Rabu, 23 Juni 2021

Kedudukan Dharma dalam Catur Purusa Artha

Seperti yang kita ketahui bahwa Catur Purusa Artha adalah empat tujuan hidup yang akan dicapai umat Hindu. Tujuan hidup manusia telah dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan, kita tentu tidak asing dengan penggalan kalimat “Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma”, kalimat ini memiliki makna yang dalam bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan, sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau kelepasan.
Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena sering kali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntutan kama atas artha, sebagaimana diisyaratkan di dalam Weda (Sarasamuccaya, 12) sebagai berikut :
Kamarthau lipsmanastu
dharmam ewaditaccaret,
na hi dhammadapetyarthah
kamo vapi kadacana. | (Sarasamuccaya, 12)
Artinya : Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga (kebahagiaan), sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (Sarasamuccaya, 14), sebagai berikut :
Dharma ewa plawo nanyah
swargam samabhiwanchatam,
sa ca naurpwani jastatam jala
dhen paramicchatah. | (Sarasamuccaya, 14)
Artinya : Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga (kebahagiaan), sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar untuk mengarungi lautan.
Selanjutnya di dalam Çantiparwa disebutkan pula sebagai berikut :
Prabhawar thaya bhutanam
dharma prawacanam krtam
yah syat prabhawaçam yuktah
sa dharma iti niçaçayah. | Çantiparwa
Artinya : Segala sesuatu yang bertujuan memberi kesejahteraan dan memelihara semua mahluk, itulah disebut dharma (agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan dunia itulah dharma yang sebenarnya.
Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut : “Weda pramanakah creyah sadhanam dharmah”, artinya dharma (agama) tercantum di dalam ajaran suci Weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan menunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).
Lebih lanjut, di dalam Weda (Sarasamuccaya, 16) juga disebutkan sebagai berikut :
Yathadityah samudyan wai tamah
sarwam wyapohati,
ewam kalyanamatistam sarwa
papam wyapohati. | (Sarasamuccaya, 16)
Artinya : Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.
Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi.

Visit Our Sponsor

Mengenal Fungsi Taksu

Pada areal Sanggah Kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting lagi disebut “Taksu”. Kata taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut “mataksu”.
Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tattwa, daya atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit disebut “prana” adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana” barulah muncul ciptaan berikutnya (Panca mahabhuta). Dengan digerakkan oleh “prana” kemudian terciptalah alam semesta termasuk mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Menyimak dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kalau Purusa (Sanghyang Tri Purusa) dang Sanghyang Tri Atma kita puja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya dipuja melalui “Taksu”. Dalam upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai perwujudan Atma yang akan disucikan, juga kita mengenal adanya “Sangge”. Menurut penjelasan Ida Pedanda Putra Manuaba (almarhum). Sangge itu adalah simbul dari “Dewi Mayasih”. Siapakah Dewi Mayasih itu? Bukankah ia mewakili unsur “Maya Tattwa” (pradana atau sakti) itu? Yang juga bersama-sama Atma, dalam upacara Nyekah ikut disucikan. Dalam ajaran “kandapat” kita mengenal adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat itu dikenal dengan sebutan: Ratu Wayan Yangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jalawung, Ratu Nyoman Sakti Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan itulah dianggap dewaning taksu .
Kemungkinan dalam upacara Ngunggahang Dewapitara, unsur maya (sakti)nya yang telah ikut disucikan juga disthnakan pada palinggih taksu. Disinilah unsur sakti dari atma individu “menyatu dengan unsur sakti” dari Hyang Tripurusa, dan Atma itu sendiri menyatu dengan Hyang Tripurusa, pada Kamulan itu. Sehingga dengan demikian utuhlah pemujaan pada Sanggah Kamulan, adalah pemujaan Tuhan Tripurusa, dengan sakti (maya)nya.
Khusus palinggih Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Perkawinan Nyerod


