada leluhur. Karena leluhur atau Ibuk Bapak memelihara badan kita, memelihara hidup atau jiwa kita yaitu dengan cara memberi makan, minum dan cara pemeliharaan yang lain misalnya, mengadakan upacara yajña sejak dalam kandungan, mendidik supaya menjadi anak Suputra yakni anak yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Demikianlah jasa orang tua dengan payah memelihara anak disertai dengan doa dan berusaha supaya anaknya menjadi anak yang berguna.
Dengan mempunyai anak Suputra berarti orang tua merasa mendapat sorga (kebahagiaan) baik sekala maupun (sekarang) niskala (setelah mati). Karena jasa-jasa orang tua tersebut, maka dengan sendirinya kita berhutang budi kepada beliau. Hutang itu harus kita bayar walaupun kita tidak akan mampu melunasinya. Hutang itu kita bayar dengan cara sebagai berikut :
Pitra Yajña yaitu hutang yang dibayar setelah orang tua itu meninggal, misalnya upacara Ngaben, Tiwah atau semacamnya adalah untuk membayar hutang kepada orang tua yang telah meninggal.
Bila upacara Atma Wedana atau Ngaben telah selesai, Rokh leluhur menjadi suci. Rokh ini yang ditempatkan di sanggar pemujaan keluarga.
OM Shanti.

Jumat, 19 November 2021

Pesan para leluhur di hari Kuningan (Lontar Sundarigama).

 



1. Hendaknya sembahyang sebelum waktu pukul 12 siang.

.—'Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari, para dewatā telah kembali ke kahyangan.'
2. Pada Hari Kuningan, para dewa dan leluhur turun ke bumi.
.—'Pada Hari Kuningan, para dewata diiringi oleh para leluhur turun ke dunia untuk melakukan penyucian dan kemudian menikmati hasil persembahan yadnya.'
3. Jenis-jenis perlengkapan upacara yang hendak dipersiapkan.
.—'Banten yang dipersembahkan untuk pelinggih-pelinggih adalah segehan dan setanggi, tebog serta raka-raka, lengkap dengan pasucian dan canang wangi selengkapnya. Di pelinggih-pelinggig agar dipasang gantungan-gantungan dengan tamiang, caniga pada treptepan, juga pada tempat ternak.'
4. Media nasi kuning.
.—'Untuk upacara manusia dipergunakan sesayut prayascita lewih, berupa punjung nasi kuning, dengan ikan itik putih (betutu), penyeneng dan tetabus. Tujuannya adalah untuk memperoleh pikiran yang suci. Dan untuk itu lakukanlah perenungan suci.'
______________________________
Bhagavad-gītā (5.29)
bhoktāraṁ yajña-tapasāṁ
sarva-loka-maheśvaram
suhṛdaṁ sarva-bhūtānāṁ
jñātvā māṁ śāntim ṛcchati
.—'Orang yang sadar kepada-Ku sepenuhnya, karena ia mengenal Aku sebagai penerima utama segala korban suci dan pertapaan, Tuhan Yang Maha Esa penguasa semua planet dan dewa, dan penolong yang mengharapkan kesejahteraan semua makhluk hidup, akan mencapai kedamaian dari penderitaan kesengsaraan material.'
______________________________
Photo: @wayan.yatika

Senin, 08 November 2021

"Karma" hanya mungkin dalam tubuh manusia.




 Tubuh lain seperti babi, kambing, kerbau adalah buah karma dari kelahiran sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukan karma baik atau buruk dalam tubuh ini, jadi satu-satunya cara mukti mereka adalah dengan mengorbankan mereka dalam kurban suci.

