Selasa, 30 Maret 2021

Kanda Pat - Saudara Kandung Manusia

 






Kanda pat yang merupakan saudara yang akan menemani manusia sejak lahir hingga meninggal nanti.

Kanda Pat adalah Empat Teman: Kanda = teman, Pat = empat, yaitu kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana.


Menurut Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat berubah-ubah menurut keadaan/ usia manusia:

Kanda Pat Rare;
Embrio; Karen, Bra, Angdian, Lembana.
Kandungan 20 hari; Anta, Prata, Kala, Dengen.
Kandungan 40 minggu; Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh-nyom.
Lahir, tali pusar putus; Mekair, Salabir, Mokair, Selair.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kanda Pat Butha;
Bayi bisa bersuara; Anggapati, Prajapati, Banaspati, Banaspatiraja.


Kanda Pat Sari;
14 tahun; Sidasakti, Sidarasa, Maskuina, Ajiputrapetak.
Bercucu; Podgala, Kroda, Sari, Yasren.


Kanda Pat Atma;
Meninggal dunia; Suratman, Jogormanik, Mahakala, Dorakala.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Kanda Pat Dewa;
Manunggal (Moksa); Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, Suniasiwa.



Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.


Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:
Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu yaitu:


Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.
Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record oleh Sang Suratman yang dahulu berbentuk ari-ari. Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa "pelangkiran" di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Demikian sekilas kanda Pat - Saudara Kandung Manusia, semoga bermanfaat.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Senin, 29 Maret 2021

Karma Phala Merupakan Hukum Universal

 






Karma Phala Merupakan Hukum Universal
Dalam melangsungkan kehidupan, maka kita senantiasa melakukan bermacam-macam gerak dan aktivitas. Gerak dan aktivitas yang kita laksanakan itu pada umumnya untuk memenuhi segala kepuasan dan kenikmatan hidupnya secara lahir dan bhatin, yang disesuaikan dengan pandangan dan kebutuhan hidup masing-masing. Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau diluar kesadaran, kesemuanya itu disebut dengan karma. Menurut hukum sebab akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikian pulalah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau phala seperti buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya.


Karma phala ini sangat besar sekali pengaruhnya terhadap keadaan hidup seseorang. Karena karma phala itulah yang menentukan bahagia atau menderitanya hidup seseorang, baik dalam masa hidup didunia ini, diakhirat maupun dalam penjelmaan yang akan datang. Nasib seseorang tergantung pada karmanya sendiri. Barang siapa yang berbuat baik akan mengalami kebahagiaan, yang berbuat jahat akan mendapat hukuman. Apa saja yang dibuatnya, begitulah hasilnya. Apa yang ditanam begitulah tumbuhnya. Menanam padi tentu tumbuhnya padi.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI


Pengaruh hukum karma itu pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak seseorang. Oleh karena karma itu bermacam-macam jenisnya dan tak terhitung banyaknya. Maka watak seseorang pun beraneka macam pula ragamnya. Karma yang baik menciptakan watak yang baik dan karma yang buruk akan mewujudkan watak yang buruk pula. Segala macam karma yang kita lakukan akan selalu tercatat dalam alam pikiran kita. Yang kemudian akan menjadi watak dan berpengaruh terhadap Atma atau Roh.


Hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat kita rasakan dan kita nikmati, seperti halnya tangan yang menyentuh es akan seketika terasa dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa menikmati hasilnya. Setiap karma akan meninggalkan bekas, ada bekas yang nyata, ada bekas dalam angan-angan dan ada juga yang abstrak. Oleh karena itu hasil perbuatan atau phala karma yang tidak sempat kita nikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan sekarang maka akan kita nikmati setelah meninggal dan pada kehidupan yang akan datang.


Hukum Karma yang mempengaruhi seseorang bukan saja akan dinikmatinya sendiri, namun akan diwarisi juga oleh para sentananya atau keturunannya. Misalnya seseorang yang hidupnya mewah dari hasil menghalalkan segala cara, namun setelah orang itu meninggal dunia, kekayaannya diwarisi oleh para sentananya, maka tidak jarang para sentananya mempunyai watak yang akan mewarisi watak purusanya atau leluhurnya. Sehingga kekayaan tersebut tidak akan bertahan lama untuk dinikmatinya dan pada akhirnya akan jatuh miskin, melarat dan menderita. Adanya suatu penderitaan dalam kehidupan ini walaupun seseorang selalu berbuat baik (subha karma), hal itu disebabkan oleh karmanya yang lalu (sancita karma phala), terutama karma yang buruk harus dinikmati hasilnya sekarang, karena tidak sempat dinikmati pada kehidupannya yang terdahulu, sehingga mengakibatkan neraka cyuta (kelahiran dari neraka). Begitu pula sebaliknya seseorang yang selalu berbuat tidak baik (asubha karma) namun hidupnya nampak bahagia, hal itu dikarenakan pada kehidupannya yang terdahulu ia memiliki phala karma yang baik karena ia merupakan kelahiran dari surga (swarga cyuta), akan tetapi perbuatan buruknya dalam kehidupan sekarang bisa dinikmati pada kehidupan sekarang, bisa juga dinikmati pada kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu marilah kita untuk senantiasa selalu dan selalu berbuat kebajikan, berjalan diatas dharma (kebenaran) sesuai dengan ajaran agama yang kita anut, semoga Hyang Widhi selalu memberikan waranugraha-Nya pada kita semua.


Itulah sebabnya mengapa Hukum Karma Phala dikatakan sebagai hukum yang bersifat universal, karena tidak ada seorangpun dan tidak ada satu mahluk hidup pun yang bisa terbebas dari hukum ini. Untuk memperoleh phala karma yang baik hendaknyalah kita memperbanyak berkarma yang baik, dan pada akhirnya kita mampu melepaskan diri dari penderitaan atau samsara (kelahiran yang berulang-ulang) menuju kebahagiaan yang abadi (Sat Cit Ananda) yaitu bersatunya Sang Atman dengan Brahman.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


berikut sloka yang mendukung keberadaan karma phala tersebut
dalam Slokantara sloka 13 disebutkan bahwa:

Artha grhe niwartante smasane mitrawandhawah,
sukrtam duskrtam caiwa chayawadanugacchati


Artinya:
kekayaan itu hanya tertinggal di rumah setelah kita meninggal dunia, kawan - kawan dan sanak keluarga hanya mengikuti sampai dikuburan. hanya karmalah yaitu perbuatan baik atau buruk itu yang mengikuti jiwa kita sebagai bayangannya.


disini dikatakan bahwa bukan kekayaan dan bukan keluarga, tetapi karma (perbuatan baik buruk) yang setia mengikuti kita sampai ke akhirat. untuk itu ini dapat dibandingkan dengan Kitab Niti Sastra III.2 yang berbunyi:


sadrunikanang artha ring greha hilangnya, tan hana winawanya yan pejah.
ikang mamidara swa wandhu, surud ing pamasaran umulih padang ngis
gawe hala hajeng, manuntun angiring, manuduhaken ulah tekeng tekan.
kalinganika ring dadi wwang i sedeng hurip angulaha dharma sadhana.


Artinya:
tempat terakhir dari harta (benda) kekayaan itu ialah sampai dirumah saja, tidak dapat dibawa jika kita mati, orang yang melayat dan keluarga sendiri mengantarkan sampai dikuburan, lalu pulang sambil menangis. hanya pekerjaan buruk atau baik yang akan membawa kita ke akhirat. oleh karena itu kita sementara hidup sebagai manusia haruslah berbuat kebajikan sebagai alat untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia baka.


dalam pustaka Sarasamuccaya pada sloka 32 disebutkan juga sebagai berikut:


A dhumagrannivarttante jnatayah saha bandhavih
yena taih saha gantavayam tat karma sukrtam kuru


Artinya:
adapun semua sanak keluarga itu hanya sampai di pembakaran (di kuburan) batasnya mengantar. adapun yang ikut sabagai teman jika kita ke alam baka ialah perbuatan baik atau buruk itu jua adanya. oleh karena itu berusahalah berbuat baik yang akan merupakan sebagai sahabat yang akan menuntun jiwamu ke alam baka kelak.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
dalam pustaka Sarasamuccaya pada sloka 33 disebutkan sebagai berikut:


mrtam sariramutsrjaya kastalostasaman anah,
muhurttamuparudyatha tato yanti paranmukhah, rudyatha.


Artinya:


pada saat kematian, tinggallah jasmani yang tak berguna ini yang pasti akan dibuang tak bedanya dengan pecahan periuk. nah itulah yang dipeluk, diratapi oleh keluarga untuk sementara waktu dan pada akhirnya mereka akan meninggalkannya juga. hanya itulah yang dapat dilakukan oleh sanak keluarga secara langsung. maka dari itu usahakanlah berbuat dharma sebagai sahabatmu untuk mengantarkan engkau mencapai alam kehidupan dengan kebebasan abadi.


dalam Slokantara sloka 14 disebutkan bahwa:

balo yuwa ca wrddhasca yatkaroti subhasubham,
tasyam tasyamawasthayam bhukte janmani - janmani.