Perkawinan Nyerod dilakukan dengan cara diam-diam atau mungkin lebih dikenal dengan istilah kawin lari, biasanya karena tidak disetujui oleh pihak keluarga perempuan. Alasan tidak direstuinya perkawinan karena perbedaan kasta/wangsa antara laki-laki dan perempuan. Seperti yang kita ketahui di Bali dikenal ada 4 kasta yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra. Brahmana, Ksatria dan Waisya lazim disebut dengan Tri Wangsa. Disebut Perkawinan Nyerod perkawinan dimana kondisi si perempuan memiliki kasta yang lebih tinggi (perempuan triwangsa) dari pada si laki-laki. Pada zaman dahulu perkawinan nyerod ini sangat dihindari dan dilarang dikarenakan adanya sanksi bagi yang melakukannya. Perkawinan Nyerod ini juga disebut sebagai Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Secara harfiah asu pundung dapat diartikan ”menggendong anjing (asu)”, sedangkan ungkapan yang kedua berarti “melompati kepala”.
Perkawinan asu pundung dan alangkahi karang hulu oleh penguasa Bali zaman itu dianggap menentang hukum alam, karena air mani laki-laki berkasta lebih rendah dialirkan ke atas melalui ovum perempuan yang kastanya lebih tinggi. Tindakan ini sama artinya dengan melangkahi kepala para bangsawan Bali.
Sanksi hukum akan dikenakan bagi pasangan yang melakukan perkawinan nyerod ini baik bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, antara lain penurunan kasta bagi mempelai perempuan, hukuman buang keluar Bali yang dikenal dengan hukuman Selong bagi kedua mempelai, bahkan sampai hukuman labuh gni dan labuh batu. Walaupun secara yuridis formal larangan Perkawinan Nyerod telah dihapus melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, namun nilai-nilai yang mendasari larangan tersebut secara sosiologis masih membekas pada sikap sebagian masyarakat Bali. Sehingga hal ini tidak menegubah cara berfikir masyarakat Bali mengenai perkawinan nyerod beda kasta. Masyarakat Bali jauh lebih senang melakukan perkawinan intrawangsa daripada perkawinan antarwangsa.
Dalam perkembangannya masih banyak kaum berkasta Brahmana yang tidak dapat menerima perkawinan nyerod ini. Dari hal inilah muncul sebuah permasalahan yang terjadi di dalam perkawinan nyerod, yaitu bagaimana nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus bercerai. Dari hal inilah muncul sebuah permasalahan yang terjadi di dalam perkawinan nyerod, yaitu bagaimana nasib para pelaku perkawinan nyerod ini ketika harus bercerai. Jika dalam perkawinan biasa, seseorang bercerai maka kedua belah pihak akan kembali ke rumahnya masing-masing namun dalam perkawinan nyerod jika terjadi perceraian pihak perempuan tidak dapat kembali ke griya/rumahnya lagi tapi sebaliknya pihak laki-laki dapat kembali ke rumahnya lagi.
Dengan kehilangan gelarnya sebagai triwangsa maka perempuan ini tidak bisa balik lagi ke keluarga asalnya sehingga apabila terjadi perceraian perempuan ini akan terlantar karena tidak bisa tinggal di rumah mantan suaminya dan tidak bisa kembali ke rumah asalnya atau biasa disebut ngutang raga atau ngumbang. Maka pada masa itu jarang ada perempuan yang melakukan perkawinan beda kasta memutuskan untuk bercerai. Diperlakukan seburuk dan sekasar apapun perempuan ini akan tetap bertahan dikarenakan jika perempuan ini bercerai maka dia akan terlantar. Dengan terlantarnya perempuan ini maka dia akan kehilangan segala bentuk hak dan kewajibannya Hal ini tentu menimbulkan masalah bagi pihak perempuan, apalagi yang terkait dengan kedudukan perempuan tersebut baik di keluarga asalnya dan dimasyarakat. Dalam perkawinan beda kasta pada masa pelarangan perkawinan beda kasta, kita bisa melihat bagaimana seseorang perempuan diperlakukan secara tidak adil.
