Rabu, 20 Oktober 2021

MENGAPA PADMASANA BERBENTUK KURSI KOSONG?

 



Padmāsana adalah simbul gunung Mandara Giri dimana pada bagian Sari (puncak) adalah singgasana Tuhan.

Dikisahkan di dalam Śiwa Gītā (Padma Purāṇa: Uttara-khaṇḍa). Pada mulanya Brahmā & dewa-dewa lainnya ingin mengetahui wujud asli Tuhan, berkumpul di bawah gunung Mandara yang merupakan gunung favorit-Nya.
Setelah berkumpul di sana, mereka berdiri di bawah gunung Mandara & menyanyikan nyanyian Sūktam untuk-Nya. Mengetahui maksud tujuan mereka, Tuhan muncul & memancarkan ilusi Māyā-Nya. Para dewa, yang dicengkram oleh ilusi Tuhan berkata, 'Siapakah Anda?'. Dalam konteks itu Tuhan menyapa mereka:
.—"Aku adalah Ādi-Anādi-Puruṣa (makhluk primordial terpurba)."
Tuhan kemudian berbicara mengenai keberadaan-Nya sebagai Sangkan Paraning Dumadi, yakni sumber dari segala kehidupan.


—"Ketahuilah bahwa di seluruh alam semesta ini, tidak ada yang lain selain Aku. Aku abadi & Aku juga yang tak abadi, Aku tak bercela. Aku adalah semua arah. Aku Gāyatrī. Semua pria, wanita, & tanpa gender juga adalah Aku. Akulah obyek tertinggi pada Weda, Aku kebenaran. Aku adalah persembahan kurban, Aku pendonor, Aku donatur. Aku memiliki wajah di mana-mana. Aku akhir, tengah, Aku pintu, Aku di luar, Aku di dalam, Aku depan & Aku juga belakang. Aku terang & Aku juga kegelapan. Aku matahari, Aku bulan, Aku bintang & juga planet. Semua makhluk adalah Aku, Aku Prana (nafas), Aku waktu, kematian, & keabadian. Aku adalah masa lalu, sekarang & masa depan. Aku adalah segalanya."
Kisah diatas adalah alternatif lain tentang status gunung Mandara. Kisah umum dari bangunan Padmāsana adalah pemutaran Mandara Giri di lautan Kṣīrārṇava mencari Tīrtha Amṛtā (episode Kūrma Avātara).
Di Bali, Padmāsana lebih seperti tahta kursi singgasana kosong, dimana kekosongan tersebut mewakili sifat Tuhan yang Parā-śūnya (Maha Gaib / tidak terlihat) & sering diwakili oleh relief Acintya (makhluk emas).
"Segala puji-pujian untuk-Mu, wahai penguasa keemasan, yang berbadan emas, yang menghasilkan emas, yang bersuara emas. Salam pada-Mu, O Saṅkara (Śiwa) yang berleher biru."
— Brahmanda Purāṇa (2.26.49-50)
📸: @kakang_photoworks

Selasa, 19 Oktober 2021

identitas sosok Acintya dalam Weda Śruti

 



Weda Śruti (Chāndogya Upaniṣad, 1.6.6) menyebut identitas sosok Acintya ini:

.—"Dia bersemayam di dalam matahari. Rambut & janggut-Nya emas, seluruh badan-Nya emas terus hingga sampai ke ujung kuku-Nya. Mata-Nya seindah bunga Padma."
Lantas, siapa Puruṣa keemasan yang disinggung itu? Sekarang giliran Weda Smṛti (Śiwa Purāṇa, 6.19.15-17) menjelaskan:
.—"Sesungguhnya Weda menyebut Śiwa sebagai keemasan. Di dalam Chāndogya Dia dikatakan memiliki ciri: berkumis emas & berambut emas. Di mana-mana dari kuku sampai rambut-Nya adalah emas."

