Senin, 30 November 2020

4 Ajaran Sewaka Dharma Kirthanam Dalam Kontek Sosial Yang Dapat Dilakukan

 Ajaran bhakti dalam Agama Hindu mengajarkan umat manusia untuk bersembah sujud kehadapan yang dihormati ‘Tuhan Yang Maha Esa’ beserta manifestasi dan prabhawa-Nya. Bhakti atau menyembah kepada-Nya dapat dilaksanakan secara abstrak dan juga dengan mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra. Menyembah Tuhan dalam wujud abstrak dapat dilakukan dengan menanggalkan pikiran kepada yang disembah adalah amat baik namun kesulitan, hambatan, dan tantangan tetap ada, karena Tuhan tanpa wujud, kekal abadi, dan tidak berubah-ubah. Memuja Tuhan dalam wujud nyata seperti yang dilakukan oleh umat kebanyakan ‘yoga biasa’ diperlukan adanya sarana seperti pratima atau arca, umat sedharma akan lebih mudah untuk mewujudkan rasa baktinya, tetapi ini bukan berarti satu-satunya jalan yang terbaik bagi umat semua.




Photo ; mumbaicha_krishnapingak

Nawa Widha Bhakti adalah salah satu ajaran yang dapat dimaknai dan dipedomani untuk meningkatkan såadha dan bhakti umat sedharma terhadap Tuhan sebagai hamba-Nya. Nawa widha bhakti dapat dimaknai untuk membangun dan menciptakan masyarakat yang berbudi dan individual dalam menciptakan situasi dan kondisi yang damai dan sentosa di tengah-tengah jalinan hubungan sosial yang serasi, selaras dan harmonis. Umat sedharma juga dapat menumbuh-kembangkan kesadaran prinsip hidup bersama yang saling menghargai, menghormati, melayani dan dilayani satu sama yang lainnya dalam satu kesatuan organ-organ sosial sesuai dengan prinsip-prinsip dasar aturan keimanan, kebajikan dan acara keagamaan yang dianutnya serta aturan-aturan etika, moralitas dan kebajikan yang berlaku untuk umum (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 216).


Kitab Ågveda menjelaskan sebagai berikut;


“Yaste stanaá úaúayo yo mayobhür yena viúvàà pusyasi vàryàni,
yo ratnadhà vasuvid yaá sudatraá saraswati tam iha dhatave kaá.


Terjemahan:


‘Sarasvati! air susu-Mu yang berlimpah-limpah sebagai sumber kesejahteraan, yang Engkau berikan kepada semua yang baik, yang mengandung harta benda, mengandung kekayaan, memberikan hadiah yang baik, Susu-Mu Engkau sediakan untuk kehidupan kami (Ågveda, I.164.49).


Dengan Bhakti Kirthanam yakni bhakti dengan jalan melantunkan Gita (nyayian atau kidung suci) memuja dan memuji nama suci, keagungan dan kekuasaan Tuhan, umat dapat melaksanakan pemujaan kepada-Nya. Melalui arah vertikal wujud sadhana Bhakti Kirtanam ini di antaranya; dengan jalan berekspresi atau ber-sadhana melalui media gita (nyanyian suci atau kidung suci) memuji dan memuja keagungan dan kemahakuasaan Tuhan (Brahman) yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (nitya karma) maupun di saat-saat hari-hari tertentu (naimitika karma), juga umat sedharma dapat melaksanakan pemujaan kehadapan-Nya. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sedangkan pada arah gerak horizantal yaitu pada konteks kehidupan sosial dengan melakukan Sadhana pelayanan khususnya dalam hal ini adalah Sewaka Dharma Kirthanam. Maksud dari Sewaka Dharma Kirthanam pada konteks sosial ini adalah kesadaran untuk berbesar hati membuka diri dan berbagi dalam memberikan pelayanan yang tulus dengan cara memuji dan memuja sesama dan lingkungan ini. Sehingga terjadi keseimbangan arah yang menyerupai tanda tambah (tapak dara bhs.Bali)” arah garis vertikal dan arah garis horizontal” yang mengisyaratkan terjadinya keseimbangan antara hubungan vertical dan horizontal (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 217).



Ajaran Sewaka Dharma Kirthanam ini diyakini mengandung pesan dan perintah yang harus ditindak lanjuti sebagai tanggung jawab moral untuk dilaksanakan dalam konteks kehidupan sosial seperti tersebut di atas. Hal ini diperkuat oleh dasar keimanan Hindu yaitu konsep teologi (Brahmavidya) dalam Hindu, yang paling universal seperti “Sarwam Khalu Idam Brahman”, “Vasudeva Kuntum Bhakam”, “Tat Tvam Asi” (Chand. Up VI. 8. 7), dan sebagainya. Semua pesan moral dari ajaran Nawa widha bhakti mengandung konsep teologi kasih semesta.


Dasar keimanan dalam kitab suci Veda yang memperkuat ajaran ini menyatakan “bahwa semua yang ada dan yang nyata di dunia ini adalah perwujudan Tuhan dan ada dalam kandungan Tuhan (Brahman) baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, yang nyata maupun yang tidak nyata berasal dari dan di kendalikan oleh Tuhan’. Maka berdasarkan konsep teologi Hindu ini, yang selanjutnya di arahkan pada konteks sosial dapat dimaknai bahwa konsep ajaran Bhakti Kirthanam sesungguhnya juga mengadung konsep teologi sosial yaitu sebuah ajaran teologi Hindu yang mengacu kepada kebijaksanaan sosial dengan kesadaran menempatkan spirit Ketuhanan dalam kehidupan sosial dan kesadaran prinsip hidup bersama yang saling menghargai, menghormati, melayani dan dilayani satu sama yang lainnya dalam satu kesatuan organ- organ sosial berlandaskan prinsip-prinsip dasar aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan acara keagamaan yang dianutnya serta aturan-aturan etika, moralitas dan kebajikan yang berlaku untuk umum. Namun jangan dianggap bahwa konsep ajaran ini sebagai sesuatu konsep keyakinan yang menyangsikan kekuatan Tuhan atau ke-Esaan Tuhan. Melainkan konsep Sewaka Dharma Bhakti Kirthanam dalam konteks sosial yang dimaksud pada buku ini adalah bagaimana masyarakat manusia memberikan pelayanan yang tulus dengan cara memuji dan memuja terhadap sesamanya dalam wujud memberikan pujian, pengakuan, penghargaan, penghormatan, baik itu pada ranah pemikiran, perkataan, sikap dan perilaku.



Kesadaran menempatkan spirit Ketuhanan dalam kehidupan sosial sangat dibutuhkan dewasa ini, karena sifat teologi konvensional atau materialistis yang menitik beratkan kemampuan individu dengan segala macam ritualnya sangat membutuhkan kebijaksanaan sosial untuk menyeimbangkan dan menyempurnakannya. Hal ini juga dipandang sangat penting karena kemampuan individu ternyata belum mampu membangkitkan kesadaran terhadap tanggung-jawab sosial selaku makhluk yang memiliki Tri Pramana (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 218).


Sebaliknya, konsep teologi haruslah memberikan jiwa terhadap sradha dan bhakti itu, sehingga sradha dan bhakti tidak memisahkan individu dari lingkungan sosialnya. Dalam cara pandang manusia seperti ini, maka kehidupan ini akan berpusat pada lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, konsep teologi dapat membangkitkan tema-tema bermakna seperti Teologi Sosial yang memandang masyarakat sebagai sebuah sistem organ, layaknya organ tubuh yang hakekatnya satu/bersaudara, yang perlu saling menghormati, menghargai, melayani dan dilayani serta saling melengkapi satu sama yang lainnya.


Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial dari sudut pandang Teologi Sosial merupakan suatu langkah maju guna mencarikan solusi dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat manusia itu sendiri. Nilai-nilai ketuhanan harus diangkat untuk memberi jiwa atau spirit terhadap berbagai permasalahan sosial. Dengan menempatkan nilai-nilai ketuhanan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (sosial). Konsep-konsep, ide-ide, dan inspirasi teologis khususnya tentang sewaka dharma kirthanam dalam jalinan hubungan sosial antara sesama masyarakat diharapkan dapat berkontribusi positif kepada masyarakat (sosial) agar tercipta suatu situasi dan kondisi masyarakat yang penuh kedewasaan yang dapat hidup berdampingan secara rukun, damai, harmonis dan dinamis.


Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial dari sudut pandang Teologi Sosial merupakan sebuah konsep yang begitu luhurnya, namun kenyataannya, masyarakat dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mengabaikan sisi-sisi sosialnya. Masyarakat justeru, melakukan kompetisi sosial tanpa batas, saling menjatuhkan melalui kritik, umpatan, cacian, hinaan, fitnah, dan sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan muncul kesenjangan-kesenjangan dalam kehidupan sosial.
Dalam upaya membangkitkan dan memberikan kembali spirit nilai-nilai Ketuhanan yang mulia itu dalam kontek kehidupan sosial, hal yang dapat diupayakan salah satunya adalah mempraktekkan ajaran Sewaka Dharma Kirthanam dalam kehidupan sosial. 


Ajaran Sewaka Dharma Kirthanam akan dapat berkontribusi positif terhadap upaya keselamatan sosial. Atas dasar ajaran tersebut, kesadaran Sewaka Dharma Kirthanam dalam konteks sosial itu dipandang sangat penting. Kesadaran bahwa misi kehadiran manusia di muka bumi untuk mewujudkan keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan pencipta-Nya (Tri Hita Karana) dapat diwujudkan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 219).


Beberapa ajaran Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial yang dapat dilakukan, di antaranya seperti berikut ini:


1. Penghargaan


Pentingnya Sebuah Penghargaan dan Pengakuan dengan cara memberikan ucapan selamat dan pujian. Semua orang termasuk saya dan juga anda tentunya menginginkan bahwa orang yang kita cintai, sayangi dan kasihi menjadi bahagia dan sukses dalam segala aspek kehidupan mereka. Misalnya kasih cinta kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Ini merupakan sebuah sentimen yang indah dari tips hubungan bahkan dunia menjadi lebih baik. Ini juga bisa menjadi salah satu cara meningkatkan semangat dan efektivitas kerja seluruh anggota keluarga dan seluruh lapisan masyarakat. Jika semua anggota masyarakat bisa memberikan apresiasi dan bersikap sama kepada semua orang. Tentu ini akan membuat dunia ini jadi sangat luar biasa membahagiakan. Namun semua itu tidaklah cukup hanya meberikan dukungan dengan penuh kasih. Ada beberapa cara lainnya yang dibutuhkan untuk memberikan semangat bagi mereka yang kita cintai, sayangi dan kasihi. Dalam hal ini sesuai dengan konsep ajaran Sewaka Dharma Kirthanam adalah dengan cara memberikan “pujian”.