Kedudukan perempuan yang lemah dalam perkawinan beda kasta tidak sampai berhenti sampai disini saja. Bila perempuan yang melakukan perkawinan beda kasta ini bercerai maka kedudukan perempuan ini akan terombang-ambing tidak jelas baik di keluarga maupun di masyarakat. Dalam hal perkawinan beda kasta, perceraian yang terjadi akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kedudukan perempuan. Setelah dicabutnya paswara 1927 mengenai asu pundung alangkahi karang hulu, menyebabkan perkawinan beda kasta tidak dilarang lagi untuk dilakukan dan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi. Dengan tidak dilaksanakannya lagi upacara patiwangi maka perempuan yang akan melakukan perkawinan beda kasta tidak perlu kehilangan kastanya. Hal ini menjadi sangat berarti bagi perempuan triwangsa yang melakukan perkawinan beda kasta, karena apabila terjadi perceraian maka mereka masih bisa kembali ke rumah asalnya karena masih menyandang gelar triwangsa tersebut dan kedudukan perempuan triwangsa ini pun masih diterima sebagai bagian dari keluarga. Kedudukan yang dimaksud disini adalah terkait hak dan kewajiban yang dimiliki perempuan triwangsa ini. Secara umum dapat dikatakan kewajiban (swadharma) ini meliputi aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama Hindu dan tempat suci (parahyangan) baik dalam keluarga maupun masyarakat, kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas kemanusiaan (pawongan) baik bagi keluarga sendiri maupun masyarakat dan kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas memelihara lingkungan alam (palemahan) baik untuk kepentingan keluarga maupun masyarakat.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Terkait dengan hak-haknya (swadharma) ada hubungannya dengan penerusan harta kekayaan keluarga dan leluhur serta pemanfaatan fasilitas miliki desa pakraman seperti tanah desa, tempat suci, kuburan (setra). Dengan kembalinya perempuan triwangsa ini kerumah, maka tidak ada lagi yang namanya perempuan terlantar sebagai akibat perceraian beda kasta. Kedudukan perempuan setelah terjadinya perceraian dari perkawinan beda kasta kemudian lebih diperjelas lagi dalam Keputusan Pasamuhan Agung III yang dikeluarkan Majelis Desa Pakraman pada tahun 2010.
Akibat perceraian terhadap kedudukan perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung III ini pihak perempuan triwangsa yang bercerai dari perkawinan beda kasta akan kembali ke rumah asalnya dengan status mulih deha (kembali gadis) Dengan kembali berstatus mulih deha, maka swadharma dan swadikara di rumah orang tuanya akan kembali sebagaimana ketika ia masih belum kawin. Dalam hal ini keluarga perempuan triwangsa tersebut harus mau menerima kembali hadirnya perempuan triwangsa ini ke rumah, walaupun memang tidak ada aturan yang memberikan sanksi jika keluarga tersebut tidak mau menerima kembali kehadiran perempuan triwangsa tersebut.
Terkait dengan harta bersama atau harta gunakaya akan dibagi sama rata dengan prinsip pedum pada. Hal ini tentu berbeda dengan pembagian harta gunakaya pada zaman dulu, dimana hanya pihak laki-laki yang diuntungkan dalam pembagian harta bersama ini. Namun sekarang pembagian harta guna kaya harus dibagi sama rata diantara kedua belah pihak. Mengenai pengasuhan anak pada masa sekarang ini atau setelah keluarnya Keputusan Pasamuhan Agung III ini sudah dianggap mampu menghargai posisi seorang perempuan sebagai ibu.
Pada masa lalu, pengasuhan anak adalah hak dan tanggung jawab keluarga dari bapaknya, karena didasarkan atas sistem patrilineal. Dengan adanya perceraian maka seorang ibu tidak punya lagi hubungan hukum dengan anaknya.
Namun Setelah adanya keputusan Pasamuhan Agung III maka setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Terima kasih: Gazez Bali
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Minggu, 20 Juni 2021