Uraian tersebut tidak bertentangan dengan teologi Śiwa Siddhānta di Bali. Śiwa adalah Śiwa-Raditya, yaitu Śiwa sebagai penguasa matahari. Umat Hindu Bali bersembahyang menghadap ke timur (matahari terbit) yang tertuju pada pemujaan Śiwa Raditya.
Dalam episode Legodbawa di Bali, yaitu kisah Brahmā & Wiṣṇu yang gagal mencari pangkal & ujung lingga api Śiwa, penampakan Śiwa selalu digambarkan sebagai Acintya. Śiwa Gītā (5.6) menyatakan, "Karena Brahmā & Wiṣṇu gagal menjangkau cahaya pribadi-Ku maka Aku disebut Ananta (Tak Berujung).
Jadi Acintya adalah salah satu wujud Swārūpā Bhedā Parabrahman Sadāśiwa. Secara terminologi acintya berarti "tak terpikirkan". Sesungguhnya Dia yang diluar jangkauan pikiran manusia bukan berarti tanpa wujud, Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad (2.3.1) menyatakan Tuhan adalah Nirguṇa (tanpa atribut) & Saguṇa (beratribut).
Di dalam Īśa Upaniṣad dikatakan "hiraṇmayena pātrena", yang berarti cahaya berwarnakan emas memancar dari badan Tuhan Īśāna. Kata-kata seperti "tat tvaṁ pūṣann apāvṛṇu" menyiratkan: "Kiranya Engkau berkenan menyingkirkan sinar yang menyilaukan ini agar kami dapat melihat wujud-Mu yang sejati."
Purāṇa mengibaratkan terangnya badan Ādi Puruṣa laksana kilauan 10 juta matahari terbit. Oleh karena cahaya menyilaukan itu, secara puitis Śruti memuji Acintya sebagai pribadi keemasan. Dalam Śiwa Sahasranāma (1000 Nama Śiwa) menamai cahaya pribadi tertinggi itu dengan sebutan Brahmajyoti atau Brahmateja. Sinar ini lah yang menyilaukan penglihatan para penentang Tuhan.
______________________________
Mantra Sang Hyang Acintya di dalam Weda, Taittirīya Araṇyaka dari Yajur Veda (10.22.1):
namō hiraṇyabāhavē hiraṇyāvarṇāya
hiraṇya rūpāya hiraṇya-patayē
ambikāti umāpati paśupati namō namaḥ
.—"Sembah bhakti kepada yang bersenjatakan emas, yang berkilau emas, yang wujud-Nya ditutupi oleh cahaya emas, yang adalah penguasa emas. Dia adalah Ambikāpati (yang adalah suami dari Durgā) atau Umāpati (yang adalah suami dari Umā), Dia Sendiri adalah Paśupati (Penguasa dari semua makhluk hidup)."
📸: @tri_ad

Senin, 18 Oktober 2021

Semua orang dicengkram 3 jenis penderitaan rutin




 Tidak perlu membuktikan bahwa diri sendiri lebih bahagia daripada yang lain. Semua orang dicengkram 3 jenis penderitaan rutin, yaitu:

1. Adhidaivika-kleśa = penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam;
2. Adhibhautika-kleśa = penderitaan yang berasal dari makhluk-makhluk hidup lain, misalnya gangguan serangga, atau serangan musuh;
3. Adhyātmika-kleśa = penderitaan yang bersumber dari badan dan pikiran sendiri, misalnya karena mental dan pikiran.

Baik seseorang terlahir di dalam keluarga yang kaya, bangsawan, brāhmaṇa, terpelajar, pengusaha, yang membanggakan kerupawanannya, serta mendapat fasilitas material yang cukup — mereka semua juga mengalami 3 jenis penderitaan yang sama. Ini karena sudah hukum alam bagaimana alam material bekerja dan diatur sedemikian rupa.
Daiva-bhūtātma-hetavaḥ: jiwa-jiwa terikat, ditimpa oleh 3 jenis kesengsaraan ini oleh kendali energi Tuhan bernama Durgā atau Mahāmāyā Śakti.
______________________________
• Bagaimana orang bijaksana menyikapi 3 jenis penderitaan ini?
सुसमीक्षमाणो तत्तेनुकम्पां
भुञ्जान एवात्मकृतं विपाकम्.
हृद्वाग्वपुर्भिर्विदधन्नमस्ते
जीवेत यो मुक्तिपदे स दायभाक्. i
Bilamana ia berduka cita atau jatuh ke dalam kesulitan, dia berpikir itu karunia Tuhan terhadap dirinya. Dia berpikir:
.—"Akibat kesalahan saya dari dahulu seharusnya saya menderita jauh lebih banyak daripada penderitaan yang saya alami sekarang. Oleh karena itu, atas karunia Tuhan, saya tidak mendapat segala hukumannya yang seharusnya saya terima."
— Doa Brahmā kepada Kṛṣṇa (Viṣṇu) di dalam Bhāgavata Purāṇa (10.14.😎.

waraha avatara

 


Menurut mitologi Hindu, pada 100 tahun Satyayuga (zaman kebenaran), mempunyai seorang raksasa bernama Hiranyaksa, saudara kandung yang lebih muda raksasa Hiranyakasipu. Keduanya yaitu kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa berhasrat menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.

Melihat alam hendak mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang mempunyai dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang diterapkan Waraha tidak berlanjut lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan saat ribuan tahun pula. Pada hasilnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah Dia memenangkan pertarungan, Dia mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan menaruh kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.