2. Pujian


Kita semua tahu bahwa pujian akan membangkitkan gairah dan semangat seseorang untuk berlaku lebih dengan apa yang sedang dia kerjakan. Ketika kita memberikan pujian, kita harus memberikannya dengan cara yang tepat agar orang yang kita puji benar-benar bisa meresapi dan bertambah semangat. Kita mungkin sudah terbiasa memuji teman atau para sahabat-sahabat (mitra) kita, atau anak-anak, saudara, tetangga, dan lingkungan masyarakat kita atas keberhasilan mereka. Misalnya, kita mungkin memberitahu mereka betapa bangganya kita karena kebaikan mereka, kesosialan mereka, sikap dan perilaku sosial mereka yang baik, prestasi atau keberhasilan mereka, atau hal-hal lain berkaitan dengan gagasan, ide, pemikiran mereka, perkataan atau tutur mereka, serta sikap dan perilaku meraka yang sangat cerdas, tepat, sopan, santun, baik, arif dan bijaksana atau keberhasilan mereka telah mencapai beberapa tujuan lainnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 220).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Hal itu merupakan hal yang indah dan membahagiakan saat kita ikhlas dan berbesar hati untuk berbagi kekaguman kita. Namun, jenis kita juga harus akui bahwa pujian juga memiliki sisi negatifnya. Apabila kita menumbuhkan kesadaran Sewaka Dharma Kirthanam maka pastinya pujian yang kita berikan bukanlah sebuah peribahasa atau bahasa kiasan dengan bermasud menyindir atau berbanding terbalik dengan apa yang dipujikan, atau pujian yang penuh kepura-puraan. Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial bisa menjadi salah satu tekanan untuk menjaga kinerja masyarakat semakin hebat dan maju. Lebih penting dari itu semua terciptanya suasana dan kondisi kehidupan sosial yang tenang dan nyaman yang dapat hidup berdampingan secara rukun, harmonis, damai sentosa, saleh dan sejahtera.


3. Rukun, Harmonis, Damai Sentosa, Saleh dan Sejahtera


Kesadaran Sewaka Dharma Kirthanam secara arif dan bijaksana sesuai dengan aturan keimanan, aturan kebajikan dan acara keagamaan dan aturan etika dan moralitas yang berlaku umum ini sangat dibutuhkan Devasa ini, hal ini disebabkan karena terkadang orang yang kita puji mungkin merasa “rendah” ketika mereka gagal, tidak melakukan seseuai dengan harapan, atau ketika mereka melakukan hal-hal di luar kekuatan mereka. Dalam hal ini, orang yang kita puji cenderung mempertanyakan nilai kualitas diri mereka. Bahkan terkadang mereka mungkin mempertanyakan apakah kita akan terus mencintai, mengasihi, menyayangi, bangga, dan sebagainya dengan mereka. 

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Penting bagi kita untuk memvalidasi dan memuji orang dengan kesadaran Sewaka Dharma Kirthanam sehingga pujian yang dilontarkan atau diucapkan penuh dengan pertimbangan atau wiweka dari olah rasa, olah pikir, olah kata, dan olah laku sehingga Sewaka Dharma Kirthanam itu dapat berkontribusi positif terhadap pembentukan tubuh fisik dan rohani masyarakat manusia secara utuh dan menyeluruh. Sewaka Dharma Kirthanam dalam proses perjalanannya dapat membantu membentuk karakter atau kepribadian kita dan seseorang yang kita berikan pujian ke dalam bentuk kualitas diri yang paling baik serta berkepribadian yang mawas diri berbesar hati untuk membuka diri dan berbagi, santun, ramah, arif dan bijaksana, toleran, memiliki cinta kasih sayang, harmonis, indah,dan sebagainya.


4. Beban dan Kewajiban


Mengubah paradigma yang tadinya beragama dirasakan menjadi beban, kita usahakan menjadi sesuatu yang ringan dengan cara membiasakan menjadi kebiasaan, dari kebiasaan menjadi suatu kewajiban, semoga dari kewajiban ini menjadi suatu kebutuhan, dan akhirnya ketika ini sudah dirasakan menjadilah suatu cintakasih, perwujudan cinta kasih kepada Sang Maha Pencipta beserta ciptaan-Nya, inilah yang akan diajarkan dalam bentuk “Nawa Widha Bhakti” karena di jaman kaliyuga ini perangkat yang paling ampuh untuk mendekatkan diri adalah 9 jalan bhakti ke hadapan-Nya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 221).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Berdasarkan uraian di atas, dapat dimaknai bahwa ajaran Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial mengandung konsep dalam upaya tertentu untuk mencapai dan menciptakan kehidupan masyarakat (sosial) yang lebih baik, kreatif, kuat, saling menghargai satu sama yang lainnya, saling melayani dan dilayani dalam lingkaran cakra yajna, serta berkepribadian yang mawas diri, santun, ramah, arif dan bijaksana, toleran, memiliki cinta kasih sayang, harmonis, indah, dan sebagainya yang dilandasi dan menempatkan nilai-nilai atau spirit Ketuhanan dalam kehidupan masyarakat dengan sebuah kesadaran prinsip hidup bersama dalam satu kesatuan organ-organ tubuh sosiokultural sesuai dengan prinsip-prinsip dasar aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan acara keagamaan yang dianutnya serta aturan-aturan etika, moralitas dan kebajikan yang berlaku untuk umum. Guna sebuah pencapaian situasi dan kondisi masyarakat manusia yang Jagadhita sesuai dengan pesan dan tanggung jawab moral (swadharma) dari ajaran Tri Hita Karana yang harus di-sadhana-kan dan dipraktiskan dalam kehidupan sehari-hari (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 222).


Renungan Bhagawadgita, VII.16

Dagang Banten Bali

“Chatur-vidhà bhajante màm, janàh sukritino ‘rjuna,
àrto jijñàsur arthàrthi, jnàni cha bharatashabha”


Terjemahan:


"Ada empat macam orang yang baik hati memuja pada Ku, wahai Bharatasabha, mereka yang sengsara, yang mengejar ilmu, yang mengejar artha dan yang berbudhi, wahai Arjuna."


“Pra te yakûi pra ta iyarmi manma bhùvo yathà vandhyo no haveûu, ghanvatriva prapà asi tvagagna iyakûave purave pratna ràjan.


Terjemahan:


‘Kepada-Mu kami persembahkan sesajian, kepada-Mu kami panjatkan do’a kami; Engkau adalah ibarat mata air dalam gurun pasir, ya Tuhan Yang Maha Esa! Bagi manusia yang menyembah-Mu, oh raja yang abadi (Ågveda, X.4.1).


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/09/4-ajaran-sewaka-dharma-kirthanam-dalam.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Minggu, 29 November 2020

Pengertian Nawa Widha Bhakti dan Bagian-Bagiannya Dalam Ajaran Agama Hindu

 Pengabdian merupakan sikap dan perbuatan yang sangat mulia dihadapan Tuhan, terhadap negara/pemerintah, orang tua, guru, maupun dihadapan masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh kehidupan yang serba instan, pragmatis, meniru budaya-budaya asing menjadikan manusia makin menjauh dari nilai-nilai moral, etika yang sangat luhur berdasarkan ajaran Agama Hindu. Untuk meningkatkan sradha dan Bhakti kepada Sang Hyang Widhi dapat dilakukan melalui pelaksanaan ajaran Nawa Widha Bhakti secara tulus agar tercapainya kehidupan yang santhi atau damai dan sejahtera lahir dan batin. 





Foto: @nanda_windu

Pengertian Nawa Wida Bhakti atau Nawa Widha Bhakti

Secara etimologi Nawa widha bhakti adalah sembilan usaha dan upaya, pendekatan, pengetahuan atau jalan berlandaskan cinta-kasih untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta prabhawa-Nya guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup umat manusia.

Kondra (2015:170-171) menjelaskan Nawa Widha Bhakti atau Nawa Wida Bhakti adalah sembilan bentuk bkati untuk memuja Tuhan diantaranya adalah sravanam, Kirtanam, Smaranam, Padasevanam, Arcanam, Vandanam, Dasya, Sakhyam dan Atmanivedanam.

Kesembilan Bagian Dari Nawa Widha Bhakti akan dijelaskan sebagai berikut:

Bagian Bagian Nawa Widha Bhakti

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
1. Srawanam 

Srawanam dapat diartikan sebagai mendengarkan piteket/ pitutur sane rahajeng/ baik. Mendengarkan ‘piteket pitutur sane rahayu’ (Bhs. Bali) mendengarkan wejangan yang baik misalnya; dapat menerima wangsit, senang menerima, mendengarkan dan melaksanakannya yang diajarkan oleh orang tua kita di rumah, oleh guru di sekolah, oleh orang suci, dan para pemimpin yang menjalankan pemerintahan. Berterima kasih kepada siapa saja yang telah memberikan nasihat yang positif untuk kemajuan diri kita.


2. Wedanam 

Wedanam artinya membaca kitab kitab suci agama yang kita yakini. Membaca kitab kitab suci Agama Hindu yang kita yakini misalnya; Membiasakan diri suka membaca sloka-sloka kitab Bhagawadgita, Kitab sarasamuscaya, membaca tatwa-tatwa Agama Hindu baik bersumberkan Sruti maupun Smrti, melalui membaca ajaran suci akan dapat memberikan kesucian pikiran, ketenangan batin dan pengetahuan rohani yang lebih luas.

3. Kirthanam 

Kirthanam artinya melantunkan Tembang tembang suci/ kidung, wirama rohani. Melantunkan Tembang tembang suci/ kidung, wirama rohani misalnya; Melantunkan kidung sebelum dan sesudah melaksanakan persembahyangan, pembacaan wirama dari kekawin baik Ramayana dan Mahabharta. Menyanyikan tembang-tembang yang mengajarkan pitutur, piteket yang mengandung tuntunan hidup, cara mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi/ Tuhan antara lain melalui tembang Sekar alit, Sekar Agung, Sekar madya dan lagu- lagu daerah setempat yang mengandung nilai-nilai budaya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 224).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

4. Smaranam 

Smaranam artinya secara berulang-ulang menyebutkan nama Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Secara berulang-ulang menyebutkan Nama-NYA misalnya; Melakukan japa mantra yaitu mengucapkan mantra-mantra secara berulang-ulang dan terus menerus baik dalam batin maupun melalui ucapan. Mengucapkan Mantra Om bhur bhuwah svah, tat savitur varenyam,bhargo Devasyo dhimahi, dhiyo yo nah pracodayat. Mengucapkan OM Nama Siwa, maupun mantra dan doa yang lainnya yang tujuannya untuk memberikan keselamatan baik jiwa dan raga kita maupun sekitarnya.