Dagang Banten Bali


Artinya:
sebagai seorang anak kecil, sebagai pemuda dan sebagai orang tua, setiap manusia itu akan memetik hasil segala perbuatannya yang baik atau yang buruk di kelahiran yang akan datang pada tingkat umur yang sama.


dalam Kekawin Arjuna Wiwaha XII.5 disebutkan bahwa:


hana mara janma tanpapihutang brata yoga tapa.
angentul aminta wiryya, sukhanning widhi sahasika,
binali kaken puri hnika lewih, tinemunya lara,
sinakitaning rajah tamah inandehaning prihantin.


Artinya:
ada juga orang yang tidak berbuat kebajikan sama sekali, tidak mempihutangkan brata yoga tapa. pongah saja ia memaksa - maksa meminta kebahagiaan dan kekuasaan, seolah - olah hendak memaksa dengan kekerasan agar permohonannya itu dipenuhi. akhirnya malah nasibnya dibalikkan dan yang diperolehnya adalah kesengsaraan dan derita belaka. kesedihan akan dideritanya akibat kekuatan rajah dan tamah (nafsu dan kebodohan) yang menyakiti badan dan jiwanya.


Demikian sekilas Karma Phala yang merupakan Hukum Universal, semoga bermanfaat.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 28 Maret 2021

Mengenal Musik Tradisional Bordah di Desa Pegayaman, Buleleng

 






BORDAH: Warga Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, saat melakukan pertunjukkan musik tradisional Bordah. (ISTIMEWA)

Sekelompok laki-laki berpakaian adat Bali duduk bersila membentuk posisi setengah lingkaran memainkan musik rebana sambil mengumandangkan syair-syair madah atau pujian kepada Nabi Muhammad. Alunan rebana terdengar bertalu-talu, berselang-seling dengan lantunan syair dari para penabuh, bersahut-shutan, timpal-menimpal dengan irama bervariasi, membuat sajian kesenian tradisonal religius tersebut terkesan sakral, indah, syahdu menyentuh kalbu.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI


ITULAH kesenian Bordah di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Kesenian Bordah merupakan salah satu contoh dari kebudayaan religius yang tumbuh dan hidup di Pegayaman. Sebuah kekayaan kebudayaan yang patut dilestarikan dan dijadikan renungan pelajaran karena membuktikan adanya suatu penyatuan kesenian muslim dan Bali.

Kepala Desa Pegayaman Asghar Ali mengungkapkan, makna atau arti kata Bordah disebutkan sebagai sinar yang memberikan kegembiraan. Sehingga dari kata Bordah itu disimpulkan kesenian Bordah di Desa Pegayaman merupakan pelampiasan kegembiraan warga Desa Pegayaman. “Bordah itu bagi kami itu adalah sinar, bersinar. Pada dasarnya bergembira ria atau kami bersenang-senang begitu istilahnya,” jelasnya.

Kesenian Bordah di Desa Pegayaman biasanya akan dipertunjukkan pada bulan Maulid. Sebab bulan Maulid oleh masyarakat muslim di pedalaman Bali Utara ini dipandang sebagai bulan istimewa. Maulid Nabi hampir tak pernah terlewatkan diperingati masyarakat Pegayaman baik lewat ritual syariat maupun pergelaran kesenian kerohanian.

Namun bila dikaitkan dengan sejarah keberadaan Desa Pegayaman, kesenian Bordah tersebut merupakan kesenian untuk mengiringi orang memasak dikala tengah menyiapkan acara istimewa keluarga. Seperti diungkapkan Asgor Ali. “Ditampilkan biasanya setiap ada acara seperti sunatan, atau hidangan dan misalnya mante. Tapi biasanya kalau pada acara seperti itu, group Bordah itu mengiringi orang memasak, dan dia bergadang sampai subuh. Karena di Pegayaman masih lekat sekali sistem kekeluargaan,” paparnya.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Masak itu sampai sekarang belum menggunakan jasa catering atau apalah itu. Kami betul-betul memasak satu hari menjelang hari H, kami sudah memotong bila mau besar-besaran. Malam harinya yang bersangkutan atau yang punya hajat kan jelas masak dirumah, maka mudah aja kami dapat, disamping itu mungkin acara-acara yang lain,” tambahnya.

Asghar Ali menambahkan, Bordah merupakan kesenian tradisional Islam yang memadukan unsur seni tabuh rebana dengan syair-syair pujian pada Nabi Muhammad yang menyerupai kekidungan seperti masyarakat Bali. Demikian pula dengan pakaian yang dikenakan para penabuh dan pelantun Bordah Pegayaman berpakaian adat Bali. “Itu ciri khas, katakanlah akulturasi budaya Islam dan Bali. Bordah kalau tampil dia pakai udeng dan melancingan, itu yang pertama. Yang kedua lagu-lagunya atau syar-syairnya yang diambilkan dari kitab Albarj Anji, dalam melantunkan suaranya itu seperti orang ngidung. Itu salah satu contoh kebersamaan antara Islam dan Hindu,” sambungnya.

Dalam pementasan kesenian Bordah di Desa Pegayaman, tidak jarang dalam lantunan syair berlogat Bali serta irama lagu bernuansa Bali, diiringi tarian pencak silat kuno yang bergaya Bali. Sehingga mampu memberikan suguhan sebuah kesenian tradisional religius yang unik, menarik, sakral dan magis. “Sudah dari mungkin nenek kami, jadi pencak ini ada mulai dari Pegayaman ada. Sebab informasi yang saya dapat dari leluhur, orang yang datang ke Pegayaman semuanya itu ahli silat, ahli bela diri, ahli petani, ahli kedokteran, ahli perdagangan,” terangnya.

“Jadi ada kendali orang Blambangan yang sudah mempunyai keahlian tersendiri. Sehingga terbentuk kesenian-kesenian ini yang digabungkan dengan suatu kebudaayan itu, mungkin juga Hadrah, Bordah, Pencak Silat dan yang lainnya,” lanjutnya.

Lebih lanjut Asghar Ali menerangkan, keberadaan kesenian Bordah di Desa Pegayaman hingga saat ini masih tetap dipertahankan, dan selalu mejadi sebuah tradisi bila warga di Desa Pegayaman memiliki hajatan besar. “Kesenian ini tetap bertahan. Bahkan ini merupakan suatu kebanggaan bagi kami. Saya berusaha untuk mempertahankan. Kesenian ini bagus, bahkan banyak peminat. Ambil contoh misalnya jika dia masuk sebagai anggota, dia dengan sukarela dan tanpa tekanan masalah kostum beli sendiri. Nah itu satu contoh tidak lagi dia merasa keberatan, bila ada hari raya tertentu disepakati memakai kostum yang mereka beli sendiri bukan mengharapakan dari orang lain,” paparnya.

Karena itu, menurut Asghar Ali, Bordah Desa Pegayaman dan keberadaan kaum muslim memang menjadi fenomena menarik. Desa tua di pedalaman Bali Utara itu penduduknya beragama Islam, menjalankan syariat sebagai umat Islam pada umumnya, hanya muslim Pegayaman mempunnyai warna dan pola hidup yang sangat Bali.



(bx/dhi/yes/JPR)

Dagang Banten Bali

Sabtu, 27 Maret 2021

14 Ritual Hindu dari Masa Kehamilan Hingga Meninggal

 






Panglingsir Grya Ulon Jungutan, Ida Bagus Gunawan. (Dian Suryantini/Bali Express)

KARANGASEM, BALI EXPRESS – Dalam umat Hindu terdapat konsep upacara yang disebut dengan Panca Yadnya. Panca Yadnya diartikan sebagai lima persembahan suci kepada Tuhan. Adapun tingkatannya adalah Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Butha Yadnya, dan Pitra Yadnya.


Dewa Yadnya adalah persembahan yang ditujukan kepada Tuhan, Rsi Yadnya adalah persembahan yang ditujukan pada rsi (guru). Selanjutnya Manusa Yadnya adalah persembahan atau upacara penyucian secara spiritual kepada manusia. Sementara Bhuta Yadnya adalah persembahan yang ditujukan untuk para Bhutakala untuk menjaga keseimbangan alam. Dan yang terakhir adalah Pitra Yadnya, yakni persembahan kepada para leluhur.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Pada bagian Manusa Yadnya, terdapat 14 ritual yang harus ditempuh dalam kehidupan manusia. Yang pertama adalah upacara Ngrujak. Ngrujak merupakan upacara yang pertama dilaksanakan bagi seorang wanita yang sedang hamil muda. Upacara ini bertujuan untuk memperkuat kehamilan ibu dan mengurangi risiko keguguran. Juga bertjuan untuk pertumbuhan bayi yang sehat dan aman.


Bahan utama untuk Ngrujak adalah berbagai jenis pisang dan buah-buahan, seperti Delima, Pepaya, Mangga, Belimbing, Badung, Kecubung, juga Gula Aren (Juruh) dan Madu. Permata Rubby kecil (jika mungkin Delima Rubby) kemudian dimasukkan ke dalam campuran buah, diletakkan dalam batil atau gedah yang terbuat dari gelas, kemudian diberkati dengan mantra oleh pendeta.