Tradisi Perang Tipat Desa Yeh Apit Karangasem


Masyarakat Indonesia selalu punya tradisi unik untuk bersyukur kepada Tuhan, seperti tradisi perang tipat di Desa Apit Yeh di Karang Asem. Tradisi Perang Tipat/Ketupat dalam bahasa tradisional disebut Mesantalan sebuah pesta untuk mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Tradisi ini dikenal sangat unik dan cukup menarik bagi wisatawan yang kebetulan melancong ke Karangasem.

Image by: Martawan
Tradisi Perang Tipat juga disebut dengan Mesantalan dalam Kalender Hindu Bali, tradisi ritual ini diselenggarkan pada setiap Sasih Desta atau Sasih Sadha, dan tradisi ini memiliki makna atau arti yang sangat penting bagi warga di desa ini. Menjelang hari hWarga dari empat banjar yakni Banjar Kawan, Banjar Kangin, Banjar Kaler dan Banjar Kelod sejak pagi sudah disibukkan dengan menyiapkan berbagai sarana, seperti mencari janur dan membuat ketupat serta berbagai jenis sesaji yang terbuat dari bermacam hasil bumi.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Prosesi ini diawali dengan mengarak godel atau anak sapi keliling desa sebelum kemudian godel itu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masing-masing krama desa untuk dimasak. Tepat pukul 12.00 Wita suara kulkul pun ditepak bertalu tanpa henti yang menandakan jika pesta (tradisi Perang Tipat/Mesantalan) akan segera mulai. Pukul 13.00-14.00 Wita, warga kemudian menggelar upacara mecaru dimulai dari Pura Taman, Pura Puseh dan Pura Dalem, hanya saja Ngayabnya dilaksanakan di jalan raya.
Begitu Ngayab selesai dilaksanakan, sejumlah prajuru adat langsung membentangkan tali pemisah antara dua kubu warga yang berada di utara dan selatan. Sorak bergema dan ratusan warga dari dua kubu itu langsung saling lempar dengan ketupat seukuran kepalan tangan orang dewasa. Jika terkena akan cukup sakit, tetapi bagi warga setempat, itu sama sekali tidak dirasakan karena terkena lemparan berarti berkah dan hasil panen mereka pada musim tanam yang akan datang melimpah.
Konon Perang ketupat memiliki sejarahnya; berawal dari perkawinan Ida Betara Dalem dengan putrinya Betara Dalem Selumbung. Setelah perkawinan itu berjalan, dan dalam perjalanan putrinya itu, Ida Betara Dalem Selumbung memberikan ketupat sebagai bekal. Namun setiba di pertigaan Apit Yeh, ketupat itu pun dilempar oleh sang putri sebagai penghormatan. Sejak itulah warga di desa ini mengenal dan menyelenggarakan perang ketupat, karena lemparan ketupat tersebut memiliki kekuatan spiritual bagi seluruh warga utamanya bagi kesuburan dan kesejahteraan warga desa.
Pernah suatu ketika warga di desa ini pernah sekali tidak menyelenggarakan ritual perang ketupat ini, namun secara tiba-tiba warga di desa ini mengalami paceklik yang cukup panjang, dimana seluruh tanaman pertanian seperti padi dan palawija serta hasil kebun mati dan seluruh warga mengalami gagal panen.
Dan paceklik yang dialami warga di desa ini akhirnya berakhir setelah tradisi ritual ini kembali diselenggarakan. Sementara usai tradisi perang ketupat ini dilaksanakan, warga akan kembali kerumah untuk selanjutnya mengikuti upacara Meprani dimasing-masing banjar.
Artikel diolah dari berbagai sumber.
Artikel lainnya:
  1. Mengenal Tradisi Mekotek
  2. Tradisi Upacara Neteg Pulu
  3. Tradisi Perang Tipat Desa Yeh Apit, Karangasem
  4. Tradisi Lukat Geni Desa Sampalan
  5. Tradisi Megoak-goakan Desa Panji
  6. Tradisi Nikah Massal Desa Pekraman Pengotan Bangli
  7. Tradisi Masuryak Desa Bongan

Makna dan Cara Mabija Yang Benar

Tahap terakhir persembahyang selain nunas tirtha kita juga nunas bija (mebija atau mewija). Bija atau wija didalam bahasa Sansekerta disebut gandaksata yang berasal dari kata ganda dan aksata yang artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi.

Image by: Koleksi Pribadi. Besakih 08 April 2018.
Wija atau bija biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.Wija atau bija adalah lambang kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Cara Menempatkan Bija
Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan /ke-Siwa-an. Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
  2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
  3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
  4. Di dalam mulut atau langit-langit.
  5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.
Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
  1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
  2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
  3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Kenyataannya hingga dewasa ini dalam masyarakat Hindu, selain pada titik-titik diatas. Ada juga yang meletakkan pada titik-titik yang lain. Misalnya ditaruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada juga yang menaruh pada pangkal di telingah bagian luar.
Bisa dikatakan kurang tepat menaruh bija selain pada 3 titik-titik yang telah disebutkan diatas. Karena titik-titik yang lain dalam tubuh kurang peka terhadap sifat kedewataan atau Tuhan yang ada dalam diri manusia. Sehingga cukup sulit menumbuh kembangkan sifat Kedewataan dalam diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/Ke-Siwa-aan/sifat Tuhan dalam diri. Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Memahami Sanggah Kamulan

Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula. Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
“bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing”
Artinya: Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad Khayangan Kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan.
Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma. Kamulan atau kawitan adalah merupakan sumber atau asalnya manusia. Lalu siapakah yang dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau jatma itu? Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma berarti roh. Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia itu sesungguhnya.
Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, tattwa kepatian dan Purwa bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada Sanggah Kamulan adalah Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh.
Artinya:
Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).
Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga (Lontar Gong Wesi, lembar 4b).
Artinya : nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).
Hyang Kamulan adalah Roh suci Leluhur
Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Artinya: Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sang Hyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa Sang Hyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).
Artinya: Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.
Hyang Tri Murti Dewanya Sanghyang Tri Atma
Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah Hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.
Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah: Am, Atma dewanya Brahma, Antara atma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang. Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.
Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi, yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk manusia.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen. Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala.
Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid Beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru .
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam
Artinya: Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu
Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya.
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Mengenal Keunikan Pura Nampesela Pupuan

Pernah mendengar Pura Nampesela, Pupuan? Pura Nampesela terletak diporos jalan Desa Padangan menuju Desa Kebon Padangan, tepatnya di ujung utara dari Banjar Kebon Padangan, Desa Kebon Padangan dan di wilayah Desa Pakraman Kebon Padangan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan,Bali. Pura Nampesela terbilang unik, uniknya wanita tidak diperkenankan masuk ke area pura. Aturan tidak tertulis ini sudah menjadi tradisi turun temurun di Desa Pekraman Padangan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Ini tentu menjadi pertanyaan bagi umat hindu yang datang atau mendengar cerita pertama kalinya. Jero Mangku Pasek Padangan bercerita, konon menurut cerita turun temurun dan juga dari eedan atau wewidian bahwa Ida Bathara yang berstana di Pucak Luhur Batukaru selain mempunyai banyak putra, juga memiliki salah satu putri yang mengalami ketidaksempurnaan fisik atau cacat. Sebagai orang tua Ida Bathara tentu menerima kondisi fisik putrinya dengan lapang dada. Seiring waktu setelah sang putri menginjak dewasa, sang putri mendapat hinaan/cemoohan dari putri dan wanita-wanita lain, maka sang putri diungsikan pada tempat paling sor (paling bawah), dan hal ini membuat beliau merasa sedih dan kecewa. Sejak itulah, beliau tidak bersedia ditemui wanita manapun. Sampai akhir hayatnya ada bhisama beliau, bahwa beliau akan selalu melindungi dan memberikan cahaya kedamaian kepada seluruh masyarakat Padangan, namun tetap tidak bersedia disembah oleh wanita. Kemudian beliau distanakan di Pura Nampesela, dimana pura ini dalam jajaran pura yang ada hubungannya dengan Pura Luhur Pucak Kedeton, terletak paling sor atau paling bawah.
Dari rangkaian cerita itulah, nama Pura Nampesela berasal; kata Nampi berarti menerima, kata Sela atau Cela berarti cacat. Jadi, beliau menerima keadaan fisiknya yang cacat dengan apa adanya.
Odalan Pura Nampesela dilaksanakan dalam rangkaian Karya Ida Bathara Turun Kabeh, bertepatan dengan Purnama Kadasa setiap lima tahun sekali. Dalam rangkaian piodalan Bhatara Turun Kabeh ini, lanjutnya, barulah Pura Nampesela dibuka sehingga pamedek bisa tangkil dan menghaturkan bakti persembahyangan. Biasanya pelaksanaan piodalan di Pura Nampesela akan disiapkan sejak dua minggu sebelumnya.
Meskipun tidak ada aturan tertulis bahwa wanita dilarang masuk area pura namun tidak ada satu orang krama pun yang berani melanggar keyakinan atau kepercayaan turun temurun tersebut. Sehingga, pihaknya juga tidak mengetahui pasti apa yang akan terjadi apabila hal itu dilanggar.
Kepercayaan masyarakat setempat yang diterapkan di Pura Nampesela merupakan tradisi yang patut tetap dijaga dan dihargai oleh siapapun. Bukan persoalan gender, menyimak cerita diatas dimana sang putri diungsikan ditempat paling bawah (paling sor) mengapa para pemedek (wanita) tidak menghaturkan bhakti dari tempat(area) tersebut?