यज्ञार्थं पशवः सृष्टाः स्वयमेव स्वयम्भुवा।⁣
यज्ञोऽस्य भूत्यै सर्वस्य तस्माद् यज्ञे वधोऽवधः॥
Manu Smṛti (5.39).—'Hewan-hewan telah diciptakan oleh Prajāpati (Tuhan) untuk tujuan kurban suci demi kesejahteraan seluruh dunia. Membunuhnya pada upacara kurban bukanlah kegiatan kekerasan sama sekali.'
Manu Smṛti, atau di Nusantara dikenal dengan nama Mānava-Dharmaśāstra adalah kitab Hukum Tertinggi Sanātana-Dharma, seperti yang disebutkan dalam Veda Śruti (Yajurveda, Taittirīya Saṁhitā, 2.2.10.2): मानवी ऋचौ धाय्ये कुर्याद्यद्वै किं च मनुर्वदत्तद्भेषजम्.—'Dia harus mengutip śloka-śloka dari Manu; apa pun yang dikatakan Manu adalah kebenaran.'
• Lalu apa yang diharapkan umat manusia secara niṣkala?
1. Hewan yang dikurbankan akan dibebaskan, naik ke surga & akan terlahir kembali mendapatkan tubuh yang lebih tinggi (tubuh manusia).
ओषध्यः पशवो वृक्षास्तिर्यञ्चः पक्षिणस्तथा ।
यज्ञार्थं निधनं प्राप्ताः प्राप्नुवन्त्युत्सृतीः पुनः ॥ ४० ॥
Manu Smṛti (5.40).—'Tumbuh-tumbuhan dan hewan yang dipakai dalam upacara, akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.'
2. Praṇā (energi) hewan yang disembelih akan menjadi āhāra (makanan) untuk Bhagavatī Parameśvarī Caṇḍikā Mahāmāyā, yang adalah Śakti Agung atau permaisuri Tuhan.
अर्चिष्यन्ति मनुष्यास्त्वां सर्वकामवरेश्वरीम् । धूपोपहारबलिभि: सर्वकामवरप्रदाम् ॥ १० ॥
Bhāgavata Purāṇa (10.2.10).—'O Durgā, dengan pengorbanan hewan, umat manusia akan menyembah-Mu dengan indah, dengan berbagai perlengkapan, karena Kau adalah yang tertinggi dalam memenuhi keinginan material semua umat.'
3. Darahnya akan dikonsumsi oleh para bhūta.
अध्यापनं ब्रह्मयज्ञः पितृयज्ञस्तु तर्पणम् ।
होमो दैवो बलिर्भौतो नृयज्ञोऽतिथिपूजनम् ॥ ७० ॥
Manu Smṛti (3.70).—'Upacara Bali (caru) adalah persembahan untuk bhūta (elemental).
4. Dagingnya akan menjadi makanan yang layak (yajña-śiṣṭa) untuk umat manusia.
क्रीत्वा स्वयं वाऽप्युत्पाद्य परोपकृतमेव वा ।
देवान् पितॄंश्चार्चयित्वा खादन् मांसं न दुष्यति ॥ ३२ ॥
Manu Smṛti (5.32).—'Setelah membelinya, atau menyembelihnya sendiri, atau di dapatnya karena menerima pemberian dari orang lain,—jika seseorang makan daging setelah atau pada waktu memuja Dewatā dan Pitṛ (leluhur), ia tidak terikat dosa pembunuhan.'
______________________________
Lontar Sundarigama (8c).—'Pada hari Penampahan, Sang Bhūta Galungan mencari makan. Maka sediakan suguhan kurban caru untuk para bhūta. Persembahan kepada bhūtakāla boleh sederhana, sedang atau besar.'
📸: @kakang_photoworks

Jumat, 05 November 2021

Metanding adalah ritual penebusan dosa




 Metanding adalah ritual penebusan dosa (prāyaścitta) dalam kehidupan sehari-hari bagi seorang perumah tangga.