“Poinnya dalam upacara ini adalah bagaimana bayi yang ada dalam kandungan itu sehat dan ibunya juga sehat. Caranya adalah dengan makan buah. Karena ibu yang hamil dan anak yang dikandung butuh asupan gizi, juga vitamin. Kalau secara ilmiahnya seperti itu. Akan tetapi dalam Hindu ini ada ritualnya. Dan, Ngrujak inilah upacaranya, kalau istilah Bali ini disebut apang tis,” jelas Panglingsir Puri Ulon Jungutan, Ida Bagus Gunawan, pekan kemarin.

Yang kedua adalah upacara Magedong-gedongan. Upacara ini untuk seorang ibu dengan usia kehamilan 3-6 bulan. Upacara ini adalah upaya untuk memurnikan dan menjaga keselamatan janin dan ibu, berharap bayi yang akan lahir tumbuh menjadi orang yang baik atau suputra dan memainkan peran penting, baik untuk keluarga maupun masyarakat.

Rangkaian upacaranya meliputi suami ditemani istrinya menyiapkan benang hitam, menyiapkan galah buluh. Bambu ini digunakan untuk menumbak daun kumbang (sejenis talas) dibentuk seperti bungkusan dan didalamnya diisi dengan ikan air tawar.

Selanjutnya istri menjunjung ceraken, kemudian dipuja mantra oleh pendeta dan pada saatnya tiba, istri kemudian menelan sepasang permata mirah (Mirah Delima).

“Ini upacara untuk wanita hamil 7 bulan, agar bayi yang dilahirkan kelak tumbuh menjadi anak yang baik dan berbakti. Makanya ada disebut menelan sepasang permata. Tapi ini bisa disimbolkan dengan buah Delima merah,” jelasnya.

Upacara yang ketiga yakni Nanem ari-ari. Upacara ini bertujuan untuk memohon permakluman kepada Hyang Ibu Pertiwi dan Hyang Akasa untuk menerima dan berkenan memberikan perlindungan, umur panjang serta keselamatan bagi si bayi.

Ari-ari pertama harus dicuci sampai bersih, dibungkus dengan kain kasa, diisi rempah-rempah, lalu dimasukkan ke dalam kelapa untuk selanjutnya ditanam. Di atas ari-ari diletakkan batu dengan permukaan datar dan pandan berduri, disampingnya ditempatkan baleman (bara api).

Baleman adalah simbol dari pembakar jasad. Lamanya membuat baleman adalah satu bulan tujuh hari (42 hari). “Apabila tidak dilakukan dengan benar maka tujuan membakar jasad tersebut tidak akan berhasil. Untuk penanaman ari-ari anak perempuan ditanam di sebelah kiri pintu masuk dan anak laki-laki di tanam di sebelah kanan pintu masuk,” tambahnya.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Upacara selanjutnya adalah kepus wedel atau kepus pungsed. Upacara ini khusus ketika plasenta terlepas dari pusar bayi. Biasanya 5-15 hari setelah bayi lahir. Dalam kepercayaan orang Bali, kepus wedel menandai masuknya kekuatan spiritual Nyama Catur yang akan terus merawat bayi.

“Pratiti Mas sebagai penjaga bayi disiapkan. Pratiti ini seperti pasikepan dalam istilah Bali, terbuat dari daun kelapa, digulung sedemikian rupa lalu diikat dengan benang hitam, selanjutnya diikatkan pada pergelangan tangan kiri bayi,” sambungnya.

Ritual yang kelima adalah Mapag Rare. Ritual ini dilakukan ketika bayi berusia 12 hari. Tujuan dari upacara ini adalah untuk mengucapkan terima kasih kepada Sang Hyang Dumadi (yang lahir kembali), bahwa bayi itu lahir dengan selamat.

“Melalui upacara ini diharapkan yang dumadi memeroleh kehidupan yang sehat dan panjang usia. Sebelum ngayab saji Pamatang Rare, bayi itu diperciki dengan palukatan dan tirta,” imbuhnya.

Yang keenam adalah Ngeles Kakambuh. Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Kakambuh (penjaga) digantikan oleh penjaga (pangijeng) bayi yang berfungsi sebagai penjaga jiwa bayi, sehingga bayi akan panjang umur, bebas dari rasa sakit dan berbagai gangguan atau halangan.

Yang ketujuh upacara Nelu Bulanin atau tiga bulanan. Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia tiga bulan atau 105 hari. Upacara ini bermakna untuk melepaskan pengaruh negatif yang dibawa oleh Nyama Catur atau empat saudara dan pada saat yang sama menyambut kedatangan untur-unsur Panca Maha Butha untuk menyatukan dan memperkuat fisik dan psikologis bayi. Pada upacara ini dipercaya bayi akan diberkati oleh Dewa Raditya atai Siwaditya.

Selanjutnya adalah Nganem Bulanin atau yang terkenal disebut Otonan atau Ngotonin. Pada upacara ini bayi dimohonkan restu dari Ida Bhatara Pertiwi agar dilimpahkan keharmonisan, kesehatan dan tidak terpengaruh oleh bencana dan hambatan.

Pada usia enam bulan, bayi diizinkan untuk menginjak tanah untuk pertama kalinya. “Upacara ini boleh dilakukan seterusnya kala hari otonannya tiba. Di Desa Jungutan sendiri pada umumnya banyak orang yang melakukannya sampai usia dewasa. Tapi ada pula yang melaksanakannya sekali saat usia enam bulan,” tuturnya.

Ritual kesembilan yakni Makutang Rambut atau Mapetik. Upacara ini menunjukkan bahwa bayi telah menjadi manusia yang sempurna. Kekotoran (leteh) bayi yang disebabkan oleh proses kelahiran telah sirna. Setelah upacara ini biasanya rambut bayi dicukur habis. Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia enam bulan kalender Bali (210 hari) atau satu oton.

Usia aoton dipilih untuk upacara ini karena pada usia ini bayi dianggap telah memiliki sistem kekebalan tubuh yang cukup dan kesehatan bayi dalam tahap yang baik.

Upacara selanjutnya adalah upacara Semayut Maketus Lan Menek Kelih. Setelah anak kehilangan gigi pertamanya, sejak saat itu pikiran anak mulai dipengaruhi oleh Triguna. Seorang anak harus mulai belajar tentang kehidupan dan secara simbolis harus menindik telinganya. Upacara ini disebut Semayut Maketus.

Setelah anak meningkat remaja dan mulai menstruasi, ada upacara yang sebaiknya dilakukan untuk memurnikan faktor-faktor negatif yang melekat yang disebut dengan upacara Menek Kelih.

Ritual kesebelas adalah Matatah. Ritual ini hampir sama dengan upacara Menek Kelih. Upacara ini ditujukan kepada seorang anak yang telah berusia 16 tahun atau sudah bisa dianggap dewasa. Biasanya ritual ini dapat digabung dengan upacara Menek Kelih.

Kemudian setelah melaksanakan ritual Matatah, ada ritual Pawiwahan. Upacara ini juga terkadang dilakukan bersamaan dengan upacara Matatah. Upacara Pawiwahan ini tujuan utamanya adalah untuk menetralisasi kotoran (cuntaka) yang diakibatkan karena adanya pertemuan dua manusia (pria dan wanita).

Dagang Banten Bali


Ritual ketiga belas adalah Ngaben. Ritual ini masuk dalam Pitra Yadnya. Upacara ini ditujukan untuk keluarga yang telah meninggal. Upacara ini merupakan pengorbanan yang tulus iklas yang ditujukan kepada roh leluhur. Pada lontar Yama Tattwa, filosofi Ngaben adalah mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Maha Butha ke asalnya.

“Ini juga menunjukkan bahwa Hinduisme tujuan akhir kehidupan bukanlah surga. Melainkan atma itu menyatu dengan Brahman atau Tuhan. Seperti yang sering didengar, tujuan akhirnya adalah moksa. Tidak terlahir kembali, tapi menyatu dengan Tuhan,” ucapnya.

Upacara yang terakhir adalah Atma Wedana. Setelah upacara Atiwa-tiwa, upacara terakhir yang dilakukan adalah Atma Wedana. Upacara ini dilakukan untuk memuliakan dan memurnikan roh/atma untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta.

Runtutan ritual yang dilalui manusia semasa hidup hingga meninggal ini diambil dari rujukan lontar Rare Angon dan lontar Gama Dewa Pati Urip. Selain itu, juga dari berbagai sumber, seperti para peranda dan narasumber yang ahli di bidang sastra. “Itu yang pokok sekali kami pakai rujukannya. Selain para peranda di Desa Jungutan, juga dari para Tapini serta para ahli pembaca lontar,” ungkapnya.