Selasa, 08 Juni 2021

Beli Kendaraan Baru Jangan Lupa Banten Pasupati


Menjelang rahina Tumpek Landep biasanya banyak yang mau beli kendaraan baik itu motor atau mobil. Mempasupati kendaraan yang baru kita beli sangat wajib dilakukan tidak peduli apakah kendaraan yang dibeli baru atau bekas. Upacara Pasupati merupakan bagian dari Panca Yadnya dimana masuk kedalam upacara Dewa Yadnya. Umat Hindu memuja keagungan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Pasupati(Siwa) agar kendaraan tersebut memiliki “ikatan” atau “chemistry” dengan kita sebagai penggunanya, tujuannya tentu untuk “ngurip” atau menghidupkan jiwa dari kendaraan tersebut, sehingga senantiasa bisa bersinergi dengan manusia ketika dikendarai. Upacara Pasupati prosesinya diawali dengan NGASTAWA TIRTHA, selanjutnya dilakukan ngaturang banten pareresik, mapiuning, dan natab banten Pasupati.
Diluar sana mungkin ada yang berpikir bahwa umat Hindu menyembah motor/mobil, tentu saja ini anggapan yang keliru yang dilakukan itu adalah pemujaan kepada Hyang Widhi sebagai Sanghyang Pasupati (Dewa Siwa) dengan memohon agar diberikan kesalamatan bagi pengendaranya. Selain untuk kendaraan, banten pasupati juga wajib dibuatkan pada mesin-mesin, alat pertanian, perkakas yang terbuat dari besi. Upacara Mapasupati ini kemudian diperingati setiap 6 bulan sekali atau saat tumpek landep.
Adapun sarana banten upakara yang dibutuhkan dalam Masupati kendaraan sebagai berikut:
  1. Yang paling sederhana(KANISTAMA) adalah canang sari, dupa Pasupati dan tirtha Pasupati.
  2. Yang lebih besar(MADYA) dapat menggunakan upakara banten peras, daksina atau pejati.
  3. Yang paling besar(UTAMA) biasanya dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut Pasupati dengan kelengkapan banten prayascita, sorohan alit, banten durmanggala, dan pejati.
Mantram Masupati
Berikut mantra Masupati yang bisa digunakan saat masupati, dimana tanda titik-titik diisi permohonan yang hendak dipasupati.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Mantranya: Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang Ya Namah Svaha. Om Brahma Astra Pasupati, Visnu Astra Pasupati, Siva Astra Pasupati, Om Ya Namah Svaha.
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati,tumurun maring Sanghyang Gana, angawe Pasupati maha sakti, angawe Pasupati maha siddhi, angawe Pasupati mahasuci, angawe pangurip mahasakti, angawe pangurip mahasiddhi, angawe pangurip mahasuci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip.
Om Sanghyang Akasa Pertivi Pasupati, angurip……..Om Eka Vastu Avighnam Svaha, Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang Ang-Ung-Mang. Om Brahma Pasupati, Om Visnu Pasupati, Om Siva Sampurna Ya Namah Svaha.
Upacara Masupati adalah bentuk nyata rasa syukur kita atas peralatan yang baru dibeli atau yang telah kita miliki sekaligus permohonan kepada Hyang Widhi agar kita diberikan kesalamatan saat menggunakannya.
Artikel ini diolah dari berbagai sumber.
Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Banten Tumpek Landep

 Seperti halnya Rahina Tumpek Kandang dan Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh, Tumpek Landep dirayakan setiap 210 hari sekali atau 6 bulan sekali. Rahinan Tumpek Landep jatuh setiap rahina Saniscara (hari Sabtu) Wuku Landep secara perhitungan kalender Bali. Secara harfiah Tumpek berasal dari kata “METU” yang artinya bertemu dan kata “MPEK” yang artinya akhir, jadi rahina Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran PANCA WARA dan SAPTA WARA, dimana PANCA WARA diakhiri oleh Kliwon dan SAPTA WARA diakhiri oleh Saniscara(hari Sabtu). LANDEP berarti TAJAM atau RUNCING, itulah mengapa TUMPEK LANDEP identik dengan Upacara terhadap benda-benda pusaka yang bersifat tajam seperti keris, tombak dll.