Seperti disinggung oleh Mānava-Dharmaśāstra (3.68) ada 5 tempat penjagalan di dalam rumah:
1. Ketika kita menyapu, kita menginjak begitu banyak serangga kecil, kita membunuhnya.
2. Saat kita minum air, di bawah tempayan ada banyak semut, mereka terbunuh.
3. Ketika kita menyalakan api, ada begitu banyak hewan-hewan kecil, mereka juga ikut terbakar.
4. Saat kita menggosok lesung, begitu banyak mikroba kecil yang terbunuh. Atau
5. Disaat kita membunuh mereka untuk menjadi santapan, kita mengambil nyawa mereka.
Jadi kita bertanggung jawab atas kematian mereka, mau atau tidak mau, kita terjerat dalam begitu banyak aktifitas berdosa.
तासां क्रमेण सर्वासां निष्कृत्यर्थं महर्षिभिः ।
पञ्च कॢप्ता महायज्ञाः प्रत्यहं गृहमेधिनाम् ॥ ६९ ॥


(3.69-70).—"Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian ke-5 alat itu para mahaṛṣi telah memutuskan untuk para perumah tangga agar setiap harinya melakukan pañca-yajña, yaitu:
1. Ṛṣi-yajña, dengan memahami sedalam-dalamnya tujuan hidup & menghormati guru,
2. Pitra-yajña, dengan menghaturkan persembahan harian kepada leluhur,
3. Deva-yajña, dengan menghaturkan persembahan harian kepada dewatā,
4. Bhūta-yajña, dengan melalukan upacara kurban (caru) atau persembahan harian kepada elemental (bhūta),
5. Manuṣya-yajña, dengan memperlakukan tamu atau sesama manusia dengan sikap ramah."
(3.71).—"Dia yang tidak mengabaikan 5 pengorbanan ini, dengan kemampuan terbaiknya — tidak menjadi ternoda oleh dosa pembunuhan, meskipun ia tinggal di rumah itu."
(3.72).—"Dia yang tidak memberikan persembahan kepada 5 persembahan—pada hakekatnya ia tidak hidup walaupun bernafas."
______________________________
Catatan: Di Bali, persembahan harian dapat dilakukan dengan media canang atau mesaiban.
Bhagavad Gītā (7-21-22 & 9.24).—"Memuja mereka sama dengan memuja-Ku karena Aku bersemayam di hati para dewa, leluhur, di hati setiap insan sebagai Antarātmān. Satu-satunya Aku yang menikmati dan menguasai segala kurban suci."
📸: @madewedastra

Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh aktivitas berdosa tanpa kita sadari

 



Apa pun yang kita lakukan di dunia material ini, ada semacam aktivitas berdosa tanpa kita sadari.

Seperti disinggung oleh Mānava-Dharmaśāstra (3.68), ketika kita menyapu, kita menginjak begitu banyak hewan. Saat kita minum air, di bawah tempayan ada banyak semut, mereka terbunuh. Ketika kita menyalakan api, ada begitu banyak hewan-hewan kecil, mereka juga ikut terbakar. Saat kita menggosok lesung, begitu banyak mikroba kecil yang terbunuh. Atau disaat kita membunuh mereka untuk menjadi santapan, kita mengambil nyawa mereka. Jadi kita bertanggung jawab atas kematian mereka, mau atau tidak mau, kita terjerat dalam begitu banyak aktifitas berdosa.
तासां क्रमेण सर्वासां निष्कृत्यर्थं महर्षिभिः ।
पञ्च कॢप्ता महायज्ञाः प्रत्यहं गृहमेधिनाम् ॥ ६९ ॥
(3.69-70).—"Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian ke-5 alat itu para mahaṛṣi telah memutuskan untuk para perumah tangga agar setiap harinya melakukan pañca-yajña, yaitu:

(1). Ṛṣi-yajña, dengan memahami sedalam-dalamnya tujuan hidup & menghormati guru,
(2). Pitra-yajña, dengan menghaturkan persembahan harian kepada leluhur,
(3). Deva-yajña, dengan menghaturkan persembahan harian kepada dewatā,
(4). Bhūta-yajña, dengan melakukan upacara kurban (caru) atau persembahan harian kepada elemental (bhūta),
(5). Manuṣya-yajña, dengan memperlakukan tamu atau sesama manusia dengan sikap ramah."
पञ्चैतान् यो महाऽयज्ञान्न हापयति शक्तितः ।
स गृहेऽपि वसन्नित्यं सूनादोषैर्न लिप्यते ॥ ७१ ॥
(3.71).—"Dia yang tidak mengabaikan 5 pengorbanan ini, dengan kemampuan terbaiknya — tidak menjadi ternoda oleh dosa pembunuhan, meskipun ia tinggal di rumah itu."
देवताऽतिथिभृत्यानां पितॄणामात्मनश्च यः ।
न निर्वपति पञ्चानामुच्छ्वसन्न स जीवति ॥ ७२ ॥
(3.72).—"Dia yang tidak memberikan persembahan kepada 5 persembahan — pada hakekatnya ia tidak hidup walaupun bernafas."
______________________________
Catatan: Di Bali, persembahan harian dapat dilakukan dengan media canang atau mesaiban.
Bhagavad Gītā (7-21-22 & 9.24).—"Memuja mereka sama dengan memuja-Ku karena Aku bersemayam di hati para dewa, leluhur, di hati setiap insan. Satu-satunya Aku yang menikmati segala kurban suci."
📸: @rahjunn87

4 hal yang harus dilakukan di Rahinan Sugihan Jawa

 



Di hari Sugihan Jawa ini, lontar Sundarigama menyebutkan:—

1. 𝒓𝒆𝒓𝒆𝒔𝒊𝒌 𝒓𝒊𝒏𝒈 𝒃𝒉𝒂𝒕𝒂𝒓𝒂, 𝒔𝒂𝒉𝒂 𝒑𝒖𝒔𝒑𝒂 𝒘𝒂𝒏𝒈𝒊 = sembah bhakti kehadapan Ida Bhaṭāra dengan mempersembahkan bunga;
2. 𝒘𝒓𝒖𝒉𝒊𝒏𝒈 𝒕𝒂𝒕𝒕𝒘𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒂𝒅𝒊 𝒑𝒂𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒐𝒈𝒂 = mengendalikan pikiran atau melepaskan pikiran terhadap kepuasan indria-indria;
3. 𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒊𝒌𝒖 𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒓𝒈𝒉𝒂 𝒑𝒖𝒋𝒂 = para pendeta melakukan puja stuti;
4. 𝒔𝒆𝒔𝒂𝒚𝒖𝒕 𝒎𝒘𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒖𝒕𝒘𝒂𝒏 = natab banten sesayut disertai banten tutuan.
Mengapa keempat ini dilakukan di hari Sugihan Jawa?
𝙖𝙥𝙖𝙣 𝙗𝙝𝙖𝙩𝙖𝙧𝙖 𝙩𝙪𝙧𝙪𝙣 𝙧𝙞𝙣𝙜 𝙢𝙖𝙙𝙮𝙖 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙢𝙞𝙡𝙪 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙚𝙬𝙖 𝙥𝙞𝙩𝙖𝙧𝙖, 𝙖𝙢𝙪𝙠𝙩𝙞 𝙢𝙖𝙣𝙩𝙚𝙣, 𝙝𝙖𝙙𝙮𝙪𝙨 𝙩𝙚𝙠𝙖𝙣𝙞𝙣𝙜 𝙜𝙖𝙡𝙪𝙣𝙜𝙖𝙣
.—"Sebab pada hari ini Tuhan dalam wujud Bhaṭāra dan Pitara (leluhur) turun menikmati penyucian sampai pada hari Galungan."
______________________________
Dewasa ini Sugihan Jawa dalam mengikuti arusnya dipandang sebagai hari penyucian terhadap bhuwana-agung (alam semesta). Tattwa dari penyucian alam semesta secara filosofi adalah memandikan Tuhan sebagaimana alam semesta ini adalah wujud virāṭ atau badan-Nya.
.—"Sujud pada Sadāśiva, yang wujud-Nya adalah langit, bumi, segala penjuru mata angin, air, api dan waktu yang abadi. Sujud pada Sadāśiva yang tidak termanifestasikan, yang dari-Nya wujud Puruṣa keluar bersama sifat asalnya. Sujud pada Śiva yang menciptakan seluruh semesta ini dalam wujud Brahmā, yang melindungi dalam wujud Viṣṇu, dan yang menghancurkan dalam wujud Rudra."
Śiva Purāṇa, 2.2.6.17-19