5. Padasewanam 

Padasewanam artinya sujud bhakti di kaki Nabe. Sujud Bhakti di kaki Nabe misalnya; Menghormati dan melaksanakan ajaran orang suci seperti Pendeta/Pedande, Pinandita/pemangku. Selain itu tugas kita membantu, memberikan pelayanan, memberikan dana punia, untuk kesejahteraan hidup orang suci, sehingga beliau dapat melaksanakan tugasnya untuk keselamatan umat manusia dan seisi alam semesta ini.

6. Sukhyanam 

Sukhyanam artinya menjalin persahabatan. Menjalin persahabatan misalnya; Dalam ajaran Catur Paramitha disebutkan Maitri yaitu: Manusia tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain karena manusia adalah makluk sosial. Untuk itu kita harus mencari dan menpunyai banyak teman sebagai sahabat. Bersahabatlah dengan orang-orang yang memiliki sifat mulia seperti: susila, pintar, dan saling mengasihi dan menyayangi, suka menolong dan sifat-sifat baik lainnya. Sehingga dalam hidup ini nyaman, damai, tenang, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 225).

7. Dahsyam 

Dahsyam artinya berpasrah diri memuja kehadapan para dewa. Berpasrah diri dihadapan para bhatara- bhatari sebagai pelindung dan para dewa sebagai sinar suci Tuhan untuk memohon keselamatan dan sinarnya disetiap saat adalah sifat dan sikap yang sangat baik. Berpasrah diri adalah wujud dari sikap percaya secara penuh kehadapan Tuhan.


Berpasrah diri adalah sikap bertanggung jawab penuh kehadapan Tuhan akan segala kemunginan yang terjadi. Berpasrah diri dapat melenyapkan segala keragu-raguan yang ada pada setiap pribadi seseorang. Melaksanakan persembahyangan dengan baik adalah merupakan salah satu wujud dari berpasrah diri. Setiap umat penting berpasrah diri kepada Tuhan beserta dengan manifestasi-Nya karena beliau tidak akan mungkin menyengsarakan umatnya. Setiap siswa perlu berpasrah diri kepada gurunya, karena tidak ada guru yang akan menelantarkan peserta didiknya.

Demikian juga sebaliknya, tidak ada siswa yang baik akan menyia-nyiakan gurunya dalam pembelajaran. Membantu para guru di sekolah yang memberikan ilmunya dengan cara belajar yang tertib, jujur, dan bertanggung jawab adalah cermin siswa yang baik.

Jika menjadi pegawai/karyawan memberikan pelayanan yang menyenangkan penuh dedikasi terhadap yang membutuhkan jasa dan pelayanan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya perlu juga berpasrah diri kepada atasannya, karena tidak ada atasan yang baik yang akan menyengsarakan bawahannya.

8. Arcanam 

Arcanam artinya bhakti kepada Hyang widhi melalui simbol-simbol suci keagamaan. Bhakti kepada Hyang widhi melalui simbol misalnya: Menghormati dan menjaga kesucian Pura sebagai lambang/simbol perwujudan Sang Hyang Widhi, karena melalui simbol tersebut manusia lebih dekat dengan Tuhan dan manifestasi-Nya. Melalui simbol melakukan pemujaan sebagai wujud rasa bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi, maka dibuatkanlah Pratima atau Patung-patung Deva, termasuk sejajen/banten adalah perwujudan Tuhan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 226).

Dagang Banten Bali


9. Sevanam 

Sevanam artinya memberikan pelayanan yang baik. Sevanam atau Atmanividanam adalah bhakti dengan jalan berlindung dan penyerahan diri secara tulus ikhlas kepada Tuhan. Memberikan pelayanan misalnya; Memberikan pelayanan dari masing-masing pribadi yang terbaik kepada sesama. Sebagian orang menyebutnya bahwa hidup ini untuk pelayanan (sevanam). Dalam

konteks pelayanan ini, tugas kita adalah memberikan bantuan kepada sesama untuk meringankan bebannya, baik pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Terwujudnya Doa yang diucapkan tentu menjadi harapan kita bersama untuk meringankan sesama. Pelayanan sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci Rgveda, sebagai berikut;


RELATED:
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
"Svasti na indro vrddhaúravàh svasti nah pùsà viúvavedàh. svasti nas tàrksyo aristanemih svasti no brhaspatir dadhàtu". 

Terjemahan:

"Sang Hyang Indra yang berjaya, Sang Hyang Pusan Yang Maha Kuasa, Garuda yang bersayap kuat dan Brhaspati yang berpengetahuan tinggi, semoga memberkahi kami dengan kesejahteraan" (Yajurveda XXV. 19).

Rasa hormat, sujud bakti, sikap welas asih, dan ilmu pengetahuan yang kita miliki akan bermanfaat dalam hidup ini dan kelak apabila dapat kita amalkan dengan sungguh-sungguh untuk kebahagiaan dan kesejahtraan sesama. Lakukanlah demi tegaknya dharma (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 227).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Perenungan Ågveda IV.17.17

“Tràtà no boghi dadhaúàna àpir abhiravyàtà mardità somyànàm, sakhà pità pitåtamàá pitåóàý kartemu lokam uúate vayodhàá". 


Terjemahan:


"Jadilah engkau penyelamat kami; tunjukkanlah bahwa dirimu milik kami, memelihara dan menunjukkan belas kasihan kepada pemuja. Kawan, ayah, pengayom yang maha agung, memberikan kepada pemuja yang menyintai tempat serta kehidupan yang bebas".


Referensi

Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. Bandung: -
Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Sabtu, 28 November 2020

Prof.Dr. Ida Bagus Mantra memimpin Sidang Saba II Parisadha Hindu Dharma, thn 1959.

 



Delapan organisasi keagamaan di Bali tanggal 26 Juni 1958 mengadakan pertemuan membahas usulan kepada pemerintah, yaitu mendudukkan agama Hindu Bali sejajar dgn agama2 lainnya. Organisasi tsb: Satya Hindu Dharma (I Gusti Ananda Kusuma), Yayasan Dwijendra (Ida Bagus Wayan Gede), Partai Nasional Agama Hindu (Ida I Dewa Agung Geg), Majelis Hinduisme (Ida Bagus Tugur), Paruman Para Pandita (Pedanda Made Kemenuh), Panti Agama Hindu Bali (I Ketut Kandia), Angkatan Muda Hindu Bali (Ida Bagus Gede Doster), dan Eka Adnyana (Ida Bagus Gede Manuaba).


Usulan tsb disampaikan kepada Presiden RI, perdana mentri, Mentri Agama, Mentri Dalam Negeri, Ketua Parlemen, Kepala Daerah Bali, Ketua DPRD Bali  dan pers.

Tgl 29 Juni 1958, 5 orang utusan organisasi agama menghadap Presiden RI di Tampaksiring. Mengusulkan agar Kementrian Agama RI ada bagian Agama Hindu Bali. Permohonan itu dikabulkan dan tanggal 5 September 1958 dibentuk Bagian Agama Hindu Bali pada Kementrian Agama.

Perjuangan dilanjutkan membentuk badan Keagamaan Hindu Bali. Tanggal 7 Oktober 1958 dibentuklah panitia untuk persiapan pembentukan Dewan Agama Hindu Bali. Panitianya adalah Paruman Para Pandita, Panti Agama Hindu Bali, dan Angkatan Muda Hindu Bali (Dr. Ida Bagus Mantra dan I Gusti Bagus Sugriwa). Tanggal 6 Desember 1958 panitia mengadakan rapat di Pesanggrahan Bedugul dgn hasil bahwa Hindu Bali Sabha akan diadakan di Denpasar.

Hindu Bali Sabha dilaksanakan 21-23 Februari 1959 di Fakultas Sastra Denpasar. Sidang ini melahirkan Piagam Parisada.
Piagam Parisada 23 Februari 1959 hanya menjangkau wilayah Bali, karena namanya Parisada Dharma Hindu Bali. Sabha Hindu Bali I, 7-10 Oktober 1964 menetapkan anggaran Dasar Parisada dengan Piagam Parisada terdahulu sebagai dasarnya, dengan perubahan yakni mengganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma.  Sabha Hindu Bali II (mahasabha II) 2-5 Desember 1968 di #Denpasar, resmi menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia #PHDI.

#Sejarah #Bali #SejarahBali

www.sejarahbali.com

Sumber: Buku Biografi Ida Bagus Mantra, wikipedia, foto: Koleksi Pribadi @rai_mantra

Dagang Banten Bali

.

Jumat, 27 November 2020

Pengertian Tri Hita Karana dan Bagian-Bagiannya Serta Contohnya Dalam Kehidupan Agama Hindu

 



Kearifan lokal merupakan proses adaptasi pengetahuan lokal yang demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama. Sama halnya dengan yang terjadi di Bali, kearifan tradisional ini menjadi suatu bentuk keyakinan, pemahaman dan wawasan serta adat kebiasaan bahkan etika yang menuntun perilaku masing-masing manusia dalam kehidupan serta komunitas ekologisnya. Sehingga membentuk suatu kepercayaan hakiki yang seyogyanya meresap dalam sanubari masing-masing individu yang terkoneksi dengan Tuhan, alam dan sesama manusia.



Igame; hindulampung

Tri Hita Karana menjadi falsafah hidup yang begitu tangguh. Masing- masing hubungan yang tercipta memiliki pedoman hidup untuk menghargai sesama aspek sekelilingnya. Demikian juga, sama halnya dengan menghargai Tuhan dengan selalu mengingat-Nya kapanpun dan dimanapun, menghargai alam dengan tidak merusaknya dan tidak menyalahi aturan yang sudah ada, menghargai sesama manusia dengan menjaga perasaan dan bersikap empati agar selalu rukun dan damai. Prinsip pelaksanaan dibuat sedemikian rupa hingga seimbang dan selaras satu sama lainnya. Berdasar pada kearifan lokal ini, sekiranya kita bisa belajar mengimplementasikan filosofi hidup dengan mantap, kreatif serta dinamis semata-mata demi mewujudkan kehidupan harmonis.