Flickriver

Hari raya TUMPEK LANDEP merupakan rangkaian hari raya Saraswati. Pada hari TUMPEK LANDEP umat Hindu melakukan upacara terhadap semua peralatan rumah yang terbuat dari logam dan tajam seperti pisau, parang, sabit, cangkul dan peralatan pertanian yang lain. Umat Hindu melakukan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati atas anugerah ketajaman tidak saja pada peralatan-peralatan yang dimiliki namun juga ketajaman berpikir dan kecerdasan kita.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Bebantenan Tumpek landek terdiri dari beberapa sorohan yang mungkin harus disesuaikan sesuai desa, kala patra setempat. Berikut adalah banten tumpek landep:

Sesayut Jayeng Perang
Kulit sesayut dari daunan dong, tumpeng putih memuncuk barak 2 buah. Tumpeng selem memuncuk putih 1 buah. Medasar beras triwarna (injin, baas barak, baas biasa). Be ati bungkulan, yeh asibuh, muncuk dadap 11, tulung urip apasang (2), kewangen 3 (tiga) sekar pucuk bang tirta asuhun keris mewadah sibuh.

Sesayut Kesuma Yuda
Beras mepisela padma medasar beras barak, kulit sesayut busung nyuh gading, penyeneng nagasari, nyuh gading ring tengah pinaka agung, tindakan sekar mancawarna, bawang putih padang kasna, prayascita dikelilingi antuk tumpeng pancawarna metanceb pucuk bang lima katih. Getih megoreng atakir, ati dan batukan (betukan ayam) megoreng pada metakir tirta pasupati, tirta betara, tirta sulinggih sesari 76.500 kepeng, tetebusan benang hitam.

Sesayut Pasupati
Tumpeng barak amusti, kulit tebasan antuk don andong 1 ring ajeng tumpange daksina, ring bilang samping tumpenge kulit peras medaging tumpeng barak dua, soda ajengan penek barak 2, tipat kelan, tipat tampulan asiki, sampeyan nagasari penyeneng peras canang antuk don andong. Maulam ayam biing (barak) jeroan megoreng wadah taku, takir keruh meserana kacang saur. matah apalet anggen ring segehan pasupati.

Segehan Agung Pasupati
Peras barak sodan barak (sampeyan canang don andong). Daksina tampi serobong, ketipat kelan, nasi kepelan 9 kepel metatakan don andong medaging ulam jeroan matah 9 takir raung ring sowang-sowang. Asep 9 katih, nasi wong-wongan barak 5, api takep 5.

Sesayut Guru
Kulit sesayut beras akulak metatah kain putih tampelan tetebu jinah 11 kepeng. Tumpeng guru, tulung 2, kewangen 1, peras alit, pesucian, pembersihan, penyeneng, sampeyan nagasari, meulam ayam putih mulus.

Banten lain
ayaban, suci, byakawon +prayascita (anggen mereresik). Yening membanten ring mobil, genahang jayeng perang atanding.

Artikel ini diolah dari berbagai sumber.


Sabtu, 05 Juni 2021

Pura Luhur Sri Rambu Sedana Jatiluwih


Pura Luhur Sri Rambut Sedana berlokasi di lereng Gunung Batukaru, tepatnya di Desa Pekraman Jatiluwih, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. Pura yang terletak di kawasan hutan lindung ini masih sangat alami. hanya terdapat beberapa pelinggih pemujaan, yang sebagian besar masuh berupa baturan atau tahta batu, yang diyakini merupakan peninggalan tradisi megalitik di jaman perundagian.
Pura yang luasnya kurang lebih 8 are ini, merupakan salah satu stana Ida Btara Rambut Sedana. Dewa Kesejahteraan. Karenanya diyakini bahwa dengan bersembahyang di pura ini, seseorang akan dimudahkan rejeki dan kesejahteraannya.