______________________________
.—"Akulah kurban suci, ritus pengurbanan, Akulah apa yang kau persembahkan, Aku adalah kurban yang dikurbankan dan Aku adalah orang yang khusyuk dalam upacara kurban. Aku juga yang memberkahi pengurbanan itu. Siapakah dia? Siapakah kau? Siapakah kalian? Pada kenyataannya semua itu adalah Aku, Aku adalah realitas satu-satunya di alam semesta."
Śiva Purāṇa, 2.2.26.47-48
______________________________
Photo: @yande_zetia

Rabu, 20 Oktober 2021

MENGAPA PADMASANA BERBENTUK KURSI KOSONG?

 



Padmāsana adalah simbul gunung Mandara Giri dimana pada bagian Sari (puncak) adalah singgasana Tuhan.

Dikisahkan di dalam Śiwa Gītā (Padma Purāṇa: Uttara-khaṇḍa). Pada mulanya Brahmā & dewa-dewa lainnya ingin mengetahui wujud asli Tuhan, berkumpul di bawah gunung Mandara yang merupakan gunung favorit-Nya.
Setelah berkumpul di sana, mereka berdiri di bawah gunung Mandara & menyanyikan nyanyian Sūktam untuk-Nya. Mengetahui maksud tujuan mereka, Tuhan muncul & memancarkan ilusi Māyā-Nya. Para dewa, yang dicengkram oleh ilusi Tuhan berkata, 'Siapakah Anda?'. Dalam konteks itu Tuhan menyapa mereka:
.—"Aku adalah Ādi-Anādi-Puruṣa (makhluk primordial terpurba)."
Tuhan kemudian berbicara mengenai keberadaan-Nya sebagai Sangkan Paraning Dumadi, yakni sumber dari segala kehidupan.


—"Ketahuilah bahwa di seluruh alam semesta ini, tidak ada yang lain selain Aku. Aku abadi & Aku juga yang tak abadi, Aku tak bercela. Aku adalah semua arah. Aku Gāyatrī. Semua pria, wanita, & tanpa gender juga adalah Aku. Akulah obyek tertinggi pada Weda, Aku kebenaran. Aku adalah persembahan kurban, Aku pendonor, Aku donatur. Aku memiliki wajah di mana-mana. Aku akhir, tengah, Aku pintu, Aku di luar, Aku di dalam, Aku depan & Aku juga belakang. Aku terang & Aku juga kegelapan. Aku matahari, Aku bulan, Aku bintang & juga planet. Semua makhluk adalah Aku, Aku Prana (nafas), Aku waktu, kematian, & keabadian. Aku adalah masa lalu, sekarang & masa depan. Aku adalah segalanya."
Kisah diatas adalah alternatif lain tentang status gunung Mandara. Kisah umum dari bangunan Padmāsana adalah pemutaran Mandara Giri di lautan Kṣīrārṇava mencari Tīrtha Amṛtā (episode Kūrma Avātara).
Di Bali, Padmāsana lebih seperti tahta kursi singgasana kosong, dimana kekosongan tersebut mewakili sifat Tuhan yang Parā-śūnya (Maha Gaib / tidak terlihat) & sering diwakili oleh relief Acintya (makhluk emas).
"Segala puji-pujian untuk-Mu, wahai penguasa keemasan, yang berbadan emas, yang menghasilkan emas, yang bersuara emas. Salam pada-Mu, O Saṅkara (Śiwa) yang berleher biru."
— Brahmanda Purāṇa (2.26.49-50)
📸: @kakang_photoworks

Selasa, 19 Oktober 2021

identitas sosok Acintya dalam Weda Śruti

 



Weda Śruti (Chāndogya Upaniṣad, 1.6.6) menyebut identitas sosok Acintya ini:

.—"Dia bersemayam di dalam matahari. Rambut & janggut-Nya emas, seluruh badan-Nya emas terus hingga sampai ke ujung kuku-Nya. Mata-Nya seindah bunga Padma."
Lantas, siapa Puruṣa keemasan yang disinggung itu? Sekarang giliran Weda Smṛti (Śiwa Purāṇa, 6.19.15-17) menjelaskan:
.—"Sesungguhnya Weda menyebut Śiwa sebagai keemasan. Di dalam Chāndogya Dia dikatakan memiliki ciri: berkumis emas & berambut emas. Di mana-mana dari kuku sampai rambut-Nya adalah emas."