Pengertian Tri Hita Karana


Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, di mana kata Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera atau bahagia dan Karana artinya sebab atau penyebab. Tri Hita Karana berarti tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagiaan bagi umat manusia. Untuk itu ketiga hal tersebut harus dijaga dan dilestarikan agar dapat mencapai hubungan yang harmonis. Sebagaimana dimuat dalam ajaran Agama Hindu bahwa "kebahagiaan dan kesejahteraan" adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hidup manusia, baik kebahagiaan atau kesejahteraan fisik atau lahir yang disebut ” Jagadhita ” maupun kebahagiaan rohani dan batiniah yang disebut "Moksa".


Bagian-Bagian dan Contoh Tri Hita Karana


Untuk bisa mencapai kebahagiaan yang dimaksud, kita sebagai umat manusia perlu mengusahakan hubungan yang harmonis (saling menguntungkan) dengan ketiga hal tersebut di atas. Karena melalui hubungan yang harmonis terhadap ketiga hal tersebut diatas, akan tercipta kebahagiaan dalam hidup setiap umat manusia. Oleh sebab itu dapat dikatakan hubungan harmonis dengan ketiga hal tersebut di atas adalah suatu yang harus dijalin dalam hidup setiap umat manusia. Jika tidak, manusia akan semakin jauh dari tujuan yang dicita-citakan atau akan menemukan kesengsaraan. Tri Hita Karana sebagai konsep kearifan lokal, terdiri dari;

Hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi Wasa (Parhyangan).
Hubungan manusia dengan sesama manusia (Pawongan).
Hubungan manusia dengan alam semesta (Puruûha), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 273-274)

Konsep ini (Tri Hita Karana) di Bali tercermin dalam tata kehidupan masyarakat Hindu yang meliputi tiga unit yaitu: (1) Parahyangan, yakni berupa unit tempat suci (Pura) tertentu yang mencerminkan tentang Ketuhanan. (2) Pawongan, berupa unit dalam organisasi masyarakat adat sebagai perwujudan unsur antara sesama manusia. (3) Palemahan, yaitu berupa unit atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur alam semesta atau lingkungan.


Tiga unit yang disebut Tri Hita Karana yang refleksinya terwujud dalam banyak aspek kehidupan dalam masyarakat Hindu. Ketiga hubungan yang harmonis tersebut diyakini akan membawa kebahagiaan dalam hidup ini. Sebagai konsep dasar dari ajaran Tri Hita Karana dalam Agama Hindu dapatlah kiranya diperhatikan atau direnungkan melalui sloka berikut ini :

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Mattahparataram na nyat kimchid asti dhananjaya, mayi sarwam idam protam sutre manigana iva”.


Terjemahan:


"Tiada yang lebih tinggi daripada-Ku oh Dananjaya, yang ada disini semua terikat pada-Ku bagaikan rangkaian mutiara pada seutas tali", (Bhagawadgita, VII.7).


Dari penjelasan sloka tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), demikianlah pada akhirnya semua ini akan kembali kepada-Nya. Keberadaan Hyang Widhi Wasa dari sudut agama adalah mutlak, karena jika direnungkan secara mendalam bahwa segalanya adalah kehendak-Nya. Maka kalau kita menyadari hal ini sewajarnyalah kita berbakti kepada Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 274).




Hubungan manusia dengan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam hal ini lebih ditekankan pada upaya umat manusia untuk selalu ingat dan berhubungan dengan Sang pencipta alam semesta ini, sebagai sarana untuk mendekatkan diri bisa dengan doa atau sarana dalam persembahyangan. Hal tersebut seperti biasanya dapat kita lakukan di tempat-tempat suci seperti di Pura, Candi, Mandir atau di tempat yang dipandang suci. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tidak semua orang bisa berhubungan langsung dengan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), untuk itu perlu sarana sebagai simbol untuk memanifestasikan Tuhan itu sendiri. 

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Hubungan manusia dengan sesama umat manusia (masyarakat). Manusia menurut kodratnya sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup menyendiri, untuk menjaga kelangsungan hidupnya ia selalu memerlukan orang lain dan hidup berdampingan dalam persaudaraan. Dengan demikian manusia disebut sebagai makhluk sosial. Hubungan manusia dengan sesama manusia atau sesama masyarakat dengan masyarakat lainnya akan dapat terwujud secara harmonis, yang selanjutnya akan terwujud masyarakat sejahtera, aman, dan damai. Dari kondisi tersebut maka akhirnya terwujud pula negara yang tenteram. Hubungan yang aman, damai, dan harmonis terhadap sesama masyarakat sangatlah perlu ditingkatkan dan dibina berdasarkan saling asah, asih, dan asuh. Saling menghargai, saling mengasihi, saling membimbing, dan saling hormat menghormati. Oleh karena itu untuk mencapai kebahagiaan tersebut perlu menjalin hubungan yang harmonis pada unsur manusia itu sendiri. 



Manusia tidak akan memiliki arti dalam kesendiriannya, sebab tidak banyak hal yang dapat dibuat dengan kesendiriannya, sedangkan kehidupannya menuntut hal-hal yang sangat kompleks dalam hidup bermasyarakat dewasa ini. Jadi di samping memiliki keahlian, profesi pada bidang-bidang tertentu maka banyak hal yang terkadang tidak dapat dikerjakannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sinilah seseorang saling membutuhkan kehadiran orang lain, terutama untuk saling membantu dalam bidang-bidang tertentu dari kehidupannya yang tidak dapat diselesaikannya sendiri, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 275).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Dalam realita hidup misalnya kita mengetahui Bima yang ahli dalam bidang listrik dan elektronik, Dharma memiliki kemampuan di bidang komputer, sedangkan Catur adalah pakar pertanian dan perikanan. Agar Bima, Dharma dan Catur dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sempurna, maka ia harus bekerja sama antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini minta bantuan sama Adi untuk mengerjakan pekerjaan di bidang listrik dan elektronik. Bima mesti siap saling membantu dan begitu juga Dharma dan Catur harus siap membantu mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan keahliannya masing-masing, sehingga akan tercapai tujuan dan keharmonisan bersama.


Demikian kenyataannya, Tuhan Yang Maha Esa memang telah menciptakan manusia dengan keahliannya yang berbeda-beda, yang dimaksud demi kesempurnaan kehidupan manusia sebagaimana dijelaskan dalam Veda Smrti berikut:



"Lokanam tu wiwwrddhyyartham mukhabaahu rupadatah brahmanan ksatryam waisyam cudram ca nirawartayat ”.


Terjemahan:


"Tetapi demi keamanan dan kemakmuran dunia, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan Brahmana, Ksatrya, Wesya, Sudra (sesuai dengan fungsinya) yaitu dari kepalanya, dari tangannya, perutnya, dan kakinya" (Veda Smrti I. 31).


Menyadari hal demikian kita harus selalu menjalin hubungan dengan sesama manusia, hubungan yang dimaksud dalam hal ini adalah hubungan baik yang saling menghormati dan saling membantu, simbiosis mutualisme, sebab hanya hubungan yang demikian dapat memberiarti kepada hidup manusia. Untuk dapat memetik hikmah dari kehidupan bersama tersebut seseorang harus tetap berpegangan kepada ajaran dharma, yang pada intinya mengharapkan agar dalam kehidupan di muka bumi ini seseorang harus selalu mengukur diri sendiri. Setiap akan melangkah, seseorang diharapkan bertanya pada dirinya sendiri, apakah yang di lakukan tersebut jika ditujukan kepada dirinya sendiri akan menyebabkan atau memberi akibat baik atau buruk. Itulah rahasia sederhana yang diajarkan dalam menempuh hidup bersama untuk memperoleh kesuksesan. Apabila semua itu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka tentunya tidak akan ada kesulitan dalam hidup manusia untuk mewujudkan tujuannya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 276).

Dagang Banten Bali

Hubungan umat manusia dengan alam semesta (lingkungan). Dalam konteks ini umat manusia sangat erat sekali hubungannya dengan alam semesta, seperti yang kita ketahui semua kebutuhan hidup yang diperlukan oleh umat manusia bersumber dari alam semesta dan kita sama-sama merupakan ciptan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam ajaran Tat Twam Asi dijelaskan "kamu adalah aku” yang artinya; kita semua yang ada di alam semesta ini sama- sama merupakan ciptaan-Nya. Perlu kita sadari umat manusia tidak bisa hidup tanpa alam semesta (lingkungan), dalam kitab suci Veda dijelaskan segala kebutuhan hidup umat manusia hampir semuanya berasal dari alam semesta. Sekali lagi, manusia tidak bisa hidup tanpa alam semesta (lingkungan). Seperti yang kita ketahui dari hasil hutan banyak sekali tumbuh-tumbuhan, baik yang bisa kita olah menjadi makanan, obat-obatan, bahan kecantikan, atau untuk bahan bangunan, peralatan mebel dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam kekawin Niti Sastra disebutkan ;


"Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi singa itu juga selalu dijaga oleh hutan, jika singa dengan hutan berselisih, mereka akan marah lalu singa akan meninggalkan hutan. Hutannya dirusak, dibakar, dibinasakan orang. Pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi gundul. Singa yang berlarian dan bersembunyi, lari ke tengah-tengah ladang, diserbu orang dan akhirnya binasa”. Manusia diciptakan, dilahirkan, akan selalu berhubungan dengan alam lingkungan dan selalu bersifat saling memelihara antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini manusia memerlukan alam lingkungan sebagai tempat hidup dan alampun perlu dipelihara oleh manusia supaya tidak punah.


Mengingat sangat pentingnya alam semesta (lingkungan) ini marilah kita semua menjaga dan memelihara hutan dan hewan yang ada di sekitar kita. Memelihara hewan, menanam pohon kembali salah satu bukti bahwa kita peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal yang demikian sudah menjadi kodrat yang tak dapat dihindari oleh semua umat manusia di manapun ia berada, sebagaimana disuratkan dalam kitab suci Veda bahwa dunia ini, sengaja diciptakan oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menjadi ”sapi perahan” (kamadhuk), yang dapat mengembangkan hidup manusia. Hal ini juga ditekankan dalam Bhagawadgita sebagai berikut :


"Sahayajnah prajah srishtva puro vacha prajapatih anena prasavishya dhvam asha vo stv istha kamadhuk ”, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 277).


Terjemahan:


"Pada masa yang silam Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta atas dasar yadnya (cinta kasih dan pengorbanan) dan bersabda; "Dengan ini engkau akan berkembang biak, jadikanlah bumi ini sebagai sapi perahan yang memberi kehidupan kepada umat manusia" (Bhagawadgita III. 10).