(bx/dhi/rin/JPR)

Jumat, 26 Maret 2021

Yadnya Yang Efektif, Efisien, Praktis dan Satwika

 





Yajna yang Efektif, Efisien, Praktis dan Sattvika

“Kramanya sang kuningkin akarya sanista, madya, uttama. Manah lega dadi ayu, aywa ngalem druwenya. Mwang kemagutan kaliliraning wwang atuha, away mengambekang krodha mwang ujar gangsul, ujar menak juga kawedar denira. Mangkana kramaning sang ngarepang karya away simpanging budhi mwang krodha”
artinya:
Tata cara bagi mereka yang bersiap-siap akan melaksanakan upacara kanista, madya atau uttama. Pikiran yang tenang dan ikhlaslah yang menjadikannya baik. Janganlah tidak ikhlas atau terlalu menyayangi harta benda yang diperlukan untuk yajna. Janganlah menentang petunjuk orang tua (orang yang dituakan), janganlah berprilaku marah dan mengeluarkan kata-kata yang sumbang dan kasar. Kata-kata yang baik dan enak didengar itu juga hendaknya diucapkan. Demikianlah tata-caranya orang yang akan melaksanakan yajna. Jangan menyimpang dari budhi baik dan jangan menampilkan kemarahan. (Sumber: Lontar Dewa Tattwa)

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Yajna dalam bahasa Sanskerta adalah suatu bentuk persembahan yang didasarkan atas keikhlasan dan kesucian hati. Persembahan tersebut dapat berupa material dan non-material. Ketika manusia mempersembahkan sesuatu tentunya membutuhkan pengorbanan, seperti waktu, finansial, pemikiran,dan benda atau harta yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa Yajna sering dikatakan sebgai pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas. Persembahan yang berwujud dapat berupa benda-benda material dan kegiatan, sedangkan persembahan yang tidak berwujud dapat berupa doa, tapa, dhyana, atau pengekangan indria dan pengendalian diri agar tetap berada pada jalur Dharma. Persembahan dikatakan suci karena mengandung pengertian dan keterkaitan dengan Brahman. Dalam Rgveda disebutkan bahwa “Sang Maha Purusa (Brahman) menciptakan semesta ini dengan mengorbankan diriNya sendiri. Inilah yang merupakan permulaan tumbuhnya pengertian bahwa Yajna yang dilakukan oleh manusia adalah dengan mengorbankan dirinya sendiri”. Sehingga setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan semestinya ditujukan semata-mata hanya untuk Brahman, karena sesungguhnya apa yang ada ini adalah milikNya.

Dalam Bhagavadgita XVII.11-13, disebutkan bahwa untuk dapat mewujudkan sebuah Yajna yang memiliki kwalitas yang sattvika, maka perlu diperhatikan beberapa hal yaitu:

Sraddha: yajna harus dilakukan dengan penuh keyakinan
Aphala: Tanpa ada motif untuk mengharapkan hasil dari pelaksanaan yajna yang dilakukan karena tugas manusia hanya mempersembahkan dan dalam setiap yajna yang dilakukan sesungguhnya sudah terkandung hasilnya.
Gita: ada lagu-lagu kerohanian yang dilantunkan dalam kegiatan yajna tersebut.
Mantra: pengucapan doa-doa pujian kepada Brahman.
Daksina: penghormatan kepada pemimpin upacara berupa Rsi yajna
Lascarya: yajna yang dilakukan harus bersifat tulus ikhlas
Nasmita: tidak ada unsure pamer atau jor-joran dalam yajna tersebut.
Annaseva : ada jamuan makan – minum kepada tamu yang datang pada saat yajna dilangsungkan, berupa Prasadam/lungsuran, karena tamu adalah perwujudan Brahman itu sendiri ) “Matr deva bhava Pitr deva bhava, athiti deva bhava daridra deva bhava artinya; Ibu adalah perwujudan Tuhan, Ayah adalah perwujudan Tuhan, Tamu adalah perwujudan tuhan dan orang miskin adalah perwujudan Tuhan.
Sastra: setiap yajna yang dilakukan harus berdasarkan kepada sastra atau sumber sumber yang jelas, baik yang terdapat dalam Sruti maupun Smrti.


Di samping sumber di atas, dalam Manavadharmasastra VII.10 juga disebutkan bahwa setiap aktivitas spiritual termasuk yajna hendaknya dilakukan dengan mengikuti;
Iksa: yajna yang dilakukan dipahami maksud dan tujuannya
Sakti: disesuaikan dengan tingkat kemampuan baik dana maupun tingkat pemahaman kita terhadap yajna yang dilakukan sehingga tidak ada kesan pemborosan dalam yajna tersebut.
Desa: memperhatikan situasi dimana yajna tersebut dilakukan termasuk sumber daya alam atau potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut.
Kala: kondisi suatu tempat juga harus dipertimbangkan baik kondisi alam, maupun umat bersangkutan.
Tattva: dasar sastra yang dipakai sebagai acuan untuk melaksanakan yajna tersebut, dalam Manavadharmasastra II.6 ada lima sumber hukum hindu yng dapat dijadikan dasar pelaksanaan yajna, yaitu: Sruti, Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastusti.Jadi beryajna tidak mesti besar dan megah, apalah artinya kemegahan dengan menghabiskan banyak dhana tapi tidak dilandasi oleh prinsip yajna yang telah tetuang pada susastra Veda. Kecil, sederhana dan segar, bila dilandasi oleh kemurnian; yajna seperti inilah yang harus dilakukan dan disosialisasikan terus. Beryajna tidak mesti membuat upakara / sesajen, sesuai dengan pesan Shri Krshna dalam Bhagavadgita IV.28 ditegaskan bahwa beryajna dapat dilakukan dengan: Beryajna harta milik/kekayaan (drveya), dengan mengendalikan seluruh indria (tapa), dengan pengetahuan (brahma/jnana), dengan doa-doa dan bimbingan kerohanian (yoga), dan dengan menggunakan tubuh ini sebagai arena pemujaan dan pelayanan (svadhyaya) serta memeberikan perlindungan kepada mahluk yang lebih lemah (abhaya).

Jika prinsip-prinsip yajna ini dapat dilakukan tentunya yajna tersebut akan mendatangkan manfaat yang besar bagi manusia dan mahluk yang lainnya, baik kaitannya dengan kehidupan jasmani maupun peningkatan kwalitas rohani umat yang Dharmika.
Avighnamastu !!

Oleh: I Wayan Sudarma (Shri Danu Dharma P), stahdnj.ac.id

Dagang Banten Bali

Kamis, 25 Maret 2021

Dewi Gayatri - Ibu Segala Mantra

 




Semua literatur kitab Weda menyatakan bahwa Gayatri merupakan Dewi segala mantra. Namun keberadaan sang Dewi belumlah tenar di lingkungan masyarakat Hindu Bali, sebab untuk membentuk personalitas serta siapa dan bagaimana Beliau, serta dalam hal apa saja Beliau dipuja, masyarakat Hindu Bali belum banyak yang paham. Untuk itulah melalui artikel ini mencoba membedah Dewi Ilmu ini dengan sedikit ulasan yang terkesan back to India.

Ada banyak Dewi dalam ikonografi Hindu yang mewakili Ilmu Pengetahuan dan mantra suci. Kesemuanya memegang banyak atribut yang melambangkan hal tersebut. Namun dari sekian banyak Dewi, Gayatri adalah yang utama. Bergesernya Beliau sebagai Dewinya Ilmu Pengetahuan secara murni oleh Bhatari Hyang Aji Saraswati, mungkin disebabkan karena Gayatri lebih menekankan pada aspek Ilmu Pengetahuan secara apuruseya, mantra Weda yang transcendental. Sedangkan untuk Dewi Saraswati, Beliau meramu seluruh Ilmu yang ada, baik para widya dan apara widya.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Dewi Gayatri banyak dipuja di bharatawarsa dan lengkap dengan segala bentuk sadhana yang khusus ditujukan untuk menghormati Beliau. Dalam wujud Dewi Gayatri sering terlihat berkepala lima dan dengan mengenakan mahkota yang berkilauan. Namun mahkota yang tengah-tengah berhiaskan bulan sabit sangat mirip dengan bulan sabit yang dikenakan oleh Bhtara Siwa.

Beliau terlihat dengan sepuluh tangan yang masing-masing memegang; sankha kala, kapak cemeti, genitri, cakra, bunga padma, sakhu kamandalu, gada, sedangkan dua tangan yang berada di depan terlihat dengan posisi abhaya mudra, memberkati setiap pemuja-NYA dengan lembut dan penuh kasih. Beliau duduk di atas bunga padma berwarna merah, dan kepala Beliau yang paling depan ditengah-tengah tepatnya di selaning lelata (antara alis) Beliau terdapat mata ketiga layaknya mata Bhatara Siwa. Dewi Gayatri juga sering terlihat dengan sekelompok angsa yang mengitari.

Inilah mhamantra Gayatri yang pertama kali diturunkan…
Om bhur, Om bhvah, Om svah,
Om maha, Om janah, Om tapah, Om satyam,
Om tatsavitur varenyam,
Bhargo devasya dhimahi,
Dhiyo yo nah pracodayat,
Om apo jyotih,
Raso mritam brahma,
Bhur bhuah svah Om.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mantra ini awalnya terdapat di dalam kitab Reg Veda Samhita III. 62. 10. setelah itu pada kitab Yayur Veda Samhita dan Sama Veda Samhita. Dewi Gayatri sering disamakan dengan Dewi Savita yang secara harafiah memiliki arti matahari. Ini sebuah hal yang menunjukan bahwa Tuhan adalah bersinar dan Dewi Gayatri adalah Dewinya mantra yang memberikan kecemerlanghan pikiran.