Uraian tersebut tidak bertentangan dengan teologi Śiwa Siddhānta di Bali. Śiwa adalah Śiwa-Raditya, yaitu Śiwa sebagai penguasa matahari. Umat Hindu Bali bersembahyang menghadap ke timur (matahari terbit) yang tertuju pada pemujaan Śiwa Raditya.
Dalam episode Legodbawa di Bali, yaitu kisah Brahmā & Wiṣṇu yang gagal mencari pangkal & ujung lingga api Śiwa, penampakan Śiwa selalu digambarkan sebagai Acintya. Śiwa Gītā (5.6) menyatakan, "Karena Brahmā & Wiṣṇu gagal menjangkau cahaya pribadi-Ku maka Aku disebut Ananta (Tak Berujung).
Jadi Acintya adalah salah satu wujud Swārūpā Bhedā Parabrahman Sadāśiwa. Secara terminologi acintya berarti "tak terpikirkan". Sesungguhnya Dia yang diluar jangkauan pikiran manusia bukan berarti tanpa wujud, Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad (2.3.1) menyatakan Tuhan adalah Nirguṇa (tanpa atribut) & Saguṇa (beratribut).
Di dalam Īśa Upaniṣad dikatakan "hiraṇmayena pātrena", yang berarti cahaya berwarnakan emas memancar dari badan Tuhan Īśāna. Kata-kata seperti "tat tvaṁ pūṣann apāvṛṇu" menyiratkan: "Kiranya Engkau berkenan menyingkirkan sinar yang menyilaukan ini agar kami dapat melihat wujud-Mu yang sejati."
Purāṇa mengibaratkan terangnya badan Ādi Puruṣa laksana kilauan 10 juta matahari terbit. Oleh karena cahaya menyilaukan itu, secara puitis Śruti memuji Acintya sebagai pribadi keemasan. Dalam Śiwa Sahasranāma (1000 Nama Śiwa) menamai cahaya pribadi tertinggi itu dengan sebutan Brahmajyoti atau Brahmateja. Sinar ini lah yang menyilaukan penglihatan para penentang Tuhan.
______________________________
Mantra Sang Hyang Acintya di dalam Weda, Taittirīya Araṇyaka dari Yajur Veda (10.22.1):
namō hiraṇyabāhavē hiraṇyāvarṇāya
hiraṇya rūpāya hiraṇya-patayē
ambikāti umāpati paśupati namō namaḥ
.—"Sembah bhakti kepada yang bersenjatakan emas, yang berkilau emas, yang wujud-Nya ditutupi oleh cahaya emas, yang adalah penguasa emas. Dia adalah Ambikāpati (yang adalah suami dari Durgā) atau Umāpati (yang adalah suami dari Umā), Dia Sendiri adalah Paśupati (Penguasa dari semua makhluk hidup)."
📸: @tri_ad

Senin, 18 Oktober 2021

Semua orang dicengkram 3 jenis penderitaan rutin




 Tidak perlu membuktikan bahwa diri sendiri lebih bahagia daripada yang lain. Semua orang dicengkram 3 jenis penderitaan rutin, yaitu:

1. Adhidaivika-kleśa = penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam;
2. Adhibhautika-kleśa = penderitaan yang berasal dari makhluk-makhluk hidup lain, misalnya gangguan serangga, atau serangan musuh;
3. Adhyātmika-kleśa = penderitaan yang bersumber dari badan dan pikiran sendiri, misalnya karena mental dan pikiran.