Dengan kata lain, jagat raya ini adalah sumber artha (kebutuhan hidup) manusia. Contoh riil akan peran bumi sebagai sapi perahan (ibu) bagi segala kehidupan (termasuk manusia) yang ada di bumi, sangat mudah kita tunjukan misalnya: manusia memerlukan makanan bisa didapatkan dari tanaman padi yang tumbuh di bumi ini, kita perlu ikan, daging dan yang lainnya dapat kita peroleh dari di bumi ini. Contoh lain disamping makanan, manusia perlu sandang yang juga diperoleh dari hasil bumi. 

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Sepanjang sejarah manusia tidak dapat menciptakan kehidupan atau makhluk hidup yang semuanya adalah merupakan kuasa-Nya. Yang sering kita lihat adalah keberhasilan manusia untuk mengadakan kreasi dari ciptaan Yang Maha Esa, seperti adanya usaha penyilangan, sehingga dari usaha tersebut mendapatkan jenis hewan atau tanaman yang memiliki ragam yang lain dari ragam aslinya.


Dengan kenyataan ini, tentunya tidak tepat jika kita menyatakan sebagai pencipta. Oleh karena itu peran bumi tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia, sebab manusia tidak akan bisa bertahan hidupnya jika sumber artha tersebut musnah. Walaupun demikian harta bukan segala-galanya, artinya ia bukan tujuan akhir (utama) bagi hidup manusia. Harta adalah sarana untuk menunjang kehidupan manusia dalam usaha untuk mencapai tujuan yang sejati. Jika boleh diumpamakan lalu lintas laut, maka harta adalah air laut itu sendiri, yang digunakan sebagai perantara bagi perahu, guna untuk mencapai pulau harapan. Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa dalam penggunaan perantara tersebut, perlulah adanya suatu logika tertentu, sehingga perahu tersebut tidak tenggelam, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 278).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Begitu juga hasil penggunaan harta, maka ia harus memperhatikan ajaran- ajaran dharma, sebagaimana ditekankan dalam seloka berikut :


”Kamarthau lipsamanastu dharmamevaditascaret, nahi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana”.


Terjemahan:


"Pada hekikatnya, jika harta dan kama hendak dituntut, maka seharusnya dharma dilakukan lebih dahulu, tidak tersangsikan lagi pasti akan diperoleh harta dan kama itu nanti, tak akan ada artinya jika harta dan kama diperoleh menyimpang dari dharma", (Sarasamuccaya, 12).


”Yatha yatha hi purusah kalyana ramate manah tatha tathasya siddhyanti sarvartha natrasamsayah”.


Terjemahan:


"Setiap orang baik orang kaya berkecukupan atau orang miskin sekalipun, selama melaksanakan dharma sebagai kesenangannya niscaya tercapai apa yang diusahakan (Sarasamuccaya 17)".


Melalui penjelasan pada sloka tersebut di atas, tentunya orang tidak akan semena-mena menikmati alam semesta ini. Jika kondisi yang demikian dapat diciptakan, tentu tak akan ada praktik-praktik pembabatan liar (ilegal loging), pencemaran/ polusi udara, termasuk polusi spiritual. Sebagai pengamalan dari ajaran tersebut dalam praktik kehidupan beragama sehari-hari kita mengenal adanya rerahinan atau upacara tumpek seperti tumpek wariga, tumpek kandang tumpek landep dan juga upacara pakelem, pecaruan dan lain-lain. Semua upacara tersebut pada dasarnya adalah upaya (spiritual) pelestarian lingkungan, dan bukan merupakan bentuk-bentuk praktik ”totemisme” ataupun ”dinamisme”, sebagaimana yang sering dinilai oleh pihak-pihak yang tidak mengetahui secara pasti dan mendalam makna upacara tersebut.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Demikian dasar-dasar ajaran yang perlu kita perhatikan dalam rangka hubungan manusia dengan alam semesta dan segala isi ataupun kondisinya. Jika semua ini dapat diamalkan dalam peri kehidupan sehari-hari, pasti tidak akan ada masalah-masalah tentang lingkungan hidup, sebagaimana yang dikhawatirkan dewasa ini. Contoh pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan alam semesta yang dirayakan pada Hari Raya Galungan. Hari Raya Galungan merupakan piodalan jagat atau oton bumi, yang dilaksanakan pada hari rabu kliwon wuku dungulan, yang jatuh pada tiap-tiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari sekali, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 279).


Dari beberapa makna yang terkandung di dalamnya, Hari Raya Galungan merupakan peringatan dan perayaan tegaknya dharma di atas adharma. Berdasarkan atas tradisi dikenal adanya dua versi tentang perayaan Hari Raya Galungan diantaranya adalah: Tradisi di Bali menghubungkan sejarah Hari Raya Galungan dengan runtuhnya kerajaan Mayadanawa. Di samping itu ada juga yang menghubungkan dengan Raja Jayapangus menerima wahyu dari Bhatari Durga tatkala beliau bersemedhi atau bertapa, agar Hari Raya Galungan dirayakan oleh masyarakat Bali.


Tradisi di India mengaitkan tentang sejarah perayaan Hari Raya Galungan (Durgapuja, Navaratri, Dussera atau Dasahara) yang jatuh pada tanggal, 1 sampai dengan 10 paro terang bulan Aswasuji atau Asuji (September- Oktober) yaitu untuk memperingati kemenangan dharma terhadap adharma, upacara ini untuk menghormati kemenangan Sri Rama melawan Ravana yang disebut juga Dasamukha (berkepala sepuluh). Konon Sri Rama berhasil jaya oleh karena anugrah Devi Durga, karena itu sebagai umat Hindu memuja-Nya pada hari tersebut sebagai Durgapuja.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Versi lain menyebutkan sebagai kemenangan Sri Kresna melawan raksasa Narakasura. Upacara yang berlangsung 10 hari ini, sembilan hari pertama disebut Vijaya Dasami. Hari raya yang disebut juga Dussera ini mirip dengan Galungan dan Kuningan di Indonesia.


Tumpek wariga merupakan hari upacara untuk tumbuh-tumbuhan, sebagai ungkapan puji syukur terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena beliau telah menciptakan tumbuh-tumbuhan atau hutan demi kelangsungan hidup umat manusia. Tumpek kandang merupakan upacara untuk semua hewan atau binatang, sebagai ungkapan puji syukur kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena beliau telah menciptakan hewan seperti yang telah kita nikmati untuk kebutuhan makanan demi untuk kelangsungan hidup umat manusia. Di satu sisi, umat Hindu dilarang membunuh (ahimsa), tapi di sisi lain umat Hindu sering membunuh binatang atau hewan. Dalam Slokantara 59 dijelaskan, himsa (membunuh) itu dibolehkan untuk dipersembahkan atau untuk mempertahankan diri. Himsa itu bisa dilakukan dalam beberapa hal berikut :

Deva Puja yaitu untuk upacara keagamaan atau dipersembahkan untuk kepentingan Yadnya dan lain-lain.
Atithi Puja, yaitu untuk disuguhkan kepada tamu.
Walikrama Puja, yaitu untuk upacara korban pecaruan (Bhuta Yadnya).
Untuk melindungi diri dalam keadaan perang dan lain-lain, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 280).


RELATED:
Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur
Contoh Penerapan Dasa Nyama Brata (Bratha) dalam Kehidupan
Hubungan Tri Rna dengan Yadnya dalam Hindu
Perlu diketahui sebelum hewan dipotong hendaknya terlebih dahulu didoakan, adapun doanya sebagai berikut;


“Om pasu pasàya wimahe sirascadaya dhimahi tano jiwah pracodayat.
Om Santih, Santih, Santih, Om".


Terjemahan:


"Semoga atas perkenan dan berkah-Mu, para pemotong hewan dalam upacara kurban suci ini beserta orang-orang yang telah berdana punia untuk yadnya ini memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan. Tuhan, hamba memotong hewan ini, semoga rohnya menjadi suci". (Ngurah, IGM. 2003 : 14).


Diharapkan agar hewan yang dikorbankan untuk dipersembahkan, taraf hidupnya akan lebih meningkat atau lebih baik. Dengan demikian ajaran Tri Hita Karana sangat tepat bagi umat Hindu sebagai pedoman dalam melestarikan alam semesta. Karena antara yang satu dengan yang lainnya sangat berhubungan erat bahkan bahkan tidak dapat dipisahkan. Terjadinya hubungan tersebut disebabkan oleh adanya unsur atman dalam diri manusia, di mana unsur tersebut berasal dari Parama Atman (Tuhan Yang Maha Esa). Kondisi inilah yang menyebabkan manusia selalu tertarik untuk berhubungan (menyembah) Tuhan Yang Maha Esa. Jika dibandingkan dengan magnet elementernya (bagian, potongan). Sesuai dengan hukumnya, maka magnet inti yang memiliki daya tarik yang lebih besar, akan menarik magnet yang memiliki sifat lebih kecil. Hal inilah yang cenderung menyebabkan manusia ingin atau rindu mencari atau berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (asal dan akhir tujuan hidupnya). Dalam kaitan ini Upanisad sering mengumpamakan dengan sungai; yang dengan penuh kerinduan ingin bertemu dengan laut, asalnya.


Demikianlah manusia senantiasa rindu ingin bertemu dengan Tuhannya, dan selalu ingin merealisasikan kerinduannya dengan berbagai cara, sesuai dengan kemampuannya. Ada yang melalui pemasrahan diri kepada-Nya (bakti marga) jalan karma (karma marga), jalan ilmu pengetahuan (jnana marga) ataukah ajaran Yoga (yoga marga). Setiap jalan itu tersebut memiliki keistimewaannya masing-masing, dan setiap cara tersebut mulia pada tempatnya masing- masing. Hubungan ini merupakan hubungan yang sengaja dijalin untuk dapat mewujudkan tujuan hidup manusia; yakni ”amor ing acintya ”, luluh dengan asal manusia (kehidupan).


Pencapaian tujuan tersebut sangat penting, sebab kondisi yang demikian akan membebaskan manusia dari kesengsaraan hidupnya. Tentunya pencapaian tujuan tersebut diupayakan melalui tahapan tertentu, dari yang bersifat fisik (material) hingga hubungan yang sifatnya spiritual (abstark), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 281).


Hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa misalnya, tahap awal diupayakan dengan meluluhkan ”ego” (ahamkara ), sebab hanya dengan demikian seseorang akan dapat memberi pengakuan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah maha segala-galanya; di lain pihak luluhnya ego menyebabkan seseorang mengakui kemampuannya (jika dibandingkan dengan kemampuan Tuhan Yang Maha Esa), terbatas adanya. Pengakuan tersebut mendorong manusia tunduk dengan segala hukum yang ditentukan oleh-Nya. Dengan adanya pengakuan tersebut maka seseorang dijauhkan dari kesombongan yang cenderung menggiring seseorang untuk berperilaku yang tidak baik, yang akan merugikan manusia itu sendiri.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Menyadari adanya akibat tersebut, maka kita perlu senantiasa selalu berhubungan dengan-Nya, sehingga berangsur-angsur kita akan memperoleh ” pencerahan ”. Yang memungkinkan kita untuk mengenal hal-hal yang baik dan hal-hal yang tidak baik yang mendorong tercapainya tujuan hidup.


Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berusaha dengan segala kemampuannya sendiri. Sebagai manusia yang menyadari dirinya terbatas dan memiliki kekurangan, maka diperlukan kekuatan lain yaitu dengan menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa yaitu melalui :

Yadnya yang dilakukan setiap hari ( Yadnya sesa ) atau masegeh;
Melakukan sembahyang setiap hari atau berdoa;
Melakukan Yadnya (Deva Yadnya);
Melaksanakan Naimitika Karma, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 282).
Baca: Contoh Ceritra Tentang Kekuasaan Tuhan, Ida Sanghyang Widhi Wasa Dalam Hindu


Renungan Bhagawadgita.III.9


”Yajnaarthat karmano nyatra loko yam karma bandhanah Tadrtham karma kauateya mukta sangah samachara”


Terjemahan:


“Kecuali untuk tujuan bakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja, karenanya bekerjalah demi bakti tanpa kepentingan pribadi".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/pengertian-tri-hita-karana-dan-bagian.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Kamis, 26 November 2020

Bentuk-bentuk Tantra, Yantra, dan Mantra yang Dipergunakan dalam Praktik Kehidupan Sesuai Ajaran Agama Hindu

 



Tantra adalah konsep pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa di mana manusia kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-Nya, sehingga ada keinginan untuk mendapatkan sedikit kesaktian. Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra, upacara dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga philosopy, yang berkembang baik dalam Hinduisme maupun Budhisme. Tantra adalah cabang dari Agama Hindu. Kebanyakan kitab-kitab Tantra masih dirahasiakan dari arti sebenarnya dan yang sudah diketahui masih merupakan teka-teki. Ada baiknya diantara kita mulai belajar mendiskusikan ajaran tantra berlandaskan makna ajaran tersebut yang sesungguhnya, dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan melaksanakan dengan bentuknya yang baik dan benar.


Secara umum dapat dinyatakan bahwa yantra dan mantra adalah bentuk- bentuk ajaran tantra yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat pengikutnya guna memuja kebesaran Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur semua yang ada ini. Namun demikian pelaksanaannya masih perlu disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan pelaksananya, sehingga mereka dapat terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan bersama.



Foto; laddu_gopal_sofa

Yantra


Di dalam pemujaan yantra adalah sarana tempat memusatkan pikiran. Yantra adalah sebuah bentuk geometrik. Bentuk yantra yang paling sederhana adalah sebuah titik (Bindu) atau segi tiga terbalik. Disamping ada bentuk yantra yang sederhana, ada juga bentuknya yang sangat rumit (simetris dan non-simetris) yang semuanya itu dapat disebut Yantra. Semua bentuk-bentuk ini didasarkan atas bentuk-bentuk matematika dan metode-metode tertentu. Yantra tersebut dipergunakan untuk melambangkan para Deva seperti Siwa, Wishnu, Ganesha, dan yang lainnya termasuk Sakti. Keadaan mantra dan yantra adalah saling terkait. Pikiran dinyatakan dalam bentuk halus sebagai satu mantra dan pikiran yang sama dinyatakan dalam bentuk gambar sebagai sebuah Yantra. Dinyatakan terdapat lebih dari sembilan ratus Yantra. Salah satu dari Yantra yang terpenting adalah Sri Yantra, atau Navayoni Chakra, melambangkan Siwa dan Sakti. Yantra itu dapat dicermati dari berbagai praktik aliran atau pengikut Sakti (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:191)
Adapun bentuk-bentuk yantra yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah;
1. Banten


Banten adalah salah satu bentuk Yantra, sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Yadnya Parakerti. Banten itu memiliki arti yang demikian dalam dan universal. Banten dalam upacara agama Hindu adalah wujudnya sangat lokal, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai yang universal. Banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran Agama Hindu dalam bentuk simbol. Banten menurut Lontar Yadnya Prakerti menyatakan sebagai simbol ekspresi diri manusia. Misalnya; banten caru sebagai lambang penetralisir kekuaan negatif, banten peras sebagai lambang permohonan untuk hidup sukses dengan menguatkan Tri Guna ‘Peras Ngarania Prasidha Tri Guna Sakti’ artinya hidup sukses itu dengan memproporsikan dan memposisikan dengan tepat dinamika Tri Guna (Sattwam Rajas Tamas) sampai mencapai Sakti.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

2. Susastra


Dalam tradisi Hindu, yantra umumnya digunakan untuk melakukan upakara puja dengan mengikut-sertakan bija mantra sesuai yantra tersebut. Banyaknya jenis puja dan setiap puja menggunakan yantra maka penggunaan mantra juga menjadi berbeda. Adapun bentuk-bentuk yantra dalam kesusteraan Hindu antara lain:


a. Bhu Pristha yantra; adalah yantra yang biasanya dibuat secara timbul atau dipahat pada suatu bahan tertentu. Bhu Pristha yantra biasanya hanya ditulis pada selembar kertas atau kain.
b. Meru Pristha yantra; adalah yantra yang berbentuk seperti gunung atau piramid dimana di bagian dasar penampangnya dibuat lebar atau besar semakin keatas semakin mengecil misalnya bentuk meru pada bangunan pelinggih yang ada di Bali.
c. Meru parastar yantra; adalah bentuk yantra yang dipotong sesuai garis yantra tersebut atau dipotong bagian tertentu.
d. Ruram Pristha yantra; adalah yantra dimana bagian dasarnya membentuk mandala segi empat dan diatasnya dibentuk sebuah bentuk tertelungkup atau seperti pundak kura-kura 
e. Patala yantra: adalah yantra yang di bagian atas bentuknya lebih besaran dari pada bentuk bagian bawahnya yang ‘kecil’. Bentuk ini kebalikan dari meru Pristha yantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:192).


Setiap Yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada Yantra tersebut akan mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena yantra mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda. Bentuk-bentuk yantra dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern sehingga yantra tidak lagi kelihatan seperti barang seni atau sebuah perhiasan belaka, tetapi disesuaikan dengan makna dan ciri yantra serta kebutuhan si pemakainya. Sesuai perkembangan jaman sekarang banyak sekali yantra dibentuk kecil, misalanya dalam bentuk kalung, gelang dan cincin. memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu dekat dengan si pemakainya, dengan kedekatan itu maka energi yang ada dalam yantra dan energi pemakai menjadi saling menyesuaikan. Yantra dapat diibaratkan sebagai polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi si pemakainya sehingga dalam waktu singkat fungsi yantra yang dikenakan dapat dirasakan manfaatnya atau hasilnya.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Siwa lingga adalah bagian dari Tantrisme. Dewasa ini hampir di semua tempat suci (Pura) seseorang dapat melihat Siwalingga yang diwujudkan dengan lingga – yoni. Menurut Siwa Purana, itu melambangkan ruang di mana alam semesta menciptakan dan melenyapkan dirinya berulang-kali. Sedangkan menurut Tantra mewujudkannya dengan phalus dan yoni sebagai perlambang dari sifat laki-laki dan wanita. Ia juga melambangkan prinsip- prinsip kreatif dari kehidupan. Siwalingga bisa bersifat Chala (bergerak) atau Achala


(tidak bergerak). Chala Lingga dapat ditempatkan di Pura atau rumah atau dapat dibuat secara sementara dari tanah liat atau adonan atau nasi. Achala Linga biasanya ditempatkan di Pura, terbuat dari batu.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Bagian terbawah dari Siwalingga disebut Brahmabhaga yang melambangkan Brahma, bagian tengah yang berbentuk segi delapan disebut Wishnubhaga yang melambangkan Wishnu, dan bagian menonjol yang berbentuk silinder disebut Rudrabhaga, serta pemujaan kepadanya disebut Pujabhaga (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:193)


Mandala artinya “lingkaran.” Ia sesungguhnya bentuk yantra yang paling rumit. Ia berwujud dalam segala bentuk dan sifatnya sangat artisitik. Dalam agama Hindu, mandala digunakan sebagai alat bantu meditasi. Keindahan dari tempat-tempat suci (Pura) Hindu terletak dalam jumlah mandala yang dipahat di batu-batu di dinding Pura. Sebuah mandala terdiri dari satu pusat titik, garis-garis dan lingkaran-lingkaran yang diletakkan secara geometrik di sekeliling lingkaran. Pusatnya biasanya adalah sebuah titik (Bindu). Kita juga dapat melihat mandala di Wihara Buddha. Dibalik setiap mandala terdapat sejumlah besar pikiran-pikiran. Kadang-kadang melihat sebuah mandala sepertinya kita melihat melalui sebuah kaleidoskop.



Sri Chakra adalah satu dari yantra yang paling kuat dalam ajaran agama Hindu, yang biasanya digunakan oleh penganut sakti Devi ibu, dalam pemujaan-Nya. Sri Chakra adalah simbol dari Lalitha aspek dari Ibu Suci. Ia terdiri dari sebuah titik (Bindu) pada pusatnya, yang dikelilingi oleh sembilan Trikona, lima dari padanya dengan puncak menghadap ke bawah dan empat yang lain menghadap ke atas. . Interseksi


atau persinggungan dari sembilan segi tiga ini menghasilkan empat puluh tiga segi tiga secara total. Ini dikelilingi oleh lingkaran konsentris dari delapan daun bunga teratai dan juga oleh tiga lingkaran konsentris. Akhirnya pada sisi paling luar, ada sebuah segi empat (Chaturasra) yang dibuat dari tiga garis, garis yang satu ada di dalam garis yang lain, membuka ditengah-tengahnya masing-masing sisi sebagai empat gerbang.


Mandala dalam konsep Agama Hindu adalah gambaran dari alam semesta. Secara harafiah mandala berarti “lingkaran.” Mandala ini terkait dengan kosmologi India kuno yang berpusatkan Gunung Mahameru, sebuah gunung yang diyakini sebagai pusat alam semesta. Di dalam Tantrayana mandala juga menggambarkan alam kediaman para makhluk suci, yang sangat penting bagi ritual atau sadhana Tantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:194)

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Saat berlangsungnya sadhana, sadhaka akan menyusun ulang mandala ini baik secara nyata ataupun visualisasi. Sesungguhnya semua orang diantara kita setiap hari telah menyusun mandalanya masing-masing. Mandala adalah melambangkan cakupan karya dan medan pemikiran seseorang. Menurut ajaran Vajrayana, mandala hendaknya disusun secara cermat. Ini menandakan bahwa dalam berkarya seseorang hendaknya cermat dan melakukan yang sebaik-baiknya.