Namun secara umum, mantra Gayatri yang diterima dewasa ini adalah hanya diucapkan sampai kata bhur, bvah, svah, kata maha, janah, tapah, satyam tidak dikumandangkan sama sekali. Secara terperinci ada banyak mantra Gayatri untuk setiap Dewata yang berbeda. Dengan demikian, ini menunjukan bahwa Dewi Gayatri adalah Dewi yang merangkum semua mantra pujian untuk setiap Dewata. Maka ini juga yang menjadikan bahwa Dewi Gayatri desebut dengan Dewinya mantra Weda.

Dalam beberapa pujian untuk Beliau disebutkan;
Ya sandhyamandalagata ya tri murti-svarupini
Sarasvati ya savitri tam vande veda mataram.
Artinya;
“oh Dewi yang berada pada lingkaran sinar matahari, yang adalah berbentuk Tri Murti, yang adalah Saraswati ataupun Sawitri, hamba menghaturkan sembah kepada Gayatri, Ibu segala macam Weda”.

Dagang Banten Bali


Jika Dewi Gayatri dikatakan sebagai Ibunya Weda, maka secara otomatis Dewi Gayatri merupakan sang Dewi jagat raya, sebab Weda sendiri adalah tidak berbeda dengan dunia nyata dan yang tidak nyata. Ini dibenarkan sebab dalam sebuah peristiwa, pernah suatu kali; Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa mengambil rupa sebagai bayi mungil untuk mendapatkan kasih dari Dewi Gayatri.

Bayi-bayi tri murti ini menangis keras dan membuat sang Dewi kembali. Anak Ilahi ini ditidurkan dalam sebuah ayunan yang talinya tergantung di angkasa luar. Jadi tidak salah jika terdapat salah satu mantra yang digunakan untuk mengagungkan Dewi Gayatri seperti berikut;
Ya visva janani devi ya tri murti svarupini
Gayatri-rupini ya hi tan vande sapta matrkam
“oh sang Dewiyang merupkan Ibunya jagat raya, yang adalah berbentuk Tri Murti yang merupakan Gayatrio, hamba menghaturkan sembah sujud yang berbentuk tujuh Ibu”.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Rabu, 24 Maret 2021

Cara Memilih Hari Baik Menurut Tradisi di Bali

 




Cara memilih hari baik menurut tradisi di bali didasarkan pada perhitungan wariga dan dewasa. adapun perhitungannya lumayan rumit, sehingga jarang masyarakat bali yang hafal cara menggunakan wariga dan dewasa tersebut. tapi untunglah, dengan kelihaian seseorang dalam perhitungan wariga dan dewasa beliau menyusun wariga yang dimodifikasi kalender internasional yang kemudian dikenal dengan kalender bali yang sering dipakai masyarakat bali saat ini. orang tersebut adalah (alm.) Bambang Gde Rawi, kelahiran desa cemengon, yang penyusunan kalender tersebut diwariskan kepada keluarga beliau.
dalam setiap bulannya, kalender bali umumnya terdiriatas beberapa bagian penting, diantaranya;

Bagian kepala; yang berisi Nama Bulan dan Tahun (seperti normalnya kalender internasional)
Badannya; berisikan tanggalan (seperti kalender internasional) dan beberapa tanda, diantaranya; Titik merah artinya Bulan Purnama, Titik Hitam artinya Bulan Tilem/Mati; lingkaran merah artinya hari raya besar agama hindu dan tanggal merah untuk hari libur nasional.
Bagian lengan kanan; berisikan daftar istilah wariga berdasarkan tanggal, yang berisikan juga keterangan hari-hari baik melakukan kegiatan/usaha/yadnya.
Bagian lengan kiri; berisikan nama-nama hari
Bagian kaki; berisikan daftar hari raya agama, daftar Odalan/upacara pura-pura besar di bali serta beberapa hari baik lainya.Dengan adanya kalender bali tersebut, orang bali tidak akan susah untuk menentukan hari baik berdasarkan wariga dan dewasa ayu. tetapi apabila ingin mempelajari secara manual, tentu ada rumus baku untuk wariga tersebut. dibawah ini akan diberikan sekilas perhitungannya, dan bila ingin mendalaminya tentu memerlukan materi yang lebih mendalam. dibawah ini hanya kulit luarnya saja, tapi sudah bisa digunakan untuk kegiatan sehari – hari. adapun cara mempelajarinya adalah sebagai berikut;

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

PEDEWASAN,
mula – mulanya dapat dibagi dua bagian antara lain;
Pedewasan Sehari – hari yang hanya berdasarkan perhitungan;

Pawukon (Ingkel, Rangda Tiga, Tanpa Guru, Was Penganten dll)
Tri wara (Pasah untuk memisahkan, Beteng untuk mempertemukan, Kajeng untuk wasiat)
Sapta wara (Soma/senin, Budha/rabu dan Sukra/jumat, yang lainya termasuk kurang baik)
Sanga wara ( yang terbaik adalah Tulus dan Dadi)
Dauh Inti, berlaku pada waktu/jam tertentu saja, dari jam sekian sampai dengan sekian saja.Pedewasan Inti berdasarkan Perhitungan yang terperinci, antara lain; Ayu nulus, Dauh ayu, Ayu badra, Mertha yoga, Mertha masa, Mertha dewa, Mertha danta, Sedana yoga, Subacara, Dewa ngelayang, dengan tidak melupakan hal – hal yang tersebut diatas serta dihubungkan dengan baiknya SASIH dan Penanggal.

Selanjutnya mari kita ikuti perumusan – perumusan berikutnya;

Urip Panca wara; Umanis (5), Pahing (9), Pon (7), Wage (4), Kliwon (8).
Urip Sapta wara; Redite/Minggu (5), Soma/Senin (4), Anggara/Selasa (3), Budha/Rabu (7), Wraspati/Kamis (8), Sukra/Jumat (6), Saniscara/Sabtu (9).
Bilangan Sapta wara; Redite (0), Soma (1), Anggara (2), Budha (3), Wraspati (4), Sukra (5), Saniscara (6).
Bilangan Wuku; Sita (1), landep (2), ukir (3), kilantir (4), taulu (5), gumbreg (6), wariga (7), warigadean (8), julungwangi (9), sungsang (10), dunggulan (11), kuningan (12), langkir (13), medangsia (14), pujut (15), Pahang (16), krulut (17), merakih (18), tambir (19), medangkungan (20), matal (21), uye (22), menial (23), prangbakat (24), bala (25), ugu (26), wayang (27), klawu (28), dukut (29) dan watugunung (30).RUMUS PERHITUNGAN WARIGA

Ingkel (pantangan) mulai dari Redite/Minggu dan berakhir pada Saniscara/Sabtu (7 hari).
bilangan wuku dibagi 6, sisa;

= Wong / yang berhubungan dengan Manusia.
= Sato / yang berhubungan dengan Hewan.
= Mina / yang berhubungan dengan Ikan.
= Manuk / yang berhubungan dengan Burung/Unggas.
= Taru / yang berhubungan dengan Tumbuhan Berkayu.
= Buku / yang berhubungan dengan Tumbuhan Berbuku.

Eka Wara ; Urip Pancawara + Urip Saptawara = Ganjil = Luang (tunggal/padat)

Dwi Wara ; Urip Pancawara + Urip Saptawara =

Genap = menga (terbuka).
Ganjil = pepet (tertutup)

Tri Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 3 = sisa

= Pasah (ditujukan kepada Dewa)
= Beteng (ditujukan kepada Dewa)
= Kajeng (ditujukan kepada Bhuta)

Catur Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 4 = sisa

= Sri (makmur)
= Laba (pemberian/imbalan)
= Jaya (unggul)
= Menala (sekitar daerah)

dari Redite Sinta sampai dengan Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan + 1, sebelum dibagi. ini disebabkan adanya Jaya Tiga pada Wuku Dunggulan berturut – turut dari redite, selanjutnya rumus berlaku seperti biasa.

Panca Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 5 = sisa

= Umanis (penggerak)
= Paing (pencipta)
= Pon (penguasa)
= Wage (pemelihara)
= Kliwon (pemusnah/pelebur)

Sad Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 6 = sisa

= Tungleh (tak kekal)
= Ariang (kurus)
= Urukung (punah)
= Paniron (gemuk)
= Was (kuat)
= Maulu (membiak)

jejepan ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 6 = sisa

= Mina (ikan)
= Taru (kayu)
= Sato (hewan)
= Patra (tumbuhan merambat/menjalar)
= Wong (manusia)
= Paksi (burung/unggas)

Astha Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 8 = sisa

BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali = Sri (makmur)
= Indra (indah)
= Guru (tuntunan)
= Yama (adil)
= Ludra (peleburan)
= Brahma (pencipta)
= Kala (nilai)
= Uma (pemelihara)

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

dari Redite Sinta sampai Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan +1, sebelum dibagi. selanjutnya rumus berlaku sebagai biasa.

Sanga Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 9 = sisa

= Dangu (antara terang dan gelap)
= Jangur (antara jadi dan batal)
= Gigis (sederhana)
= Nohan (gembira)
= Ogan (bingung)
= Erangan (dendam)
= Urungan (batal)
= Tulus (langsung)
= Dadi (jadi)

dari Redite Sinta sampai Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan +1, sebelum dibagi. selanjutnya rumus berlaku sebagai biasa.

Dasa Wara ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari + 1) : 10 = sisa

= Pandita (bijaksana)
= Pati (dinamis)
= Suka (periang)
= Duka (jiwa seni / mudah tersinggung)
= Sri (kewanitaan)
= Manuh (taat / menurut)
= Manusa (sosial)
= Eraja (kepemimpinan)
= Dewa (berbudi luhur)
= Raksasa (keras)

Dasawara berarti watak agung (karakter)

Watek Madia ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari) : 5 = sisa

= Gajah (besar) - hewan
= Watu (kebal) - keras
= Bhuta (tak nampak) - jerat
= Suku (berkaki) - meja
= Wong (orang) – pembantu

Watek Alit ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari) : 4 = sisa

= Uler (beranak banyak)
= Gajah (besar)
= Lembu (kuat)
= Lintah (kurus)

Dagang Banten Bali


Tanpa Guru ; dalam satu WUKU tidak terdapat GURU (Astha Wara), yang artinya tidak baik untuk memulai suatu usaha terutama mulai belajar.

Was Penganten ; dalam satu WUKU terdapat dua WAS (Sad Wara), baik untuk membuat benda tajam, tembok, pagar dan membuat pertemuan.

Semut Sadulur ; Urip Pancawara + Urip Sapthawara = 13 dan berturut – turut tiga kali, pantangan untuk atiwa – tiwa (menguburkan mayat). tetapai sangat baik untuk membentuk organisasi.

Kala Gotongan ; Urip Pancawara + Urip Sapthawara = 14 dan berturut – turut tiga kali, pantangan untuk atiwa – tiwa (menguburkan mayat). tetapai sangat baik untuk memulai suatu usaha.

Mitra satruning Dina (segala usaha/acara penting)
(Urip Saptawara + Pancawara Kelahiran) + (Urip Saptawara + Pancawara memulai Usaha/acara) = sisa
= Guru (tertuntun)
= Ratu (dikuasai)
= Lara (terhalang)
= Pati (batal)

Sumber : cakepane.blogspot.com

Selasa, 23 Maret 2021

Malam Kajeng Kliwon, Diyakini sebagai Hari Sangkep Leak, Kenapa?

 






Ilustrasi Leak (ISTIMEWA)


BALI EXPRESS, DENPASAR - Kajeng Kliwon adalah hari yang dikenal angker bagi sebagain besar umat Hindu di Bali. Pada hari itu juga diyakini sebagai hari pertemuan dan perkumpulan Leak untuk mengasah keilmuannya. Benarkah?


Kajeng Kliwon merupakan hari yang perhitungannya jatuh pada Tri Wara, yaitu Kajeng dan Panca Wara, Kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya. "Energi dalam alam semesta yang ada di Bhuwana Agung semuanya terealisasi dalam Bhuwana Alit atau tubuh manusia itu sendiri," ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (30/1).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Lebih lanjut dijelaskan Mangku Satra, rahinan Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali, dan dapat dibagi menjadi tiga, yakni, Kajeng Kliwon Uwudan, Kajeng Kliwon Enyitan, dan Kajeng Kliwon Pamelastali.

Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang jatuh setelah terjadinya purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setelah bulan mati atai Tilem. Sementara Kajeng Kliwon Pamelastali adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setiap hari Minggu pada Wuku Watugunung, dilaksanakan setiap enam bulan sekali.


Pada setiap hari kliwon, umat hindu di Bali mengadakan upakara di rumah maupun di beberapa tempat sesuai adat masing-masing. Ada pun penjelasannya diambil dari Lontar Cundarigama yang menyebut 'Mwah ana manut Pancawara Kliwon ngaran, samadhin Bhatara Siwa, kawenangnia anadah wangi ring sanggah, mwang luhuring haturu, meneher aheningana cita, wehana sasuguh ring natar sanggar mwah dengen, dening. Maksudnya, segehan kepel kekalih dadi atanding, wehana pada tigang tanding. Ne ring natar sambat Sang Kala Bhucari, ne ring sanggar sambat Sang Bhuta Bhucari, ring dengen sambat Durga Bhucari. 'Ikang wehana laba nangken kliwon, saisinia, dan sama hanemu rahayu, paripurna rahasya'. Yang artinya, pada hari pancawara, yakni setiap datangnya Hari Kliwon adalah saatnya beryoga Bhatara Siwa, sepatutnya pada saat yaang demikian, melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di pamerajan, dan di atas tempat tidur. Sedangkan yang patut disuguhkan di halaman rumah, segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut disuguhkan tiga tanding, yakni di halaman sanggar kepada Bhuta Bhucari, di dengen kepada Durga Bhucari, untuk di halaman rumah kepada Kala Bhucari. Adapun maksud memberikan laba setiap Kliwon, yakni untuk menjaga pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi bahagia.

Dagang Banten Bali

'Kunang ring byantara kliwon, prakrtinia kayeng lagi, kayeng kliwon juga, kewala metambehing sege warna, limang tanding, ring samping lawang ne ring luhur canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, astawakna ring Hyang Durgadewi, ne ring sor, sambat Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, phalania rahayu paripurna wang maumah. Yen tan samangkana ring Bhatara Durgadewi angrubeda ring wang adruwe umah, angadeken gring mwang angundang desti, teluh, sasab mrana, amasang pamunah, pangalak ring sang maumah, mur sarwa Dewata kabeh, wehaken manusa katadah dening wadwanira Sang Hyang Kala, pareng wadwanira Bhatara Durga. Mangkana pinatuhu, haywa alpa ring ingsun. Maksudnya, lain lagi pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan widhiwidananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannya dengan segehan warna 5 tanding, yang disuguhkan pada samping kori sebelah atasnya, ialah canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa dan yang dipuja adalah Durgadewi. Yang disuguhkan di bawahnya, untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab, kalau tidak dilakukan sedemikian rupa, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatari Durga Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan atau menyebarkan penyakit, dan mngundang para pangiwa, segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela di rumah-rumah, yang mengakibatkan perginya para Dewata semua.



Dan, akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sanghyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatari Durga. "Demikianlah agar disadari, dan jangan menentang pada petunjuk kami," sarannya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama. Pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Pada Kajeng Kliwon hendaknya menghaturkan segehan mancawarna. Tetabuhannya adalah tuak atau arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. "Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi," imbuhnya.


Segehan dihaturkan di tiga tempat yang berbeda, yaitu halaman Sanggah atau Mrajan, atau di depan palinggih pengaruman, dan ini di tujukan pada Sang Bhuta Bhucari. Kemudian di halaman rumah atau pekarangan rumah tempat tinggal, ditujukan kepada Sang Kala Bhucari. Kemudian yang terakhir adalah dihaturkan di depan pintu gerbang pekarangan rumah atau di luar pintu rumah yang terluar. Ini ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari .


Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha umat kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari. "Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar)," tandasnya.

Pada dasarnya, lanjutnya, Kajeng Kliwon merupakan hari yang sangat keramat karena kekuatan negatif dari dalam diri maupun dari luar manusia, amat mudah muncul dan mengganggu kehidupan manusia.Jadi, dapat diambil kesimpulan adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.


Dikatakannya, sebagaimana dijelaskan pula bahwa saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep (rapat) Leak di Bali. Pada malam Kajeng Kliwon ini para penganut aji Pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga, dan Bhairawi. "Ritual Kajeng Kliwon ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan atau uluning setra, pemuwunan, " tutup Satra.



(bx/gus /rin/yes/JPR)


Senin, 22 Maret 2021

Kamus Hindu Bali

 







Kamus Hindu Bali agar tidak menggunakan dan pinjam istilah orang lain:




Syukur = Angayubagia

Amin = Swaha, sidhirastu

Ikhlas = Tulus, Lascarya

Halal = Suklaà

Haram = Cemer, Leteh, Letuh

Kiamat = Prelaya

Sabar = Ksanti


Berkat, Ridho = Pasuecan, Anugraha


- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Istilah yang Sering Keliru :

Insyaallah = Om Awighnamastu (Artinya semoga tidak ada halangan)

Alhamdulillah = Astungkara

KEBANYAKAN DARI KITA LATAH MENGUCAPKAN ASTUNGKARA SAJA SEHINGGA PENEMPATANNYA KURANG TEPAT (Mohon diperhatikan perbedaan diatas)*

Bajik = Sukerthi

Ethika = Sesana, Anggah Ungguh

Tidak etis = Dursesana

Dosa = Dosa, Mala, adharma

Hasil perbuatan dosa = mala petaka

Murtad = Tulah

Laknat = Durjana

Khianat = Linyok

Maksiat = Smara dudu

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Almarhum = Sang sampun lina, Sang petala, Suwargi

Khasanah = Wawengkon

Allah SWA = Ida Sang Hyang Widhi Waça

Ibadah = Bhakti, Muspa, Maturan

Amal Ibadah = Kerthi yasa

Jenazah = Layon

Wafat = Seda, Pelatra, Lampus, Kelayu Sekaran


Nikah = Nganten, Wiwaha, Alaki Rabi,

Iman = Sraddha

Taqwa (taat) = Satya, Bhakti,

Ridho = Pasuecan, Waranugraha

Halal bihalal = Sima Krama, Gendu Wirasa, temu wirasa

Sedekah = Punia

Amal jariah = Dana Punia, Dana Paramitha

Ahlak = Budi Pekerti

Dagang Banten Bali

Minggu, 21 Maret 2021

Pemujaan Dewi Gangga dan Rambut Sedana di Pura Beji Langon

 






BEJI: Pura beji Langon, Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, MENGW - Selain ditemukan patung gajah dengan ukuran yang cukup besar, di Pura beji Langon, Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung ini juga ditemukan patung perwujudan dua pendeta sebagai lambang Siwa dan Buddha.


Adanya keradaan patung perwujudan dua pendeta di atas patung Gajah berukir ini dikatakan Mangku Pura Beji Langon, I Gusti Ngurah Wirawan karena pada masa terdahulu, pura Beji ini merupakan tempat pemujaan Siwa Budhha. “Ini salah satu pura pesician yang cukup tua, dan pada masa itu, Pura ini merupakan tempat pemujaan Siwa Buddha,” jelasnya.

Adapun manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi yang dipuja di Pura Beji Langon ini adalah Dewi Gangga, sebagai Dewi penguasa air yang bertugas untuk menyucikan alam semesta ini. Sehingga pura Beji ini berfungsi sebagai tempat Pesucian bagi Ida Bhatara dan pengelukatan bagi manusia (pembersihan secara sekala dan niskala).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Selain dilihat dari fungsi pura, dipujanya Dewi Gangga di Pura Beji ini karena dipura ini ditemukan patung dewi yang berstana di tengah Kolam utama Pura Beji Langon. “Patung Dewi ini ada di beberapa tempat, yakni di Sambiyang utama yang ada di ditengah kolam dan pada tebing padas yang ada di sisi timur Kolam Urama,” lanjutnya.

Selain memuja Dewi Gangga sebagai dewi Air yang bertugas untuk menyucikan alam semesta ini beserta isinya, yang dipuja di Pura Beji Langon ini adalah Sang Hyang Rambut Sedana yang dalam mitologi ajaran agama Hindu dikenal sebagai Manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran yang disebut dengan Dewi Laksmi.

Adapun alasan kenapa Dewi Laksmi juga dipuja di Pura Beji Langon ini, seperti dituturkasn Mangku Wirawan, karena piodalan di Pura Beji Langon jatuh pada hari Buda Cemeng Kelawu yang secara khusus merupakan bentuk pemujaan terhadap Ida Bhatara Rambut Sedana sebagai simbol dewa uang kemakmura.



Selain karena piodalan yang bertepatan pada hari Buda Cemeng Kelawu, dipujanya Dewi Laksmi sebagai dewi Kemakmuran juga tidak terlepas dari ditemukannya Patung batu padas dengan perwujudan Dewi Laksmi di pada Sambiyang utama Pura Beji. “Sehingga Sang Hyang Rambut Sedana juga dipuja di Pura Beji ini,” jelasnya lebih lanjut.

Bagi yang ingin melakukan ritual pengelukatan di pura Beji Langon ini, Mangku Wirawan menyebutkan masyarakat bisa langsung datang ke Pura Beji Langon dengan membawa pejati. Untuk melakukan ritual melukat ini, sebelum dilukat dengan tirtha yang berasal dari kolam utama Pura Beji Langon, masyarakat yang ingin melukat terlebih dahulu melakukan pembersihan diri secara sekala dengan cara mandi di pancuran yang ada di sisi barat Pura.

Setelah mandi, barulah ritual melukat dilakukan dengan menghaturkan pejati di pelinggih utama Pura Beji Langon. “Sebelum melukat dilakukan persembahyangan dan setelah melukat juga dilakukan persembahyangan lagi,” tambahnya.

(bx/gek/art/bay/yes/JPR)

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sabtu, 20 Maret 2021

Berubah Jadi Daerah Kosong, Pura Pulaki Pernah Menghilang

 






PULAKI: Suasana di Pura Pulaki, Buleleng, yang menjadi bukti jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha. (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Kisah berdirinya Pura Pulaki di pesisir Pantai Desa Banyupoh, Gerokgak, Buleleng, tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong (1460-1550 M).



Pura Pulaki yang terletak di tepi jalan Singaraja-Gilimanuk (sekitar 53,5 km dari Kota Singaraja) ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dipuja (disungsung) seluruh umat Hindu di Bali. Sejak pemugaran besar-besaran yang dimulai tahun 1984, Pura Pulaki kini tampak megah dan luas, sehingga memungkinkan umat Hindu melakukan persembahyangan bersama dengan leluasa.



Pura Pulaki sebenarnya merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu Pura Kerta Kawat di KM-51 dari Singaraja (sekitar 750 meter sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Urut-urutan upacara yang diadakan saat piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki. Kemudian Pura Melanting dan Kerta Kawat. Lalu Pura Pemuteran, dan terakhir Pura Pabean.

Letaknya yang strategis di tepi jalan raya, sehingga tidaklah mengherankan sangat banyak mendapat kunjungan dari wisatawan asing ataupun domestik. Apalagi sudah tersedia tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.

Di kawasan Pura Pulaki, tepatnya di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa perkakas yang dibuat dari batu. Antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat dari batu lainnya.

Berdasarkan temuan itu, dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang berada di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku.

Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut sampai dengan peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi.

Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa, tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana, lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.

Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku 'Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya' yang disusun Ketut Ginarsa.


Kisah tentang Pulaki terdapat juga dalam buku 'Dwijendra Tatwa' yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian : "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan, agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki”.

Panglingsir Pura Pulaki, Ida Bagus Mangku Kade Temaja, menceritakan, keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa dipralina-nya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama.

Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya, dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.

“Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng, dan lain-lainnya,” terangnya.

Kendati begitu, lanjut Ida Bagus Mangku Kade Temaja, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya tetap setia ngaturang bhakti kepada bhatara di Pulaki dengan naik perahu dari Pantai Kalisada.

“Namun saat itu, pura sudah tak ada lagi. Sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki, yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini,” terangnya.

Ida Bagus Mangku Kade Temaja menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pangayatan (pemujaan dari jarak jauh), karena warga tak berani masuk ke dalam hutan.

Mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk ke pedalaman hutan.

Tahun 1920, Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What.

Kawasan ini kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950, yang selanjutnya dilakukan pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Dijelaskan Ida Bagus Mangku Kade Temaja, Pura Pulaki dan pasanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran, tidak bisa dipisahkan.


Dilihat dari lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali, lanjutnya, itu termasuk konsep Sapta Loka, yakni konsep tentang Sapta Patala atau tujuh lapisan alam semesta.

“Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk, sehingga tata letak, struktur, dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang menyatu,” lanjutnya.

Ditambahkan pula, dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan, antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. 

Dagang Banten Bali


Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama.

Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah delapan ribu orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya.

Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan palinggih yang disebut Pura Melanting.

“Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma, akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma, maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya,” tuturnya.

Di samping distanakan di Pura Melanting, ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki, dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirarta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi.


Pura Pulaki disungsung subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kerta Kawat juga termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan, untuk memohon tegaknya moral etika dan hukuman dalam berbisnis.

Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Selanjutnya Pura Gunung Gondol yang terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha, yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa.



(bx/dhi/rin/JPR)

Jumat, 19 Maret 2021

Pura Tegal Penangsaran Dijaga Dadong Jagal, Tempat Adili Roh

 






PALINGGIH: Deretan palinggih Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, diyakini sebagai tempat mengadili roh. (Dian Suryantini/Bali Express)

BULELENG, BALI EXPRESS-Pura Tegal Penangsaran tak hanya ada di Pura Dalem Puri Besakih, Karangasem. Namun, juga ada di Desa Tukadmungga, Buleleng. Seperti diceritakan, Pura Tegal Penangsaran diyakini menjadi tempat para roh dihakimi dan yang belum diupacarai Pitra Yadnya.


Di tempat inilah para roh ditentukan, apakah menuju tempat yang baik ataukah buruk. Dan, keputusannya disesuaikan dengan perbuatannya semasa hidup di dunia.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, yabg piodalannya jatuh saat Purwani Tilem Kapitu atau Siwaratri ini, juga diyakini sebagai tempat penghakiman bagi para roh.


Menurut cerita terdahulu dari tetua di desa tersebut, sebelum palinggih dibangun di pura ini, areal itu hanya terdapat satu Pohon Bunga Menori Putih yang tumbuh di sebuah tanah lapang di Desa Tukadmungga.

Tanah tersebut tidak berbentuk persegi seperti lahan kosong pada umumnya, namun berbentuk segitiga sempurna.

Kemudian, masih menurut cerita, konon karena warga sekitar tidak mengetahui tempat tersebut angker, ada salah satu warga yang mencabut Pohon Menori tersebut, dan ditanam di rumahnya.

Tidak berapa lama, warga tersebut pun dibayang-bayangi makhluk gaib. Dia juga selalu diteror dan diminta untuk mengembalikan benda yang diambil dari tanah lapang tersebut. Benda yang dimaksud adalah Pohon Menori itu.

Selain dibayang-bayangi makhluk gaib, kejadian aneh juga dirasakan warga itu. Seperti ketika usai memasak, nasi yang yang telah matang tiba-tiba habis bersama lauk-pauknya. Padahal, warga itu belum sempat menikmati masakannya.

Akhirnya warga tersebut mengembalikan dan menanam kembali Pohon Menori di tempat semula, sembari menghaturkan Guru Piduka. Saat itulah terkuak jika tanah lapang berbentuk segitiga itu merupakan tempat berkumpulnya para roh yang akan diadili Sang Jogormanik.

Kejadian lain juga terjadi saat akan dilakukan pembangunan untuk mendirikan pura tersebut. Pohon Kamboja besar yang ada di tanah lapang itu dicabut dan dijual ke salah satu pemilik vila. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah itu, si penjual tidak pernah merasakan tidur dengan tenang. Setiap malam terbangun dan mendengar suara agar mengembalikan Pohon Kamboja itu ke tempatnya.

Kejadian itu terjadi berulang kali, hingga akhirnya penjual pohon tersebut tidak tahan, dan mengembalikan Pohon Kamboja itu dan menanamnya kembali di tempat semula. Kini posisi Pohon Kamboja tersebut terletak di dalam area pura sebelah kanan pintu masuk.

Pangliman Desa Adat Tukadmungga, Gede Parca, menceritakan, seiring berjalannya waktu, warga setempat membangun sebuah palinggih sebagai tempat berstananya Sang Dewa Bagus sebagai ganti Pohon Menori itu. Serta medirikan palinggih sebagai tempat berstananya Ratu Niang.

“Sebelumnya banyak warga yang melihat hal-hal aneh di sekitar tempat itu saat belum dibangun pura seperti sekarang. Dari sana muncul inisiatif warga untuk membuatkan palinggih, " paparnya.

Awalnya, lanjut Gede Parca, cuma ada satu palinggih yang dibangun, yakni Palinggih Dewa Bagus. "Kemudian setelah beberapa lama atau sekitar tahun 1999-2000, baru dibangun lagi palinggih lainnya. Seperti palinggih Ratu Niang. Warga disini sering menyebutnya sebagai Dadong Jagal. Serta dibangun pula palinggih yang lain,” ungkapnya.

Dituturkan pula, Dadong Jagal yang berstana di Pura Tegal Penangsaran bersama Dewa Bagus adalah salah satu hakim untuk mengadili para roh yang belum diupacarai Pitra Yadnya.

Dadong Jagal atau Ratu Niang ini dibantu Sang Jogormanik untuk menentukan hukuman yang pantas bagi roh-roh tersebut.

“Beliaulah penentunya roh-roh itu mau masuk tempat yang baik atau tidak. Beliau yang menentukan jalan kita sesuai karma kita. Jika semasa hidupnya suka mencuri misalnya, maka hukumannya akan disesuaikan. Layaknya hidup di keduniawian, jika mencuri hukuman penjara 7 tahun misalnya, maka di alam baka beda lagi urusanya, mungkin lebih kejam lagi,” tutur Anak Agung Ngurah Dwipa dari PHDI Desa Adat Tukadmungga, akhir pekan kemarin.

Dagang Banten Bali


Agung Ngurah juga menyebutkan, dalam lontar Atmaprasangga dijelaskan, Tegal Penangsaran ini disediakan bagi atma yang penuh dosa, karena perbuatannya selalu membuat orang lain sengsara atau panas hati.

“Seperti yang saya jelaskan tadi, ini semua sudah diatur. Dalam lontar juga sudah disebutkan seperti itu. Jadi, perbuatan di masa hidup saat bahagia melihat orang susah dan kerap membuat orang susah, maka akan dibayar dan dirasakan sendiri saat penghakiman nanti,” tambahnya.

(bx/dhi/rin/JPR)

Kamis, 18 Maret 2021

Pura Prapat Agung Jejak Nirartha Terakhir Ditemukan

 






PERADABAN : Pura Prapat Agung diyakini menjadi tempat cikal bakalnya peradaban masyarakat Bali. (GDE RIANTORY/BALI EXPRESS)

JEMBRANA, BALI EXPRESS-Dalam Lontar Dwijendra Tattwa, yang merupakan babon kisah sejarah perjalanan suci Dang Hyang Nirartha, disebutkan ada 35 tempat yang berkaitan dengan perjalanan suci siar keagamaan Dang Hyang Nirartha. Kemudian di tempat tersebut didirikan pura untuk mengenang dan memuja jasanya. Salah satu tempatnya adalah Pura Prapat Agung yang berada di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Berdasarkan Lontar Dwijendra Tattwa, Pura Prapat Agung sejatinya adalah asal permandian Ida Bhatara Sakti Dwijendra. Di tempat inilah awal Dang Hyang Nirartha mempelajari dan menyelami peradaban masyarakat Bali. Hal ini ditandai dengan adanya tempat ‘payogan’ bersamadhi Dang Hyang Nirartha di sisi kiri utama mandala Pura Prapat Agung.


Selain mendalami tentang peradaban masyarakat Bali, dari payogannya, Dang Hyang Nirartha juga menciptakan sebuah telaga (kolam) yang diperuntukkan hewan-hewan yang kehausan. Telaga tersebut tidak pernah kering, meskipun terjadi kemarau panjang.


TELAGA : Telaga dengan air warna-warni, jadi penanda tempat tersebut bukti perjalanan Dang Hyang Nirartha. (GDE RIANTORY/BALI EXPRESS)



Kini di sisi utara telaga dibangun Pura Taman Beji, sebagai bagian dari Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, terutama saat pelaksanaan pujawali. Berdasarkan penelusuran Lontar Deijendra Tatwa, sekitar tahun 1990 Pura Dang Kahyangan Prapat Agung beserta telaga warna yang ditemukan di areal hutan TNBB.

“Ketika masih di dalam telaga, warna air biasa-biasa saja. Tetapi kalau diambil dan ditempatkan dalam wadah tersendiri, warnanya akan berbeda. Luas telaga sekitar 4 x 6 meter. Airnya memiliki lima warna berbeda, yakni merah, hitam, kuning, putih jernih, dan biru,” tutur Ketua Umum Yayasan Pengembang Dang Kahyangan Prapat Agung, Ida Bagus Susrama, akhir pecan kemarin.

Keberadaan telaga ini, lanjut Susrama, merupakan salah satu penanda (land mark) Pura Prapat Agung, seperti yang tertera dalam Lontar Dwijendra Tatwa. “Di lontar itu disebutkan ciri-ciri keberadaan pura, salah satunya adalah telaga tersebut,” terangnya.

Keberadaan Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, diyakini merupakan salah satu pura yang didirikan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, atau yang juga dikenal dengan sebutan Dang Hyang Nirartha. Dalam perjalanan spiritualnya dari Kerajaan Majapahit, beliau mendirikan tempat peribadatan yang cukup banyak di Kabupaten Jembrana, seperti Pura Dang Kahyangan Jati, Pura Dang Kahyangan Gede Perancak, Pura Dang Kahyangan Rambut Siwi, Pura Dang Kahyangan Mertasari, dan Pura Dang Kahyangan Prapat Agung.

“Pura Dang Kahyangan Prapat Agung ditemukan paling terakhir dibanding pura-pura peninggalan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Penelusuran dilakukan karena umat merasa masih ada satu pura yang belum ditemukan sesuai yang tercantum dalam Lontar Dwijendra Tatwa, yaitu Pura Prapat Agung ini,” imbuh Susrama. Keberadaan pura ini tidak diketahui karena posisinya di dalam hutan, berbeda dengan pura lainnya yang berada di kawasan permukiman penduduk.

Dengan mendapat konsesi lahan seluas 3 hektare dari Kementerian Kehutanan, pengembangan pura, termasuk infrastruktur yang dibangun harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan pola pelestarian lingkungan, pengembangan pura termasuk akses jalan tidak merusak lingkungan, sehingga umat Hindu tidak saja dapat bersembahyang di pura, juga mendapatkan pemandangan alam yang indah di kawasan hutan. Pengunjung juga dapat menuju tempat itu melalui jalur laut. Dari Pelabuhan Penyebarangan Gilimanuk-Ketapang hanya dibutuhkan waktu 15 menit.

Untuk menuju telaga, para pengunjung juga dapat melalui jalan utama ruas Gilimanuk-Singaraja. Setelah itu, memasuki kawasan hutan yang kondisi jalannya tidak beraspal, sehingga nuansa alaminya dapat dipertahankan.

Meskipun pengunjung harus melalui kawasan yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Buleleng, Susrama mengakui, pura dan telaga itu tetap berada di wilayah Kabupaten Jembrana. “Memang jalurnya melingkar. Tapi lingkaran itu kembali berujung-pangkal di wilayah Kabupaten Jembrana,” pungkasnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

(bx/tor/rin/JPR)