Baik seseorang terlahir di dalam keluarga yang kaya, bangsawan, brāhmaṇa, terpelajar, pengusaha, yang membanggakan kerupawanannya, serta mendapat fasilitas material yang cukup — mereka semua juga mengalami 3 jenis penderitaan yang sama. Ini karena sudah hukum alam bagaimana alam material bekerja dan diatur sedemikian rupa.
Daiva-bhūtātma-hetavaḥ: jiwa-jiwa terikat, ditimpa oleh 3 jenis kesengsaraan ini oleh kendali energi Tuhan bernama Durgā atau Mahāmāyā Śakti.
______________________________
• Bagaimana orang bijaksana menyikapi 3 jenis penderitaan ini?
सुसमीक्षमाणो तत्तेनुकम्पां
भुञ्जान एवात्मकृतं विपाकम्.
हृद्वाग्वपुर्भिर्विदधन्नमस्ते
जीवेत यो मुक्तिपदे स दायभाक्. i
Bilamana ia berduka cita atau jatuh ke dalam kesulitan, dia berpikir itu karunia Tuhan terhadap dirinya. Dia berpikir:
.—"Akibat kesalahan saya dari dahulu seharusnya saya menderita jauh lebih banyak daripada penderitaan yang saya alami sekarang. Oleh karena itu, atas karunia Tuhan, saya tidak mendapat segala hukumannya yang seharusnya saya terima."
— Doa Brahmā kepada Kṛṣṇa (Viṣṇu) di dalam Bhāgavata Purāṇa (10.14.😎.

waraha avatara

 


Menurut mitologi Hindu, pada 100 tahun Satyayuga (zaman kebenaran), mempunyai seorang raksasa bernama Hiranyaksa, saudara kandung yang lebih muda raksasa Hiranyakasipu. Keduanya yaitu kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa berhasrat menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.

Melihat alam hendak mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang mempunyai dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang diterapkan Waraha tidak berlanjut lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan saat ribuan tahun pula. Pada hasilnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah Dia memenangkan pertarungan, Dia mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan menaruh kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.

Rabu, 23 Juni 2021

Kedudukan Dharma dalam Catur Purusa Artha

Seperti yang kita ketahui bahwa Catur Purusa Artha adalah empat tujuan hidup yang akan dicapai umat Hindu. Tujuan hidup manusia telah dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan, kita tentu tidak asing dengan penggalan kalimat “Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma”, kalimat ini memiliki makna yang dalam bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan, sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau kelepasan.
Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena sering kali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntutan kama atas artha, sebagaimana diisyaratkan di dalam Weda (Sarasamuccaya, 12) sebagai berikut :
Kamarthau lipsmanastu
dharmam ewaditaccaret,
na hi dhammadapetyarthah
kamo vapi kadacana. | (Sarasamuccaya, 12)
Artinya : Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga (kebahagiaan), sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (Sarasamuccaya, 14), sebagai berikut :
Dharma ewa plawo nanyah
swargam samabhiwanchatam,
sa ca naurpwani jastatam jala
dhen paramicchatah. | (Sarasamuccaya, 14)
Artinya : Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga (kebahagiaan), sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar untuk mengarungi lautan.
Selanjutnya di dalam Çantiparwa disebutkan pula sebagai berikut :
Prabhawar thaya bhutanam
dharma prawacanam krtam
yah syat prabhawaçam yuktah
sa dharma iti niçaçayah. | Çantiparwa
Artinya : Segala sesuatu yang bertujuan memberi kesejahteraan dan memelihara semua mahluk, itulah disebut dharma (agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan dunia itulah dharma yang sebenarnya.
Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut : “Weda pramanakah creyah sadhanam dharmah”, artinya dharma (agama) tercantum di dalam ajaran suci Weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan menunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).
Lebih lanjut, di dalam Weda (Sarasamuccaya, 16) juga disebutkan sebagai berikut :
Yathadityah samudyan wai tamah
sarwam wyapohati,
ewam kalyanamatistam sarwa
papam wyapohati. | (Sarasamuccaya, 16)
Artinya : Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.
Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi.

Visit Our Sponsor