3. Doa (Mantra)


Maharsi Manu yang disebut sebagai peletak dasar hukum yang digambarkan sebagai orang yang pertama memperoleh mantra. Beliau mengajarkan mantra itu kepada umat manusia dengan menjelaskan hubungan antara mantra dengan objeknya. Demikianlah mantra merupakan bahasa ciptaan yang pertama. Mantra-mantra digambarkan dalam bentuk yang sangat halus dari sesuatu, bersifat abadi, berbentuk formula yang tidak dapat dihancurkan yang merupakan asal dari semua bentuk yang tidak abadi. Bahasa yang pertama diajarkan oleh Manu adalah bahasa awal dari segalanya, bersifat abadi, penuh makna. 


Bahasa Sansekerta diyakini sebagai bahasa yang langsung barasal dari bahasa yang pertama, sedang bahasa-bahasa lainnya dianggap perkembangan dari bahasa Sansekerta (Majumdar, 1916, p.603). Sebagai asal dari bahasa yang benar, merupakan ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut mantra. Kata mantra berarti “bentuk pikiran”. Seseorang yang mampu memahami makna yang terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa yang digambarkan di dalam mantra itu (Danielou, 1964, 334).


Bentuk abstrak yang dimanifestasikan itu berasal dan diidentikkan dengan para deva (devata). Mantra merupakan sifat alami dari deva-deva dan tidak dapat dipisahkan (keduanya) itu. Kekuasaan para Deva merupakan satu kesatuan dengan nama-Nya. Aksara suci dan mantra, yang menjadi kendaraan gaib para deva dapat menghubungkan penyembah dengan devata yang dipuja. Dengan mantra yang memadai mahluk-mahluk halus dapat dimohon kehadirannya. Mantra, oleh karenanya merupakan kunci yang penting dalam aktivitas ritual dari semua agama dan juga digunakan dalam aktivitas bentuk-bentuk kekuatan gaib. 

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Pustaka Yamala Tantra menjelaskan sebagai berikut; “sesungguhnya, tubuh devata muncul dari mantra atau bijamantra”. Masing-masing devata digambarkan dengan sebuah mantra yang jelas, dan melalui bunyi-bunyi yang misterius. Arca dapat disucikan dengan mantra dan arca tersebut menjadi ‘hidup’. Demikianlah kekuatan sebuah mantra yang menghadirkan devata dan masuk ke dalam arca, sebagai jembatan penghubung dunia yang berbeda, dimana, mantra-mantra sebagai instrumen, sehingga dapat dicapai sesuatu di luar kemampuan logika manusia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:195)


“Sebuah mantra; dinamakan demikian karena membimbing pikiran (manana) dan hal itu merupakan pengetahuan tentang alam semesta dan perlindungan (trana) dari perpindahan jiwa, dapat dicapai” (Pingala Tantra) “Disebut sebagai sebuah mantra karena pikiran terlindungi” (Mantra Maharnava, dikutip oleh Devaraja Vidya Vacaspati) Sumber: http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/10/ tantra/.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Persepsi yang pertama tentang sebuah mantra selalu ditandai sebagai hubungan langsung antara umat manusia dengan deva. Mantra, diperoleh pertama kali oleh seorang rsi. “karenanya seorang rsi adalah yang pertama merapalkan mantra” (Sarvanukramani). Selanjutnya, mantra ditegaskan dengan karakter matrik (irama) dihubungkan dengan karakter garis-garis lurus berkaitan denga yantra; kenyataannya ini merujuk kepada sesuatu yang dimiliki oleh mantra. Mantra menggambarkan devata tertentu yang dipuja dan dipuji; “mantra itu membicarakan devata” (Sarvanukramani). Selanjutnya pula, seseorang melakukan tindakan dan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan mantra itu.


Unsur-unsur bunyi digunakan dalam semua bahasa untuk membentuk “ucapan suku kata” atau varna-varna yang dibatasi oleh kemampuan alat-alat wicara manusia kecerdasan membedakannya melalui pendengaran. Unsur-unsur ini adalah umum dalam setiap bahasa, walaupun umumnya bahasa-bahasa itu adalah sebuah bagian dari padanya. Unsur-unsur bunyi dari bahasa sifatnya sungguh-sungguh permanen, bebas dari evolusi atau perkembangan bahasa, dan dapat diucapkan sebagai sesuatu yang tidak terbatas dan abadi. 


Kitab- kitab Tantra melengkapi hal itu sebagai eksistensi yang bebas dan digambarkan sebagai yang hidup, kekuatan kesadaran bunyi, disamakan dengan deva-deva. Kekuatan dasar dari bunyi (mantra) berhubugan dengan semua lingkungan dari manifestasinya. Setiap bentuk dijangkau oleh pikiran dan indria yang seimbang dengan pola-pola bunyi, sebagai sebuah nama yang alami. Dasar mantra satu suku kata disebuat sebagai bijamantra atau vijamantra (benih atau bentuk dasar dari pikiran) Danielou, 1964: 335.


Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedang huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan “svara” atau ritme, dan varna atau bunyi. Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri, karena itu apabila diterjemahkan ke alam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya itu hanya sekedar kalimat (Avalon, 1997: 85) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:196)


Mantra itu mungkin jelas dan mungkin pula tidak jelas artinya. Vijra (vijaksara) mantra seperti misalnya Aim, Klim, Hrim, tidak mempunyai arti dalam bahasa sehari-hari. Tetapi mereka yang sudah menerima inisiasi mantra mengetahui bahwa artinya itu terkandung dalam perwujudnnya itu sendiri (svarupa) yang adalah perwujudan devata yang sedemikian itulah mantra-Nya, dan bahwa vija mantra itu adalah dhvani yang menjadikan semua aksara memiliki bunyi dan selalu hadir di dalam apa yang diucapkan dan yang didengar, karena itu setiap mantra merupakan perwujudan (rupa) dari Brahman. 

Dagang Banten Bali


Dari manana atau berpikir didapatkan pengertian terhadap kesejatian yang bersifat Esa, bahwa substansi Brahman dan Brahmanda itu satu dari man yang sama, dan mantra datang dari suku pertama manana, sedangkan tra berawal dari trana, atau pembebasan dari ikatan samsara atau dunia fenomena ini. Dari kombinasi man dan tra itulah disebut mantra yang dapat memanggil datang (matrana) catur varga atau empat tujuan dari mahluk-mahluk luhur. 


Mantra adalah daya kekuatan yang mendorong, ucapan berkekuatan (yang buah dari padanya disebut mantra-siddhi) dan karena itu sangat efektif untuk menghasilkan catur varga, persepsi kesejatian tunggal, dan mukti. Karena itu dikatakan bahwa siddhi merupakan hasil yang pasti dari Japa. Dengan mantra devata itu dicapai (Sadhya). Dengan siddhi yang terkandung di dalam mantra itu terbukalah visi tri bhuvana. Tujuan dari suatu puja (pemujaan), patha (pembacaan), stava (himne), homa (pengorbanan), dhyana (kontemplasi) dan dharana (konsentrasi) serta Samadhi adalah sama. Namun yang terakhir yaitu diksa mantra, sadhana sakti bekerja bersama-sama dengan mantra. 


Sakti yang memiliki daya revelasi dan api dengan demikian lalu memiliki kekuatan yang luar biasa. Mantra khusus yang diterima ketika diinisiasi (diksa) adalah vija mantra, yang ditabur di dalam tanah nurani seorang sadhaka. Terkait dengan ajaran tantra seperti sandhya, nyasa, puja dan sebagainya merupakan pohon dari cabang-cabang, daun-daunnya ialah stuti, vandana bunganya, sedangkan kavaca terdiri atas mantra adalah buahnya (Avalon, 1997: 86).


Nitya Tantra menyebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda, tiga suku kata disebut Kartari. Mantra yang terdiri dari empat sampai sembilan suku kata disebut Vija mantra. Sepuluh sampai dua puluh disebut mantra, dan mantra yang terdiri lebih dari 20 suku kata disebut Mala. Tetapi biasanya istilah Vija diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal. Mantra-mantra Tantrika disebut Vija mantra, disebut demikian karena mantra-mantra itu merupakan inti dari sidhhi, dan mantra-mantra Tantrika itu adalah saripatinya mantra. Mantra-mantra Tantrika pada umumnya pendek, tidak dapat dikupas lagi secara etimologi, seperti misalnya Hrim, Srm, Krim, Hum, Am, Phat dan sebagainya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:197)


Setiap devata memiliki vija. Mantra primer satu devata disebut mula mantra. Kata mula berarti jasad sangat halus dari devata yang disebut Kamakala. Mengucapkan mantra dengan tidak mengetahui artinya atau mengucapkan tanpa metode tidak lebih dari sekedar gerakan-gerakan bibir. Matra itu tidur. Beberapa proses harus dilakukan sebelum mantra itu diucapkan secara benar, dan proses-proses itu kembali menggunakan mantra-mantra, seperti usaha penyucian mulut ‘mukhasodhana’, penyucian lidah ‘jihvasodhana’, dan penyucian terhadap mantra-mantra itu sendiri ‘asaucabhanga’, kulluka, nirvana, setu, nidrabhanga ‘menbangunkan mantra’, mantra chaitanya atau memberi daya hidup kepada mantra dan mantrarthabhavana, yaitu membentuk bayangan mental terhadap devata yang menyatu di dalam mantra itu. 


Terdapat 10 samskara terhadap mantra itu. Mantra tentang devata adalah devata itu sendiri. Getaran-getaran ritmis dari bunyi yang dikandung oleh mantra itu bukan sekedar bertujuan mengatur getaran yang tidak teratur dari kosa-kosa seorang pemuja, tetapi lebih jauh lagi dari irama mantra itu muncul perwujudan devata, demikianlah kesejatiannya. Mantra sisshi ialah kemampuan untuk mebuat mantra itu menjadi efektif dan mengasilkan buah, dalam hal itu mantra itu disebut siddha (Avalon. 1997: 87). Berikut ini adalah beberapa mantra yang dikutip dari buku Doa sehari-hari menurut Hindu, dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat sedharma, sebagai berikut:


Doa, bangun pagi:


Om jagrasca prabhata kalasca ya namah swaha.


Terjemahan:


Oh Hyang Widhi, hamba memuja-Mu, bahwa hamba telah bangun pagi dalam keadaan selamat.


Doa, membersihkan diri (mandi) :


Om gangga amrtha sarira sudhamam swaha, Om sarira parisudhamam swaha.


Terjemahan:



RELATED:
Bagian-Bagian Dasa Nyama Brata atau Bratha
Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur
Contoh Penerapan Dasa Nyama Brata (Bratha) dalam Kehidupan
Ya Tuhan, Engkau adalah sumber kehidupan abadi nan suci, semoga badan hamba menjadi bersih dan suci.


Doa, di waktu akan menikmati makanan:


Om Ang Kang kasolkaya ica na ya namah swaha, swasti swasti sarwa Deva bhuta pradhana purusa sang yoga ya namah (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:198)


Terjemahan:


Oh Hyang Widhi yang bergelar Icana (bergerak cepat) para Deva bhutam, dan unsur Pradhana Purusa, para Yogi, semoga senang berkumpul menikmati makanan ini.


Doa, memohon bimbingan:


Om asato ma sadyamaya tamaso ma jyoti gamaya mrtyor ma amrtam gamaya, Om agne brahma grbhniswa dharrunama syanta riksam drdvamha, brahmawanitwa ksatrawani sajata, wahyu dadhami bhratrwyasya wadhyaya.


Terjemahan:


Tuhan yang maha suci, bimbinglah hamba dari yang tidak benar menuju yang benar, bimbinglah hamba dari kegelapan menuju cahaya pengetahuan yang terang, lepaskanlah hamba dari kematian menuju kehidupan yang abadi, Tuhan yang Maha Suci, terimalah pujian yang hamba persembahkan melalui Veda mantra dan kembangkanlah dan kembangkanlah pengetahuan rohani hamba agar hamba dapat menghancurkan musuh yang ada pada diri hamba (nafsu). Hamba menyadari bahwa engkaulah yang berada dalam setiap insani (Jiwatman), menolong orang terpelajar, pemimpin negara dan para pejabat. Hamba menuju Engkau semoga melimpahkan anugerah kekuatan kepada hamba (Ngurah, IGM. dan Wardhana, IB. Rai. 2003 : 7 – 17).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Demikian dapat diuraikan beberapa bentuk-bentuk Yantra, Tantra dan Mantra yang dipergunakan dalam praktik kehidupan berdasarkan ajaran Agama Hindu dalam tulisan ini. Menjadi kewajiban umat sedharma untuk mempraktikannya, sehingga apa yang menjadi tujuan bersama dapat diwujudkan dengan baik (damai) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:199)
Renungan RV.VI.47.11
“Tràtàram indram avitàram handraýhavehave suhavaý úuram indram, hvayāmi úakram puruhūtam indraý svasti no maghavā dhātvindrah".


Terjemahan:


"Tuhan sebagai penolong, Tuhan sebagai penyelamat, Tuhan yang maha kuasa, yang dipuja dengan gembira dalam setiap pemujaan, Tuhan, maha kuasa, selalu dipuja, kami memohon, semoga Tuhan, yang maha pemurah, melimpahkan rahmat kepada kami".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/09/bentuk-bentuk-tantra-yantra-dan-mantra.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Rabu, 25 November 2020

Bentuk dan Contoh Pemujaan Tri Purusa Dalam Agama Hindu

 



Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.


Baca: Pengertian Tri Purusa dan Bagian-Bagiannya
.

Pura Tanah Lot (image; shiva_bali_tour)

Salah satu contoh tempat pemujaan Tri Purusha adalah Padmasana, Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih merupakan sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusha yaitu jiwa agung alam semesta. Purusha artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Úiwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Swah Loka. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusha yaitu Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988.



Padma Tiga - Pura Besakih

Pura Besakih adalah merupakan sumber kesucian, tempat pemujaan Tri Purusha. Pura Besakih banyak mengandung filosofi. Menurut Piagam Besakih, Pura Agung Besakih adalah Sari Padma Bhuwana atau pusatnya dunia yang dilambangkan berbentuk bunga padma. Oleh karena itu, Pura Agung Besakih dijadikan sebagai pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya. Pura Besakih juga pusat kegiatan upacara agama bagi umat Hindu. Di Pura Agung Besakih setiap sepuluh tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama dan setiap seratus tahun diselenggarakan upacara Eka Dasa Rudra. 


Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu. Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusha. Fungsi dan jenis pelinggih Padmasana yang memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih, selain digunakan sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah palinggih Padma (Padmasana) Tiga. Letaknya di Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar. Perkembangan awal dari Tri Purusha ini disebutkan bahwa ketika Dang Hyang Nirartha pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M, dan ketika itu Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tri Purusha ini, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 267).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bentuk bangunan suci Padma Tiga yang berada di Pura Agung Besakih adalah tempat pemujaan Tri Purusha yakni Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa (Tuhan Yang Mahaesa). Piodalan di Padmasana Tiga dilangsungkan setiap Purnama Kapat. Ini terkait dengan tradisi ngapat. Sasih Kapat atau Kartika, merupakan saat-saat bunga bermekaran. Kartika juga berarti penedengan sari. Padmasana tersebut dibangun dalam satu altar atau yoni. Palinggih padmasana merupakan sthana Tuhan Yang Maha Esa. Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti teratai dan asana berarti tempat duduk atau singgasana. Jadi, padmasana artinya tempat duduk atau singgasana teratai.


Tuhan Yang Mahaesa secara simbolis bertahta di atas tempat duduk atau singgasana teratai atau padmasana. Padmasana lambang kesucian dengan astadala atau delapan helai daun bunga teratai. Bali Dwipa atau Pulau Bali dibayangkan oleh para Rsi Hindu zaman dulu sebagai padmasana, tempat duduk Tuhan Siwa, Tuhan Yang Maha Esa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan Deva penguasanya. Deva Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang. Brahma di selatan bersemayam di Pura Andakasa. Deva Mahadeva di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Siwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Tri Purusha tersebut dipuja di Padmasana Tiga Besakih. Palinggih Padmasana Tiga tersebut merupakan intisari dari padma bhuwana, yang memancarkan kesucian ke seluruh penjuru dunia. ‘’Karena itu, sumber kesucian tersebut penting terus dijaga, sebagai sumber kehidupan. Pembangunan Pura Agung Besakih dan Pura-pura Sad Kahyangan lainnya adalah berdasarkan konsepsi Padma Mandala, bunga padma dengan helai yang berlapis-lapis (Catur Lawa dan Astadala). Pura Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuwana. Pura Gelap, Pura Kiduling Kerteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batumadeg adalah Catur Lawa. Sedangkan Pura Lempuyang Luhur, Goa Lawah,Andakasa, Luhur Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pura Batur adalah Astadala. Pura-pura tersebut sangat disucikan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pura-pura tersebut pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat Hindu.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Pura Besakih sebagai huluning Bali Rajya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih sebagai kepala atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura Besakih juga hulunya berbagai pura di Bali, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 268)


Di Padma Tiga ini Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusha, tiga manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tuhan sebagai Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Úiwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Úiwa atau Parameswara.


Palinggih padma paling kanan tempat memuja Sang Hyang Parama Siwa. Bangunan ini biasa dihiasi busana hitam. Sebab, alam yang tertinggi (Swah Loka) tak terjangkau sinar matahari sehingga berwarna hitam. Bangunan padma yang terletak di tengah adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang Sadha Siwa. Busana yang dikenakan pada padma tengah itu berwana putih. Warna putih lambang akasa. Sedangkan, bangunan padma paling kiri lambang pemujaan Sang Hyang Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Bhur Loka. Busana yang dikenakan berwarna merah. Di Bhur Loka inilah Tuhan meletakkan ciptaan- Nya berupa stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia. Jadi, palinggih Padma Tiga merupakan sarana pemujaan Tuhan sebagai jiwa Tri Loka. Karena itu dalam konsepsi rwa-bhineda, Pura Besakih merupakan Pura Purusha, sedangkan Pura Batur sebagai Pura Predana.


Busana hitam pada palinggih Padma Tiga bukanlah simbol Deva Wisnu, tetapi Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap, karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha- ada di luar alam semesta yang gelap. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta yang disebut Parama Siwa. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman atau tanpa sifat. Manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Kuasa itu.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Padmasana yang berada di tengah, busananya putih-kuning sebagai simbol Tuhan dalam keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada padma paling kiri bukanlah sebagai lambang Deva Brahma. Warna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Sthitti dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Sementara di kompleks Pura Besakih, manifestasi Tuhan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg, Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan Batara Iswara di Pura Gelap, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 269)


Di tingkat Pura Padma Bhuwana, Batara Wisnu dipuja di Pura Batur, simbol Tuhan Maha Kuasa di arah utara. Bhatara Iswara dipuja di Pura Lempuhyang Luhur, simbol Tuhan di arah timur dan Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa, simbol Tuhan Maha Kuasa di arah selatan. Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dengan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan. 

Dagang Banten Bali


Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti- nya kepada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang. Karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing.


Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala ketiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu adalah bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah berlangsung upacara pedanaan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Batara Turun Kabeh maupun upacara Manca Walikrama, apalagi Upacara Eka Dasa Ludra.


Upacara Pedanaan yang dipusatkan di Bale Kambang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dengan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-Ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti pada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca pada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Veda, kitab suci agama Hindu.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Sementara di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Pura Kahyangan Tiga. Ajaran Agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Deva Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Deva Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi. Serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 270-271).


Demikian umat Hindu di Bali memuja Tuhan, bagaimana dengan umat Hindu di luar Bali? Seiring dengan kemajuan zaman dan pengetahuan yang ada, terkait tentang sarana pemujaan kehadapan Tuhan oleh umat Hindu di luar Bali, dapat dinyatakan sudah mengalami kemajuan yang patut kita banggakan bersama. Di antara mereka juga sudah memiliki dan mempergunakan “Padmasana” sebagai tempat untuk memuja kebesaran Sang Pencipta. Berikut ini adalah tempat-tempat suci umat Hindu yang ada di luar Bali, antara lain:






RELATED:
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
Renungan Atharvaveda XIX.41.1


"Bhadram icchanta åûayas tapo diksàm upanisedur agre,
tato ràstram balam ojaúca jàtam tadasmai devà upasamnamantu". 


Terjemahan:


"Para rsi (futurelog) yang memikirkan tentang kemakmuran bangsa mendapatkan dua faktor, yakni kesetiaan dan pengabdian (dedikasi), Dengan menjalankan faktor-faktor itu bangsa ini menjadi kuat dan mulia. Maka dari itu faktor-faktor ini seharusnya dibina".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/bentuk-dan-contoh-pemujaan-tri-purusa.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015