Image by: Desa Jatiluwih
Pura Luhur Sri Rambut Sedana Jatiwulih ini sudah ada sejak tahun 1400-an, dimana pada waktu itu pura diempon oleh warga dari Desa Buduk, Badung yang mengalami kekalahan ketika melawan Raja Mengwi sehingga warga Buduk melarikan diri ke kawasan Desa Jatiluwih, yang saat itu belum bernama Jatiluwih. Sampai di kawasan Desa Jatiluwih mereka mencari nafkah penghidupan, termasuk dengan mengembangkan perkebunan di wilayah pura, sampai akhirnya mereka menemukan tumpukan batu-batu yang diyakini sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Hal itu terbukti ketika warga menyembah tumpukan batu tersebut dan warga kemudian mendapatkan rezeki. Sejak saat itu, tempat tersebut disucikan oleh warga yang masuk dalam Pasek Badak, kemudian semakin banyak didatangi oleh warga untuk memohon kesejahteraan dari warga pasek lainnya sehingga warga satu Desa kemudian mensucikan tempat tersebut.
Pura ini memiliki konsep Nyegara Gunung. Seiring berjalannya waktu, masyarakat membangun satu buah palinggih untuk pangayatan Ida Betara Segara yang lebih dikenal dengan pasimpangan Ida Betara Batu Ngaus sebagai wujud penghormatan terhadap laut dan ikan yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Selain itu juga dibangun palinggih Gerombong Nakaloka sebagai wujud penghormatan kepada hutan dan gunung.
Keberadaan Pura Luhur Sri Rambut Sedana yang dikabarkan sudah ada sejak zaman dahulu, kembali dikuatkan dengan ditemukannya ribuan uang kepeng yang tertanam dibawah pohon kelapa pada tahun 2004, saat dilakukan Pemugaran. Dipercaya uang itu tertanam bersama kelapa yang pada tahun 1933 digunakan saat Karya Ngenteg Linggih di pura tersebut.
Pura ini terdiri dari Tri Mandala, di Utama Mandala terdapat Palinggih Utama atau Palinggih Rambut Sedana, dan di belakangnya terdapat Jemeng linggih Ida Betara Sri. Kemudian ada Palinggih Pasimpangan Betara Luhur Batu Ngaus, Pasimpangan Ida Betara Gerombong Naga Loka, Pasimpangan Ida Betara Suranadi, Gedong Simpen, Gedong Jemeng, Gedong Suranadi, Pungsing Panyimpangan, Bale Piasan Ageng, dan Bale Pelaspas.
Pada Madya Mandala terdapat Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan yang berfungsi memberikan izin kepada pamedek yang datang untuk melanjutkan persembahyangan ke palinggih utama. Bale Pasayuban Pamebek dua buah dan Apit Lawang. Terakhir di Nista Mandala terdapat Bale Pasamuhan, Lumbung Agung, Bale Kulkul, Bale Gong, Dapur Suci, Bale Panegtegan, Palinggih Ida Betara Surya dan Ida Betara Candra.
Jero Mangku Gede mengatakan selain sebagai tempat untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, ada pula Palinggih Taksu tempat memohon kebijaksanaan. Di mana sekitar tahun 2007 silam, seekor burung hantu pernah bertengger pada Palinggih Taksu tersebut, kemudian tiba tiba mati, dan langsung dikubur di lokasi tersebut. Saat ditanyakan kepada orang pintar, ternyata burung hantu atau celepuk itu menyimbolkan kebijaksanaan, sehingga hingga saat ini Palinggih Taksu dipercaya sebagai tempat memohon kebijaksanaan. “Jadi, jika pamedek yang tangkil ke sini, pertama-tama bersembahyang di Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan untuk memohon izin. Setelah itu, lanjut bersembahyang di Palinggih Taksu untuk memohon kebijaksanaan, baru kemudian bersembahyang di palinggih utama,” tegasnya.
Jika dilihat dari etimologi Sri Rambut Sedana, kata Sri artinya cantik, makmur dan subur serta kemuliaan, sedangkan Sedana berarti memberi sehingga Ida Betara Sri Sedana dapat diartikan sebagai beliau pemberi kemuliaan, kemamuran, kesuburan. Maka tak heran banyak pedagang atau pelaku usaha yang pedek tangkil ke pura ini untuk memohon kemakmuran. “Jadi, bisa dikatakan yang terkait keuangan banyak yang tangkil dan mapunia ke sini. Pedagang, pengusaha, instansi keuangan, bank. dan lainnya,” ujar Jero Mangku Gede.
Tak sedikit juga pengusaha yang tangkil ketika dm mendapatkan pawisik dan bercerita jika usahanya sedang carut marut, sehingga memohon petunjuk di pura ini.
Terima kasih: Bali Express.

Visit Our Sponsor
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar