Rabu, 30 September 2020

Teori-Teori Masuknya Agama Hindu ke Indonesia



Dari lembah Sungai Sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, seperti; ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai bentuk peninggalan sejarah bercorak ke-‘Hindu’-an.



Photo: imawp29

Kehadiran budaya Hindu di Indonesia menyebabkan terjadinya akulturasi dan perubahan tatanan sosial, dan sistem religius dari Bangsa Indonesia. Akulturasi merupakan perpaduan beberapa budaya, dimana unsur-unsur kebudayaan itu menyatu dan hidup berdampingan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kebudayaan aslinya. Kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia diterima dengan tidak begitu saja melainkan dengan melalui proses pengolahan dan penyesuaian kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena;

Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan aslinya.
Kecakapan istimewa yang dimiliki Bangsa Indonesia atau lokal genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsanya.
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing “India” sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia, terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas Varna “profesi” atau yang lebih dikenal dengan nama wangsa (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:124).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Perubahan yang terjadi tidak begitu berpengaruh besar terhadap ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia telah mengenal sistim pelayaran dan perdagangan tersendiri jauh sebelum masuknya pengaruh tersebut. Sebelum masuknya pengaruh Hindu di Indonesia, sistem pemerintahan dipimpin oleh kepala suku yang dipilih karena ia dipandang memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota masyarakat/kelompok lainnya. Setelah pengaruh Hindu masuk maka berdirilah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan dari Deva yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja, sehingga memperkuat kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun serta meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku.


Agama Hindu dinyatakan masuk ke Indonesia pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis dari benda-benda purbakala pada zaman abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yajña oleh Raja Mulawarman”. Sang Mulawarman adalah raja yang berperadaban tinggi, kuat, dan berkuasa merupakan putra dari Sang Aúwawarman, dan sebagai cucu dari Sang Maharaja Kundungga. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa Raja Mulawarman melakukan yajña (Kenduri) pada suatu tempat suci untuk memuja Deva Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.


Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, seperti berakhirnya jaman prasejarah Indonesia. Perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:125).



Mengenai masuknya agama Hindu ke Indonesia, ada beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut. Teori-teori yang dimaksud antara lain:


1. Teori Brahmana;
Dikemukakan oleh J.C. Van Leur, berisi bahwa kebudayaan Hindu dibawa oleh para brahmana yang diundang oleh para kepala suku agar mereka dapat mensahkan/melegitimasi (investitur) kekuasaan mereka sebagai kepala suku di Indonesia sehingga setaraf dengan raja-raja di India. Teori ini pun dapat disanggah karena raja di Indonesia akan sangat sulit mempelajari kitab Veda dan ada pula aturan bahwa kaum Brahmana tidak diperbolehkan menyebrangi lautan, apalagi meninggalkan tanah kelahirannya


2. Teori Ksatriya;
Dikemukakan oleh F.D.K Bosch dan C.C. Berg, berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh kaum kasta Ksatria (raja, pangeran) yang melarikan diri ke Indonesia karena kalah perang/ kekacauan politik di India. Di Indonesia sendiri, mereka mendirikan kerajaan sendiri dengan bantuan masyarakat sekitar dan karena kedudukannya sebagai raja, maka penduduk pun akan pula menganut agama Hindu.

Kalangan ksatria tidak mengerti agama dan hanya mengurusi pemerintahan.
Adanya ketidakmungkinan seorang pelarian mendapat kepercayaan dan kedudukan mulia sebagai raja.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa raja di Indonesia adalah raja asli Indonesia, bukan orang India (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:126)


3. Teori Wesya;
Dikemukakan oleh N. J. Kroom, berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh para pedagang India yang singgah dan menetap di Indonesia ataupun bahkan menikah dengan wanita Indonesia. Merekalah yang mengajarkan kepada masyarakat dimana mereka singgah. Teori ini pun dapat dibantah dimana hanyalah varna Brahmana yang mampu dan bebas mengetahui isi dari kitab suci agama Hindu, veda. Ini disebabkan bahasa yang dipakai adalah bahasa kitab, Sansekerta, bukan bahasa sehari-hari, Pali


4. Teori Sudra;
Dikemukakan oleh Van Faber berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh para orang buangan berkasta Sudra (tawanan perang) yang dibuang dari India ke Nusantara. Teori ini lemah karena pada dasarnya kebudayaan Hindu bukanlah milik dan cakupan varna mereka sebab kebudayaan Hindu dianggap terlalu tinggi untuk mereka


5. Teori Arus Balik
Teori ini berisi dua cara bagaimana Agama Hindu masuk ke Indonesia, antara lain:

Para Brahmana diundang kepala suku di Indonesia untuk memberikan ajaran Hindu dan juga melakukan upacara Vratyastoma, yaitu upacara khusus untuk meng- Hindukan seseorang.
Para raja di Indonesia pergi ke India untuk mempelajari agama Hindu. Setelah menguasai agama Hindu, mereka kembali ke Indonesia, memiliki kasta Brahmana, lalu mengajarkan agama Hindu kepada masyarakatnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:127).

Dari seluruh teori yang telah disebutkan di atas, teori Brahmana adalah teori yang paling dapat diterima karena yaitu:

Agama Hindu dalam kehidupan di masyarakat segala upacara keagamaan cenderung dimonopoli oleh kaum Brahmana sehingga hanyalah Brahmana yang mungkin menyebarkan agama Hindu.
Prasasti yang ditemukan di Indonesia berbahasa Sansekerta yang merupakan bahasa kitab suci dan upacara keagamaan, bukan bahasa sehari-hari sehingga hanya dimengerti oleh Kaum Brahmana.

Diantara pendapat dan teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di atas yang paling mendukung terkait dengan masuk dan diterimanya pengaruh Hindu oleh bangsa Indonesia adalah teori brahmana. Hal ini dilandasi dengan asumsi dan pemikiran bahwa, yang paling banyak tahu tentang urusan agama adalah golongan “varna” brahmana. Varna brahmana dalam tata kehidupan masyarakat Hindu disebut-sebut sebagai kelompok masyarakat yang ahli agama.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Sedangkan teori-teori yang lainnya masing-masing memiliki kelemahan tertentu dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang dituju serta sifat-sifat Hindu itu sendiri. Demikianlah beberapa teori yang dikemukan oleh para ahli tentang bagaimana pengaruh Hindu masuk ke Indonesia pada jamannya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:128).


Perenungan Ågveda X.121.10


“Prajàpate na tvad etàny anyo viúvà jàtàni pari tà babhùva, yatkàmàs te juhumas tan no astu vayam syàma patayo rayinàm.


Terjemahan:



RELATED:
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
‘Om Hyang Prajapati, pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa, mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita- cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami’.


Referensi


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Selasa, 29 September 2020

Contoh-Contoh Orang yang Dipandang Mampu Mencapai Moksa Dalam Ajaran Agama Hindu



Tujuan hidup umat Hindu ialah dapat mewujudkan catur purusartha, kebahagiaan lahir dan batin (moksartham jagadhita). Kebahagiaan batin yang tertinggi ialah bersatunya atman dengan Brahman yang disebut moksa. Moksa atau mukti atau nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian, dan belenggu maya/penderitaan hidup keduniawian. Bersatunya atman dengan Brahman adalah tujuan terakhir atau tertinggi bagi umat Hindu.


Tujuan tertinggi umat Hindu ini dapat dicapai dengan menghayati dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar, melaksanakan sembahyang batin dengan menetapkan cipta (dharana), memusatkan cipta (dhyana) dan mengheningkan cipta (semadhi). Mokûa adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu melampaui atau lepas bebas dari segala sesuatu yang ada di dunia. Manusia tidak lagi terikat oleh keindahan dunia. Pandangan ini sejalan dengan kisah yang dialami banyak tokoh dalam cerita rama-sitha.



Foto; Dharma Yoga

Tokoh Rama, yang digambarkan sebagai seorang yang bijaksana dan tidak lagi terikat dengan hal-hal duniawi. Ketika rama dijemput adiknya dan hendak dijadikan seorang raja namun rama menolaknya. Tokoh Anoman yang digambarkan selalu taat dan setia menjalankan kewajibannya (dharma) sebagai duta Rama ketika diutus mencari kabar tentang Devi sitha yang diculik Rahwana (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 40).


Masing-masing pribadi dari umat Hindu yang telah mencapai jiwa mukti dalam hidupnya tidak lagi terikat pada gelombang kehidupan di dunia ini. Baginya bekerja adalah sebagai pemujaan kepada Tuhan dan semua hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Mereka memiliki pandangan yang sama terhadap keberhasilan dan kegagalan, terhadap suka dan duka, memiliki sifat cinta kasih terhadap semua yang ada di dunia ini. Dalam hubungan ini baca dan hayatilah sloka berikut:



Man-manà bhava mad-bhakto mad-yàji màý namoskuru, màm evai ûyasi yuktvai vam àtmànaý matparàyaóaá.


Terjemahan:


Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, sembahlah Aku sujudlah pada-Ku. Setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan, engkau akan datang padaku (Bhagawadgita IX. 34).


Seseorang yang telah mencapai jiwa mukti segala perbuatannya dipandang telah berubah menjadi Yoga dan dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi orang yang telah mencapai moksa atau kebahagiaan hidup ini, yang bersangkutan selalu berfikir, berbicara dan berbuat senafas Brahman. Orang suci yang telah mencapai kesadaran dirinya yang sejati adalah mereka yang telah mencapai jiwa mukti. Ia telah mempersembahkan setiap pikiran, ucapan dan perbuatannya kepada Tuhan, dan dengan demikian segala perbuatannya akan menjadi ibadah.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Namun bagi masyarakat kebanyakan “biasa” yang belum mencapai kesadaran jiwa mukti, maka semua yang dikerjakannya merupakan sesuatu yang masih terikat dengan hasilnya. Mereka menganggap, semua fikiran, ucapan dan pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya diharapkan memberikan fasilitas yang diinginkan. Mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada ini diliputi dan dikuasai oleh kebutuhan. Seseorang yang demikian sesungguhnya adalah orang yang masih dipenuhi oleh sifat-sifat egoisme. Pekerjaan yang dilandasi oleh rasa egoisme dapat mendatangkan malapetaka dan penderitaan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 41).



Sehubungan dengan hal itu baca, renungkan dan amalkanlah dalam hidup ini baik-baik sloka berikut:


Måityuá sarva-haraú càham udbhavaú ca bhavisyatàm, kirtiá úrir vàk cha nàrióàm småitir medhaa dhåtiá kûamà.


Terjemahan:


Aku ini kematian yang meliputi segala ciptaan, dan Aku ini asal mula yang akan ada nanti, dan dari sifat-sifat wanita, Aku adalah kemasyhuran, kemakmuran, ucapan, ingatan, kecerdasan, ketetapan dan kesabaran (Bhagawadgita X.34).



Dalam hubungan ini hendaklah mereka yang telah mencapai jiwa mukti dapat menuntun mereka-mereka yang belum mencapainya, sehingga hidupnya lebih berarti dan bermanfaat, serta secara pelan tetapi pasti akan menuju pada kesempurnaan. Berikut ini adalah beberapa contoh ilustrasi orang-orang yang dapat dipandang sudah mencapai “moksa” sebagai berikut:


Bhagawan Byasa (Wyasa)


Pada jamannya Waiwasta Manu ada yang bernama Bhagawan Byasa, putra bhagawan Parasara. Beliau telah mendapatkan sinar kesadaran bathin. Gelar beliau yang lain Sri Krsna Dwipayana, beliau adalah titisan Bhatara Wisnu. Kemudian beliau diminta oleh Dewa Brahma untuk mempelajari Weda pada jaman Waiwasta Manu.


Bhagawan Byasa mempunyai siswa empat orang masing-masing ahli dalam Veda. Antara lain Bhagawan Jemini, keahliannya adalah mempelajari kitab Samaveda. Bhagawan Pulaha menguasai isi kitab Rgveda keistimewaan beliau. Bhagawan Waisampayana menguasai dan memahami kitab Yajurveda sebagai kitab sucinya yang teristimewa. Bhagawan Sumantu (adalah) Atharwaveda pengetahuannya yang paling utama. Adapun hamba (Bhagawan Byasa) menguasai Itihasa dan Purana. (Gde dan Pudja. Gede, 1981:44).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Bhagawan Byasa adalah Maharsi yang mengumpulkan wahyu-wahyu suci Tuhan menjadi kitab suci Veda. Kebesaran jiwa Maharsi Wyasa ini menjiwai nenek moyang keturunan Bharata. Beliau adalah penegak keadilan dan kebenaran. Sari-sari ajarannya telah dikumpulkan oleh seorang Rsi, bernama Rsi Wararuci. Nama pustaka itu adalah “Sarasamuccaya”. Rsi Wararuci adalah penulis kitab Sarasamuccaya, yang kini menjadi sebagai salah satu kitab suci, sebagai penuntun jiwa dan prilaku umat manusia untuk mencapai kehidupan yang suci, kehidupan yang tidak terikat oleh hawa nafsu yang akhirnya dapat mencapai kebahagiaan abadi (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1968:39) dalam Mudana dan Ngurah Dwaja,(2015: 42).


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bhagawan Byasa adalah orang suci Hindu yang pada masa hidupnya selalu mengabdikan dirinya kepada Tuhan demi untuk kesejahteraan dan kebahagian umat manusia. Beliau adalah putra Bhagawan Parasara sebagai titisan dari Bhatara Wisnu yang oleh Dewa Brahma disuruh untuk menerima dan mempelajari veda (catur veda) sebagai wahyu Tuhan bersama empat orang muridnya. Bhagawan Byasa telah menyatu dengan Tuhan (Brahman) dengan meninggalkan hasil karyanya yang sangat bermanfaat untuk umat manusia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 42-43).
.
Dang Hyang Dwijendra


Seorang keturunan brahmana (Brahmana wangsa) bernama Nirartha adik dari Danghyang Angsoka, putra dari Danghyang Asmaranatha. Ketika Sang Nirartha sedang muda jejaka beliau mengambil istri, di Daha, putri dari Danghyang Panawaran yaitu golongan keturunan Bregu di Geria Mas Daha bernama Ida Istri Mas. Setelah bersuami-istri, Sang Nirartha dilantik (diniksa) oleh Danghyang Penawaran menjadi pendeta (Brahmana janma) diberi gelar Danghyang Nirartha. Dari perkawinan ini Danghyang Nirartha mendapat dua orang putra, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias Hyangning Salaga (yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang ajaran batin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh/ barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga Sandhi yang berarti kuntum bunga gambir, karena tampan dan gagah. Sugriwa, (1993:8) dalam Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 43).
.
Sementara itu kerusuhan yang sangat mengerikan telah melanda tanah Jawa. Banyak penduduk Majapahit berusaha menyelamatkan diri, pindah ke arah timur antara lain ke; Pasuruan, Pegunungan Tengger, Brambangan (Banyuwangi) dan sampai ada yang menyeberang ke Bali. Saat itulah Danghyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan yang disertai oleh dua orang putra-putrinya. Sementara itu istrinya disebutkan tidak turut pindah ke Pasuruan. Setelah beberapa lama di Pasuruan, Danghyang Nirartha beristrikan Ida Istri Pasuruan.


Diah Sanggawati (seorang wanita yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya, adalah nama sanjungan dari Ida Istri Pasuruan. Beliau adalah putri dari Danghyang Panawasikan, dan masih merupakan saudara sepupu dari Danghyang Nirartha. Perkawinan antara Danghyang Nirartha dengan Diah Sanggawati melahirkan dua orang putra, yang sulung bernama Ida Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) yang berarti burung yang sangat indah karena tampan dan adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan yang berarti fajar menyingsing.


Setelah beberapa lama berada di Pasuruan, kemudian Danghyang Nirartha bersama 4 (empat) orang putra-putrinya pindah ke Brambangan (Banyuwangi), namun istrinya tidak disebutkan turut. Brambangan (Blambangan) Banyuwangi pada saat itu diperintah oleh raja Sri Aji Juru. Danghyang Nirartha memperistri Sri Patni Keniten, dan dari perkawinannya melahirkan 3 (tiga) orang putra- putri. Yang sulung bernama Ida Rahi Istri, rupanya cantik dan pandai tentang ilmu kebatinan. Yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau Ida Putu Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya dan ahli ilmu gaib serta banyak hasil karya tulisannya.


Yang bungsu bernama Ida Nyoman Keniten (yang berarti tenang dan disiplin air). Sri Patni Keniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan “jempyaning ulangun” yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara. Beliau adalah adik kandung dari Sri Aji Juru, turunan raja-raja (Dalem) dan turunan brahmana, terhitung buyut dari Danghyang Kresna Kepakisan di Mojopahit, dan putri kedua dari raja Brangbangan (Sugriwa, 1993:9).


Danghyang Nirartha adalah orang suci yang mulia dan istimewa. Beliau memiliki bau keringat yang harum, bagaikan minyak mawar. Setiap orang yang duduk berdekatan dengan beliau, turut harum tanpa menggunakan minyak wangi. Setelah beberapa lama berada di Brambangan terjadilah disarmoni dengan lingkungannya. Sebab itu Danghyang Nirartha berupaya untuk pindah dari Brambangan, hendak menyeberang ke Bali bersama 7 (tujuh) orang putra- putrinya beserta istrinya Sri Patni keniten (Mudana dan Ngurah Dwaja,(2015: 43-44).


Pada suatu hari menyebranglah Sang Pendeta bersama anakistrinyamengarungi laut selat Bali (Segara Rupek) dengan mempergunakan buah labu pahit (waluh pahit) bekas kele (perahu) kepunyaan orang Desa Mejaya. Sementara itu istri dan putra-putrinya diseberangkan dengan mempergunakan perahu (jukung) bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, kepunyaan orang Desa Mejaya. Atas tuntunan dan petunjuk Ida Sang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, dengan tiupan angin barat yang baik maka tiada berapa lama penyeberangan Danghyang Nirartha beserta istri dan putra-putrinya berlangsung dan tiba di pantai Bali barat dengan selamat. Sebab itu Danghyang Nirartha di tengah lautan berjanji “tidak akan pernah mengganggu hidupnya walan pahit seumur hidupnya sampai pada turunan-turunannya”.


Dalam penyeberangannya Danghyang Nirartha tiba lebih awal di pantai barat pulau Bali. Sambil menunggu kedatangan istri dan putra-putrinya, beliau sempat menggembalakan sapi bersama para pengembala sapi di daerah itu. Lambat laun di tempat itu didirikanlah Pura Kecil yang diberi nama Purancak. Setelah kedatangan istri dan putra-putrinya atas petunjuk dari penggembala sapi, Danghyang Nirartha beserta rombongan melanjutkan perjalanannya menuju arah timur. Selama dalam perjalanan dengan menelusuri hutan belantara, berbagai macam rintangan dan hambatan berhasil dilalui beliau dengan selamat. Atas kehendak Tuhan didirikanlah Pura Melanting sebagai tempat memuja Bhatari (Dewi) Melanting. Wilayah ini sekarang dikenal dengan nama Pulaki (Mpulaki/Dalem Melanting).


Dari wilayah Pulaki, Danghyang Nirartha beserta rombongannya melanjutkan perjalanannya ke arah timur dan akhirnya sampailah di Desa Gading Wangi. Pada saat itu penduduk Desa Gading Wangi sedang tertimpa wabah penyakit yang sangat membahayakan jiwa. Atas permohonan Kepala Desa (Bendesa) Gading Wangi dan rasa belas kasihan serta kesaktian beliau (Danghyang Nirartha) berkenan mengobati masyarakat yang tertimpa penyakit hingga sembuh total. Atas mujizat kesembuhan yang dimilikinya, sejak itu beliau diberi gelar Pendeta Sakti yang baru datang (Pedanda Sakti Bawu Rawuh), yang pandai bahasa kawi (jawa kuno) raja pendeta guru agama (Danghyang Dwijendra).


Setelah beberapa lama Danghyang Dwijendra berasrama di Desa Wani Tegeh, Pangeran Desa Mas berhasrat memohon kedatangan beliau ke Desa Mas. Kedatangan Danghyang Dwijendra ke Desa Mas diketahui oleh Ki Bendesa Mundeh, di tengah perjalanan sampai di Desa Mundeh berhasrat memohon berguru kepada Danghyang Dwijendra, dengan belas kasihan beliau maka Ki Bendesa Mundeh dianugrahi debu tapak kaki beliau ketika berdiri di tengah jalan saat itu. Di tempat itu lambat laun dibangun tempat suci bernama Pura Resi atau Pura Gria Kawitan Resi sebagai tempat pemujaan Danghyang Dwijendra Sugriwa, (1993:16) dalam Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 45).


Sangat panjang perjalanan Danghyang Dwijendra dalam pengabdiannya menegakkan dharma. Dari Jawa (Majapahit/Wilwatikta) menuju arah timur melalui; Daha, Pasuruan, dan Brambangan (Banyuwangi). Dari Banyuwangi beliau menyebrang ke Bali dengan peralatan seadanya dan sampailah di Pulaki. Dari Pulaki beliau melanjutkan perjalanan menuju ke; Desa Gading Wangi, Desa Mundeh (Pura Resi), Manga Puri (Mangui), Desa Kapal (Pura Sada), Desa Tuban, Desa Buagan (Pura Batan Nyuh), Puri Arya Tegeh Kuri (Badung), Desa Mas, Puri Gelgel (Ki Gusti Panyarikan Dawuh Baleagung sebagai utusan raja), Teluk Padang (Pura Silayukti) Padangbai.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Setelah lama berasrama di Gelgel, seijin “Dalem” beliau melanjutkan perjalanan untuk menjelajah Nusa Bali. Di mulai dari Jemberana (Pura Rambut Siwi), ke Tabanan (Pura Pakendungan dan atau Pura Tanah Lot), di Badung (Pura Hulu Watu, Pura Bukit Gong, Pura Bukit Payung, Pura Sakenan {di Serangan}), di Gianyar (Pura Air Jeruk {Sukawati}, Pura Tugu {Desa Tegal Tugu}, Genta Samprangan {Desa Samprangan}, Pura Tengkulak {di Desa Syut Tulikup}), di Klungkung (Pura Batu Klotok, Pura Gowa Lawah {Desa Kusamba}), di Buleleng, Bali Utara (Pura Pojok Batu).



Dari Pura Pojok Batu (Buleleng), beliau berhasrat untuk datang ke Lombok. Selama di Lombok beliau (Danghyang Dwijendra) diberi gelar Tuan Semeru. Di Lombok (Pura Suranadi {Lombok Barat}, Labuhan Aji {tempat pertemuan Seri Aji Selaparang – Tuan Semeru di Lombok Timur}).


Setelah Danghyang Dwijendra (Tuan Semeru) melintasi Lombok, beliau melanjutkan perjalanan menuju ke Sumbawa, untuk bertemu dengan saudaranya. Namun demikian sesuai imformasi yang disampaikan oleh penduduk sekitarnya bahwa “saudara beliau sudah tiada” dan sementara itu beliau tetap melanjutkan perjalanan menuju ke (‘Gunung Tambora’, Denden Sari {gadis kecil yang mendapatkan penyembuhan dari Tuan Semeru}) konon setelah di Bali dikawinkan dengan cucu beliau bernama Ida Ketut Buruan Manuaba Sugriwa, (1993:8-50) dalam dalam Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 45-46).


Demikian perjalanan panjang Danghyang Dwijendra berawal dari Jawa (Bali – Lombok – Sumbawa) dan kembali ke Bali menuju Asrama Mas, dan sekembalinya ke Gelgel diiringkan (diantar) oleh Pangeran Dawuh menjadikan Dalem sangat gembira. Selama perjalanan beliau Danghyang Dwijendra banyak mengasilkan karya sastra (Buah Tangan Guru) yang sangat bermanfaat bagi umat sedharma. Sebelum Danghyang Dwijendra meninggalkan dunia maya ini, beliau bermaksud menyucikan (mediksa) putra-putranya dan membagikan harta warisannya yang disaksikan oleh Dalem Baturenggong.


Setelah prosesi itu selesai, Danghyang Dwijendra melanjutkan perjalanan untuk menuju alam sunya. Sampailah beliau pada penghulu sawah antara Desa Sumampan dengan Tengkulak, disana beliau disuguhi ajengan (makanan) dan lambat laun tempat itu di sebut dengan nama Pura Pangajengan. Dari tempat ini beliau melanjutkan perjalanan dan sampailah di Desa Rangkung sebelah barat yakni pelabuhan Masceti, yang lambat laun tempat ini disebut dengan nama Pura Masceti. Selama Danghyang Dwijendra bercakap-cakap dengan bhatara Masceti di pantai laut Kerobokan. Di sekitan tempat ini, pecanangan (tempat sirih dan perlengkapannya) beliau tersimpan dan dijaga oleh “Bhuto Hijo”. Lambat laun berdirilah di tempat ini Pura Peti Tenget (di tegal peti tenget).


Melalui tegal peti tenget Danghyang Dwijendra melanjutkan perjalanannya ke Pura Hulu Watu. Pada suatu hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia Danghyang Nirartha (Danghyang Dwijendra) menerima wahyu sabda Tuhan bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk pulang ke surga. Merasa bahagia suci hatinya karena saat yang dinanti-nantikan telah datang. Namun masih ada sebuah pustaka yang belum dapat diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba- tiba Mpu Danghyang melihat seorang bendega (Nelayan) bernama Ki Pasek Nambangan sedang mendayung jukungnya di laut di bawah ujung Hulu Watu itu, yang kemudian dipanggil oleh beliau. Setelah bendega itu menghadap lalu Danghyang berkata:


“Hai bendega, aku suruh engkau menyampaikan kepada anakku empu Mas di Desa Mas, katakan kepada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka untuk mereka di sini yang berisi ajaran kesaktian”.


Jawab Ki Bendega:


“Singgih pakulun sang sinuhun”, yang kemudian mohon diri setelah menyembah.


Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Danghyang Nirartha mulai melakukan yoga semashinya, bersiap untuk meninggalkan dunia ini. Beberapa saat kemudian beliau moksa ngeluhur, cepat bagaikan kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal beliau dari tempat yang agak jauh, namun yang terlihat, hanya cahaya yang cemerlang dilihat ke angkasa Sugriwa:(1993:61) dalam dalam Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 46-47).


Tentang perjalanan Danghyang Dwijendra dalam kekawin Usana Bali, ada dijelaskan sebagai berikut:


....Kunang pwa sira Danghyang Nirartha, viyoga pwa sira sakeng Wilatikta, angalih maring Pasuruwan. Wus lama sirengkana angalap pwa sira putri Pasuruwan, dê Danghyang Panawasikan, riwêkasan hana wijanira laki-laki pêtang wiji, teher inaranan Ida Kulwan, Ida Wetan, Ida Ler, Ida Lor. Wus lami pwa sirengkana, riwêkasan kinon pwa sira dê Sri Juru angalih maring Brangbangan, dera sinung putri sadhaya, tinarima pwa sira Danghyang Nirartha, hana vijanira tigang viji, têhêr inaranan Ida Têlaga, Ida Kinetên, Ni Dayu Swabhawa (Kusuma, I Nyoman Weda. 2005:58).



RELATED:
Bagian-Bagian Dasa Nyama Brata atau Bratha
Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur
Contoh Penerapan Dasa Nyama Brata (Bratha) dalam Kehidupan
..... Adava yan katakna, kumênêp wong ing jêro Brangbangan, dadya ta kesah pwa sira Danghyang Nirartha sakeng Brangbangan, mahawan pwa sira dening waluh kele wohing maja ya, ikang hastapada pinaka dayung kamodi. Kunang swami nira katêkeng putra sadhaya, wiwat dening banyaga alayar jukung beser, sira tunggal wiwat dening waluh kele. Marmene tan wênang sang Dwija anginum dening tabu tikta, apan awanira angalih Bali ring dhangu. Kunang sadateng pwa sireng Bahyaga tumedun sireng pelabuhan Purancak.]


..... Enengakêna pwa lampah irengkana, wus kalumbrah ring Gelgel, yanana Sang Pandita sakeng Yawadwipa mahasiddhi, sakti ring yoga sira, karêngo dê Sri Maharaja Wisnu Atmaka ring Gelgel, atehêr pwa sira aputusan Kyayi Panulisan Bali rajya, angaturakên sira Danghyang Nirartha (Kusuma, I Nyoman Weda. 2005:59).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Terjemahannya:


.....Selanjutnya Danghyang Nirartha pindah/pergi dari Majapahit menuju Pasuruan. Beliau agak lama menetap di sana dan kemudian kawin dengan putri Pasuruan yakni anak Danghyang Panawasikan. Dan perkawinannya itu beliau memperoleh empat orang putra laki-laki yang diberi nama Ida Kulwan, Ida Wetan, Ida Ler dan Ida Lor. Setelah beberapa lama beliau berada di sana (Pasuruan) akhirnya Danghyang Nirartha disuruh oleh Sri Juru pergi menuju Brangbangan (Blambangan). Oleh Sri Juru, Danghyang Nirartha diberikan seorang putri untuk dikawini. Dari perkawinan tersebut beliau memperoleh tiga orang putra, yang diberi nama Ida Telaga, Ida Keniten dan Ni Dayu Swabhawa.


.....Panjang kalau diceriterakan, akhirnya Danghyang Nirartha pindah dari Brangbangan mempergunakan (berkendaraan) Waluh Kele, tangan dan kaki digunakan sebagai dayung dan kemudi. Istri beserta putra-putranya diangkut oleh nelayan dengan menggunakan jukung (perahu kecil) yang bocor. Danghyang Nirartha sendirian menaiki Waluh Kele. Itulah sebabnya sang pendeta tidak boleh menyantap Waluh Kele (Labu Pahit), karena dahulu merupakan kendaraan Danghyang Nirartha menuju Bali. Adapun kedatangan beliau bersama putra-putrinya di Bali mendarat di pelabuhan Purancak.


.....Sampai di sana diceriterakan dahulu, keberadaan beliau di pulau Bali, akhirnya didengar di kerajaan Gelgel. Beliau terkenal sangat sakti dalam melaksanakan yoga. Akhirnya Sri Maharaja Wisnu Atmaka di Gelgel, mengutus Raja Kyayi Panulisan Bali untuk memohon kesediaan Danghyang Nirartha tinggal di Gelgel.


Demikianlah akhir riwayat hidup Danghyang Dwijendra. Kahyangan tempat beliau ngaluhur (moksa) kemudian disebut lengkapnya bernama Pura Luhur Huluwatu.


yad-yad vibhùtimat sattvaý úrimad ùrjitam eva và,
tat-tad evàvagaccha tvam
mama tejo-‘ýsa-úaýbhavam.


Terjemahan:
Apapun yang memiliki kemuliaan, kemakmuran dan kekuasaan; ketahuilah bahwa semuanya itu, ini berasal dari sepercik kecemerlangan-Ku, (Bhagawadgita X.41).


Demikianlah beberapa contoh orang suci yang telah mencapai jiwa mukti dalam perjalanan hidupnya yang patut dicontoh oleh kalangan masyarakat biasa yang masih sangat terikat akan duniawi. Hendaklah di antara mereka dapat saling mengisi, mengasihi, sehingga kehidupan ini berlangsung dengan damai, tenteram, harmonis saling mengasihi dan menyayangi satu dengan yang lainnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 47-49).
.




Perenungan Bhagawadgita X.20
Aham àtmà guðàkeúa sarva-bhùtàúya-sthitaá,
aham àdiú cha madhyaý ca bhùtànàm anta eva cha.


Terjemahan:


Aku adalah Sang Diri yang ada dalam hati semua makhluk, wahai Gudakesa, Aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua makhluk.


Tuhan “Brahman” telah menciptakan semua yang ada ini. Pada semua ciptaan- Nya beliau bersemayam untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Pada saatnya nanti semua yang diciptakan ini kembali kepada-Nya.



Referensi
https://www.mutiarahindu.com/2018/09/contoh-contoh-orang-yang-dipandang.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Senin, 28 September 2020

Pengertian dan Perkembangan serta Aliran Hukum Hindu



Hukum Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, dan aturan manusia sebagai warga negara ( tata negara).


Hukum Hindu juga berarti perundang–undangan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan beragama dan bermasyarakat, ada kode etik yang harus dihayati dan diamalkan sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian pemerintah dapat mempergunakan hukum ini untuk mengatur tata pemerintahan dan pengadilan, dan dapat juga mempergunakannya sebagai hukuman bagi masyarakat yang melanggarnya.



Dewa Ganesha
Foto: moon_sumo

Kehadiran Hukum Hindu dimulai dari adanya sebuah perdebatan di antara para tokoh agama pada saat itu. Berbagai tulisan yang menyangkut Hukum Hindu menjadi dan merupakan perhatian khusus bagi para Maharshi terhadap pembinaan umat manusia. Adapun nama-nama para Maharsi sebagai penulis Hukum Hindu diantaranya; Gautama, Baudhayana, Shanka-likhita, Wisnu, Aphastamba, Harita, Wikana, Paitinasi, Usanama, Kasyapa, Brhraspati dan Manu.


Dengan adanya upaya penulisan atas Hukum Hindu tampak jelas kepada kita bahwa referensi Hukum Hindu telah lama dimulai juga dengan berbagai perdebatan dan kritik masing-masing sehingga melahirkan beberapa aliran Hukum Hindu di antaranya:


Aliran Yajnyawalkya oleh Yajnyawalkya.
Aliran Mithaksara oleh Wijnaneswara.
Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:53).

Dari ketiga aliran tersebutakhirnya keberadaan hukum Hindu dapat berkembang dengan pesat khususnya di wilayah India dan sekitarnya, dua aliran yang yang terakhir yang mendapat perhatian khusus dan dengan penyebarannya yang sangat luas yaitu aliran Yajnyawalkya dan aliran Wijnaneswara (Puja, Gde. 1984:82).


Pelembagaan aliran (Yajnyawalkya dan Wijnaneswara) yang di atas sebagai sumber Hukum Hindu pada Dharmasastra adalah tidak diragukan lagi karena adanya ulasan-ulasan yang diketengahkan oleh penulis-penulis Dharmasastra sesudah Maha Rshi Manu yaitu Medhati (900 SM), Kullukabhata (120 SM), setidak-tidaknya telah membuat kemungkinan pertumbuhan sejarah Hukum Hindu dengan mengalami perubahan prinsip sesuai dengan perkembangan zaman saat itu dan wilayah penyebarannya seperti Burma, Muangthai sampai ke Indonesia.



Penggaruh Hukum Hindu sampai ke Indonesia nampak jelas pada zaman Majapahit tetapi sudah dilakukan penyesuaian atau reformasi Hukum Hindu, yaitu dipakai sebagai sumber yang berisikan ajaran-ajaran pokok Hindu yang khususnya memuat dasar-dasar umum Hukum Hindu, yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran Dharma bagi masyarakat Hindu dimasa penyebaran Agama Hindu keseluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan penyebaran Hindu, diturunkanlah undang-undang yang mengatur praja wilayah Nusantara dalam bentuk terjemahan-terjemahan kedalam bahasa Jawa Kuno. Adapun aliran yang mempengaruhi Hukum Hindu di Indonesia yang paling dominan adalah Mithaksara dan Dayabhaga.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Hukum-hukum Tata Negara dan Tata Praja serta Hukum Pidana yang berlaku sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manawadharmasastra, hal ini kemudian dikenal sebagai kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat seperti yang berkembang di Indonesia, yang khususnya dapat dilihat pada hukum adat di Bali. Istilah-istilah wilayah hukum dalam rangka tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada desa praja.


Desa praja adalah administrasi terkecil dan bersifat otonom dan inilah yang diterapkan pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti, sesana dengan prasasti- prasasti yang dapat ditemukan diberbagai daerah di seluruh Nusantara. Lebih luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan grama, dan daerah khusus ibu kota sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan dikenal dengan nama pura, penggabungan atas pengaturan semua wilayah ini dinamakan dengan istilah negara atau rastra. Maka dari itu hampir seluruh tatanan kenegaraan yang dipergunakan sekarang ini bersumber pada Hukum Hindu (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:54).




Manusia dalam pergaulan dan menjalankan kehidupan ini mereka diatur oleh undang-undang yang dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang. Lembaga pembuat undang-undang dibuat oleh manusia, oleh karena itu undang-undang adalah buatan manusia. Di samping itu ada pula undang-undang yang bersifat murni, yaitu undang-undang yang dibuat oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, yang juga disebut Wahyu Tuhan. Wahyu inilah yang dihimpun dan dikodifikasi menjadi “Kitab Suci”. Sehingga Kitab Suci adalah semacam undang-undang yang pembuatnya adalah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan dibuat oleh manusia (apauruseya).


Keharmonisan hidup ini sangat tergantung pada keberadaan hukum yang berlaku di lingkungan sekitar kita. Baik tidaknya pelaksanaan hukum tersebut juga sangat tergantung pada siapa yang menjadi pengambil keputusan dari pelaksananya. Hukum alam disebut dengan istilah Rta, dikuasai oleh “Rtavan” Tuhan Yang Maha Kuasa/Ida Sang Hyang Paramakawi sebagai penciptanya.



Demikian juga bentuk hukum yang lainnya, sangat tergantung dengan siapa pembuatnya, mengapa, dan dimana dibuatnya. Apakah hukum itu? Hukum ialah peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok agar tercipta suasana yang serasi, tertib dan aman. Hukum ini ada yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum inilah yang merupakan undang-undang.


Di dalam sebuah Negara, undang-undang dari semua undang-undang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar itu mengatur pokok-pokok yang menjadi sendi kehidupan bernegara dan dari undang-undang dasar itu dibuat undang-undang pokoknya. Seperti halnya dengan undang-undang dasar, dalam kehidupan beragama, semua peraturan dan ketentuan-ketentuan selanjutnya dirumuskan lebih terinci dengan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam kitab suci itu.


Tingkah laku manusia yang baik, yang menjadi tujuan di dalam pengaturan kehidupan ini disebut Darmika. Dharma adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung hakekat kebenaran yang menyangga masyarakat (dharma dharayate prajah). Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran ini setiap tingkah laku harus mencerminkan kebenaran hukum (dharma), artinya tidak bertentangan dengan undang-undang yang menguasainya.


Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang ditetapkan oleh penguasa, pemerintah maupun berlakunya itu secara alamiah, yang kalau perlu dipaksakan agar peraturan tersebut dipatuhi sebagaimana yang ditetapkan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:55).


Hukum sebagai peraturan hidup berfungsi membatasi kepentingan dari setiap pendukung hukum (subyek hukum), menjamin kepentingan dan hak mereka masing-masing, serta menciptakan pertalian-pertalian guna mempererat hubungan antara mereka dan menentukan arah bagi terciptanya kerjasama. Tujuan yang hendak dicapai dari adanya hukum itu adalah suatu keadaan yang damai, adil, sejahtera, dan bahagia.


Untuk tercapainya hal tersebut maka didalam hukum itu harus mengandung sanksi yang bersifat tegas dan nyata. Hukum berfungsi sebagai pengendalian sosial agar tercapai ketertiban. Ketertiban adalah merupakan syarat pokok dalam masyarakat. Agar ketertiban ini bisa tercapai maka perlu adanya kepastian hukum di dalam masyarakat, yang mampu menciptakan masyarakat yang tenang, tentram, damai, adil, sejahtera dan bahagia. Dalam ilmu hukum dibedakan antara Statuta Law dengan Common Law atau Natural Law. Statuta Law adalah hukum yang dibentuk dengan sengaja oleh penguasa, sedangkan Common Law atau Natural Law adalah hukum alam yang ada secara alamiah.


Unsur-unsur yang terpenting dalam peraturan-peraturan hukum memuat dua hal, yaitu :

Unsur-unsur yang bersifat mengatur atau normatif.
Unsur-unsur yang bersifat memaksa atau represif.
Dalam hal ini umat Hindu yang juga merupakan warga Negara Indonesia, mereka harus tunduk pada dua kekuasaan hukum, yaitu:

Hukum yang bersumber pada perundang-undangan Negara seperti: UUD, Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya.
Hukum yang bersumber pada kitab suci, sesuai dan menurut agamanya.
Kebutuhan akan pengetahuan tentang Hukum Hindu dirasakan sangat penting oleh umat Hindu untuk dipelajari dan dipahami dalam rangka melaksanakan dharma agama dan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber segala yang ada, disamping umat Hindu juga sebagai warga Negara yang terikat oleh hukum nasional. Hukum Hindu penting untuk dipelajari karena:

Hukum Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Hindu di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, khususnya pasal 29 ayat 1 dan 2, serta pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk memahami bahwa berlakunya hukum Hindu di Indonesia dibatasi oleh falsafah Negara Pancasila dan ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang Dasar 1945 (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:56).
Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum adat (Bali) dengan hukum agama Hindu atau hukum Hindu.
Untuk dapat membedakan antara adat murni dengan adat yang bersumber pada ajaran-ajaran Agama Hindu.
Muncul dan tumbuhnya aliran-aliran hukum Hindu ini adalah merupakan fenomena sejarah perkembangan hukum Hindu yang semakin meluas dan berkembang. Bersamaan dengan itu pula maka muncullah kritikus-kritikus Hindu yang membahas tentang berbagai aspek hukum Hindu, serta bertanggung jawab atas lahirnya aliran-aliran hukum tersebut. Sebagai akibatnya timbulah berbagai masalah hukum yang relatif menimbulkan realitas kaidah-kaidah hukum Hindu diantara berbagai daerah Hindu.



Dua dari aliran hukum yang muncul itu akhirnya sangat berpengaruh bagi perkembangkan hukum Hindu di Indonesia, terutama aliran Mitaksara, dengan berbagai pengadaptasiannya. Di Indonesia kita mewarisi berbagai macam rontal dengan berbagai nama, seperti: Usana, Gajahmada, Sarasamuscaya, Kutara Manawa, Agama, Adigama, Purwadigama, Krtapati, Krtasima. Di antara rontal-rontal itu yang memuat tentang sasana adalah: Rajasasana, Siwasasana, Putrasasana, Rsisasana dan yang lainnya. Semuanya itu adalah merupakan gubahan yang sebagian bersifat penyalinan dan sebagian lagi bersifat pengembangan.


Penting untuk kita ketahui sumber hukum dalam arti sejarah adalah adanya Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara-paswara yang dipergunakan sebagai yurisprudiensi hukum Hindu yang dilembagakan oleh para raja-raja Hindu. Hal semacam inilah yang nampak pada kita yang secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai hal mengenai sumber- sumber hukum Hindu berdasarkan atas sejarahnya.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Demikianlah uraian singkat dari sejarah adanya perkembangan hukum Hindu yang patut kita pedomani bersama untuk mewujudkan ketertiban umat sedunia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:57).


Renungan Menawa Dharmasastra, II. 6


“Wedo ‘khilo dharma mulam smrti sile ca tad widam, acarasca iwa sadhunam atmanasyustir ewa ca.


Terjemahan:


Seluruh Veda merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu) kemudian barulah Smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Veda serta kemudian acara tradisi dari orang- orang suci dan akhirnya atmanastusti yaitu rasa puas diri sendiri.



RELATED:
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
Perenungan.


“Prihen temen dharma dhumaranang sarat, saraga sang sadhu sireka tutana,
tan artha tan kama pidonya tan yasa, ya sakti sang Sajjana dharma raksaka”.


Terjemahan:


Usahakan benar dharma untuk memelihara dunia ini, kesenangan orang-orang bijak itu kamu harus ikuti yang tidak mementingkan harta, kesenangan nafsu maupun nama, karena itulah yang merupakan keampuhannya orang-orang bijaksana di dalam memegang dharma”.


“Saka nikang rat kita yan wenang manut, manupadesa prihatah rumaksaya,
ksaya nikang papa nahan prayojnana, jana anuragadhi tuwin kapungguha”.


Terjemahan:


Peredaran zaman dunia ini sedapat-dapatnya harus kamu ikuti benar-benar, pergunakanlah ajaran Manu untuk memelihara dunia, melenyapkan penderitaan hendaknya diusahakan, kecintaan rakyat pasti kamu peroleh (Kekawin Ramayana sargah 24 sloka 81)




Referensi
https://www.mutiarahindu.com/2018/09/pengertian-dan-perkembangan-serta.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Minggu, 27 September 2020

Sumber Hukum Hindu Menurut Veda



Hukum Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, dan aturan manusia sebagai warga negara ( tata negara).


Hukum Hindu juga berarti perundang–undangan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan beragama dan bermasyarakat, ada kode etik yang harus dihayati dan diamalkan sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian pemerintah dapat mempergunakan hukum ini untuk mengatur tata pemerintahan dan pengadilan, dan dapat juga mempergunakannya sebagai hukuman bagi masyarakat yang melanggarnya.



Foto; @ganpatimaaza

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI


Sumber Hukum menurut Veda

Dalam sloka II.6 kitab Manawadharmasastra ditegaskan bahwa, yang menjadi sumber hukum umat sedharma “Hindu” berturut-turut sesuai urutan adalah sebagai berikut:


Sruti
Smrti
Sila
Sadacara
Atmanastuti (Pudja dan Sudharta, 2004:31).

P.N. Sen, dan G.C. Sangkar, menyatakan bahwa sumber-sumber hukum Hindu berdasarkan ilmu dan tradisi adalah:



Sruti
Smrti
Sila
Sadacara
Atmanastuti
Nibanda (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 77).

Nibanda adalah nama kelompok buku atau tulisan yang dibuat oleh para ahli pada zaman dahulu yang isinya bersifat pembahasan atau kritik terhadap materi hukum yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Sruti sebagai sumber hukum Hindu pertama, sebagaimana kitab Manawadharmasastra II.10 menyatakan bahwa; sesungguhnya Sruti adalah Veda, Smrti itu Dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari pada hukum. Selanjutnya mengenai Veda sebagai sumber hukum utama, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Manawadharmasastra II.6 bahwa; seluruh Veda sumber utama dari pada hukum, kemudian barulah smrti dan tingkah laku orang-orang baik, kebiasaan dan atmanastuti.




Pengertian Veda sebagai sumber ilmu menyangkut bidang yang sangat luas sehinga Sruti dan Smrti diartikan sebagai Veda dalam tradisi Hindu. Sedangakan ilmu hukum Hindu itu sendiri telah membatasi arti Veda pada kitab Sruti dan Smrti saja. Kitab-kitab yang tergolong Sruti menurut tradisi Hindu adalah : Kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab Mantra terdiri dari : Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharwa Veda.


Smrti merupakan kitab-kitab teknis yang merupakan kodifikasi berbagai masalah yang terdapat di dalam Sruti. Smrti bersifat pengkhususan yang memuat penjelasan yang bersifat autentik, penafsiran dan penjelasan ini menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun dalam satu buku yang disebut Dharmasastra. Dari semua jenis kitab Smrti yang terpenting adalah kitab Dharmasastra, karena kitab inilah yang merupakan kitab Hukum Hindu. Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra antara lain:

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Manu
Apastambha
Baudhayana
Wasistha
Sankha Likhita
Yanjawalkya
Parasara

Dari ketujuh penulis tersebut, Manu yang terbanyak menulis buku dan dianggap sebagai standar dari penulisan Hukum Hindu itu. Secara tradisional Dharmasastra telah dikelompokkan manjadi empat kelompok menurut zamannya masing-masing yaitu:


Zaman Satya Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Manu.
Zaman Treta Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Yajnawalkya.
Zaman Dwapara Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Sankha Likhita.
Zaman Kali Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Parasara (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 78).
Sila berarti tingkah laku, susila berarti tingkah laku orang-orang yang baik atau suci. Tingkah laku tersebut meliputi pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci. Pada umumnya tingkah laku para maharsi dijadikan standar penilaian yang patut ditauladani. Kaidah-kaidah tingkah laku yang baik tersebut tidak tertulis di dalam Smrti, sehingga sila tidak dapat diartikan sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya, walaupun nilai-nilainya dijadikan sebagai dasar dalam hukum positif.


Sadacara dipandang sebagai sumber hukum Hindu positif. Dalam bahasa Jawa Kuno Sadacara disebut dåûta yang berarti kebiasaan. Untuk memahami pemikiran hukum Sadacara ini, maka hakikat dasar Sadacara adalah penerimaan Drsta sebagai hukum yang telah ada di tempat mana Hindu itu berkembang. Dengan demikian sifat hukum Hindu adalah fleksibel.


Atmanastuti artinya rasa puas pada diri sendiri. Perasaan ini dijadikan ukuran untuk suatu hukum, karena setiap keputusan atau tingkah laku seseorang mempunyai akibat. Atmanastuti dinilai sangat relatif dan subyektif, oleh karena itu berdasarkan Manawadharmasastra II.109 dan 115 menjelaskan bahwa; bila memutuskan kaidah-kaidah hukum yang masih diragukan kebenarannya, keputusan diserahkan kepada majelis yang terdiri dari para ahli dalam bidang kitab suci dan logika agar keputusan yang dilakukan dapat menjamin rasa keadilan dan kepuasan yang menerimanya.



Nibanda merupakan kitab yang berisi kritikan, gubahan-gubahan baru dengan komentar yang memberikan pandangan tertentu terhadap suatu hal yang telah dibicarakan.


Nibanda dijadikan pedoman dalam memberikan definisi dari suatu hukum atau tingkah laku sosial antar umat beragama Hindu. Istilah lain Nibanda adalah Bhasya yaitu jenis-jenis rontal yang membahas pandangan tertentu yang telah ada sebelumnya, dengan demikian Kuttaramanawa, Manusasana, Putrasasana, Rsisasana dan lain-lain, semuanya termasuk ke dalam kelompok Nibandha.

Referensi



RELATED:
Hubungan Tri Rna dengan Yadnya dalam Hindu
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri RnaNgurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Sabtu, 26 September 2020

Pengertian Moksa dan Tingkatan-Tingkatannya



Moksa merupakan bagian terakhir dari Panca Srada yaitu lima keyakinan umat Hindu. Adapun bagian dari kelima panca Srada adalah percaya adanya Brahman, percaya adanya Atman, percaya adanya Karma Pala, percaya adanya Punarbhawa, dan percaya adanya Moksa. Moksa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata “Muc” yang artinya “Membebaskan” atau “Melepaskan” (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 2).



Foto: Istimewa

Berdasarkan pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa Moksa adalah terbebasnya jiwa (atman) dari ikatan duniawi atau samsara (kelahiran kembali). Ngurah Nala dan Sudharta (2009: 41) menjelaskan apabila Atman itu sudah bersih, oleh karena Ia mentaati petujuk-petunjuk Sang Hyang Widhi (Tuhan), maka Atman itu tidak terikat dengan hokum karma, disebut Niskama Karma, dan Tidak lagi mengalami Punarbhawa, tidak mengalami Samsara. Keadaan inilah yang disebut Moksa atau kelepasan (pembebasan).


Moksa juga merupakan bagian dari Catur Purushàrtha yaitu empat tujuan hidup umat Hindu. Ada pun bagian-bagiannya adalah dharma (kebenaran), artha (kesejahteraan), kama (keinginan/kenikmatan duniawi), dan moksa (kebebasan sejati). Moksa dapat disamakan dengan nirwana, nisreyasa (keparamarthan) yang merupakan Brahman yang sangat gaib dan berada di luar pikiran manusia, dengan demikian Moksa dapat disamakan dengan Nirguna Brahman (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 2).

Alam Moksa tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, hanya orang yang mengalami yang bisa merasakan. Kata Moksa dapat juga disebut Mukti, yang berarti mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani selamanya. Orang-orang yang telah mencapai moksa (bebas dari reinkarnasi) akan mengalami kebenaran, kesadaran, kebahagian (Sat, Cit, Ananda).


Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa Moksa adalah terbebasnya Atman (jiwa) dari ikatan duniawi (maya) sehingga menyatu dengan Brahman (Tuhan). Orang yang telah mencapai Brahman akan merasakan kebahagiaan tertinggi (Sat cit ananda). Semua orang dapat mencapai tingkatan ini asalkan mengikuti ajaran agama.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Kapan Saja Manusia Bisa Mencapai Moksa


Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 3) menjelaskan bahwa semua orang pada hakikatnya dapat mencapai moksa, bila mengikuti petunjuk-petunjuk agama. Hal ini dapat terwujud bilamana seseorang telah terbebas dari keterikatan. Upaya mencapai moksa dapat dilakukan dengan cara menyadari dan berupaya menumbuh-kembangkan usaha untuk melepaskan diri yang sejati dari keterikatan. Usaha-usaha itu diantaranya; dengan berperilaku yang baik, berdana-punya, beryajna, dan tirthayatra.


Selain itu dapat juga dilakuan dengan berusaha mengendalikan sifat-sifat tri Guna yang ada dalam diri manusia, yaitu sattwam, rajas dan tamas. Usaha untuk menyeimbangkan sifat-sifat tersebut memanng sangat sulit, namun yakinlah bahwa hal tersebut dapat dilakukan dengan disiplin diri. Menghayati dan pengamalan ajaran kitab suci, melakukan pemujaan, kerja secara tulus dan iklas, serta menanamkan keyakinan pada diri kita bahwa segala sesuatu berawal dan berakhir pada Tuhan. Orang mencapai moksa bila telah menyadari dirinya yang sejati. Moksa dapat dicapai di dunia maupun setelah hidup ini berakhir sepeti disebutkan dalam Bhagawadgita, XI. 54.



“Bhaktyā tv ananyayā úakya // ahaý evam-vidho ‘rjuna, // jñātuý draûþuý cha tattvena // praveûþuý cha paraýtapa”


Artinya :


“Tetapi, melalui jalan bakti yang tak tergoyahkan Aku dapat dilihat dalam realitasnya dan juga memasukinya, wahai penakluk musuh (Arjuna) Paramtapa”.


Tingkatan-Tingkatan Moksa


Berdasarkan beberapa sumber, moksa dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan. Ada pun tingkatan-tingkatannya adalah sebagai berikut;


Menurut Sudirga (2002: 89), tingkatan moksa dapat dibedakan menjadi tiga yakni Jiwa Mukti, Wideha Mukti dan Purna Mukti. Adapun maksud dari ketiganya adalah sebagai beriku:

Jiwa Mukti, yaitu moksa yang diperoleh semasa masih hidup, dimana atman manusia tidak terpengaruh oleh gejolak indria dan maya. Moksa ini, dapat disamakan Sarupya (sadharmya) dan Samapya.
Wideha Mukti yaitu moksa yang dicapai oleh manusia semasa hidupnya, di mana atmanya telah meninggalkan badan wadagnya (jasadnya), tetapi roh yang bersangkutan masih terkena pengaruh maya yang tipis. Moksa pada tingkatan ini, atma dinyatakan setarakan dengan Brahman, tetapi belum dapat menyatu dengan-Nya, hal ini diakibatkan masih ada pengaruh maya. Moksa Widehamukti dapat disejajarkan dengan salokya.
Purna Mukti yaitu moksa yang paling sempurna, dimana atman manusia sudah bisa bersatu dengan Brahman. Moksa ini dapat diperoleh setelah meninggal. Istila Purna Mukti sejajar dengan Sayujya.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Kemudian Supartha (1991: 27) menjelaskan bahwa tingkatan moksa jika dilihat dari segi kebebasan yang dicapai Atman, maka moksa dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:

Moksa yaitu kelepasan yang masih meninggalkan badan bekas berupa jenazah atau badan kasar
Adi Moksa yaitu kelepasan dengan meninggalkan bekas berupa abu.
Parama Moksa ayitu kelepasan tanpa meninggalka bekas.

Penjelasan mengenai moksa juga terdapat dalam Brahma Purana. Titib (2006: 20) menyebutkan bahwa ada tiga tingkatan moksa yakni Moksa dari keterikatan Ajnana (kebodohan), Keselamatan lepas dari ragasamksaya (sehancurnya keterikatan yang sangat mendalam atau amat melekat, dan Trsnaksaya (mengancurkan kehausan seperti Sangat terikat denga keduniawian (Suhardana, 2010: 25).


Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 7) menjelaskan bahwa moksa dibagi menjadi empat. Adapun keempatnya adalah sebagai berikut:

Samipya yaitu moksa yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Moksa seperti ini dapat dilakukan oleh para Maharsi dan Yogi dengan cara melakukan Yoga Samadhi sehingga terlepas dari unsur-unsur maya, sehingga beliau dapat mendengar wahyu Tuhan. Dalam posisi moksa seperti ini Atman (jiwa) berada sangat dekat dengan Tuhan. Setelah Beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan para Maharsi dan Yogi kembali sebagai biasa, di mana , ikiran emosi, dan organ jasmaninya aktif kembali.
Sarupya (Sadharmya) yaitu moksa yang didapat oleh seseorang di dunia ini, karena kelahiran orang tersebut, di mana kedudukan Atman (jiwa) merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya awatara Wisnu yakni Sri Rama, Buddha dan Sri Kresna. Walaupun Atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu, namun ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia ini (maya).
Salokya yaitu moksa yang dapat dicapai oleh Atman (jiwa), di mana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Sang Hyang Widhi (Brahman). Ketika ataman mecapai posisi Moksa ini, Atman telah mencapai tingkatan Deva (Dewa) merupakan manifestasi dari Sang Hyang Widhi itu sendiri.
Sayujya yaitu moksa yang tertinggi di mana Atman (jiwa) telah dapat bersatu dengan Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Dalam keadaan seperti inilah sebutan Brahman Atman Aikyam yang artinya “Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal (satu)”.

Demikianlah tingkatan-tingkatan moksa dan pengertiannya sertakeberadaan orang yang dapat mencapai moksa, dan perlu diikuti dengan kesungguhan hati. “Karena itu penderitaan pikiran hendaklah diusahakan untuk dimusnahkan dengan kebijaksanaan, sebab tentunya lenyap oleh kebijaksanaan, seperti misalnya api yang menyala, pasti padam oleh air, jika telah musnah penderitaan pikiran, maka lenyaplah pula sakitnya badan (Sarasamuscaya, 503).”



RELATED:
Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur
Contoh Penerapan Dasa Nyama Brata (Bratha) dalam Kehidupan
Hubungan Tri Rna dengan Yadnya dalam Hindu
Referensi


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Suhardana, Komang. 2010. Moksa Brahman Atman Aikyam. Surabaya: Paramita.
Sudirga dkk., Ida Bagus, Widya Dharma Agama Hidu. Ganesa. Bandung, 2004.
Suparta dkk., Drs. I Nyoman Suda. Pendidikan Agama Hindu. Ganesa, Bandung. 1991.
Titib, I Made. 2006. Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Neraka, Moksa Dalam Svargarohanaparva. Surabaya: Paramita.
Kitab Sarasamuccaya.
Kitab Bhagavadgita.

Jumat, 25 September 2020

Contoh Bentuk Penerapan Ajaran Astangga Yoga Untuk Mencapai Hidup Bahagia Sesuai Ajaran Hindu



Untuk mewujudkan tujuan hidup umat Hindu yakni “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” atau mencapai "jagadhita" (kesejahteraan jasmani) atau "moksa" (ketentraman abadi atau kehidupan abadi) (Suhardana, 2010: 65), kitab suci agama Hindu menyediakan berbagai macam jalan. Seperti misalnya menjalankan catur marga yaitu empat jalan untuk mewujudkan kesejahteraan dan Kebahagiaan hidup manusia.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI


Foto; Istimewa

Adapun bagian-bagian dari catur Marga Yoga yakni karma marga yoga, bhakti marga yoga, jnana marga yoga, dan raja marga yoga. Karma Marga Yoga atau jalan Karma yoga yaitu jalan dengan cara melaksanakan kebaikan (dharma) dengan melaksanakan pekerjaan. Bhakti yoga yaitu jalan dengan cara sujud dan bakti berdasarkan cinta kasih kepada Tuhan. Jnana yoga yaitu jalan dengan cara mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran suci sebagai bentuk bakti kepada Tuhan. Dan Raja yoga yaitu jalan dengan cara melakukan pengedalian diri melalui tapa brata Yoga dan Samadhi (Suhardana, 2010. 31-35).


Terkhusus pada para pengikut Raja Marga Yoga berkewajiban untuk mengimplementasikan ajaran Astangga Yoga guna mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu. Ada pun ke delapan contoh penerapan ajaran Astangga Yoga untuk mencapai tujuan hidup umat Hindu diantaranya adalah sebagai berikut:


1. Yama



Yama yaitu suatu bentuk pengendalian diri pada tingkatan fisik (jasmani). Dalam tahapan ini tedapat lima bentuk larangan yang harus dilakukan diantaranya, ahimsa (dilarang membunuh), satya (dilarang berbohong), asteya (pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya), brahmacari (tidak melakukan hubungan seksual) dan aparigraha (tidak menerima pemberian dari orang lain). Kelima bagian diatas dikenal juga dengan nama Panca Yama. (Sloka Berkaitan ada di Sarasamuccaya 142 dan 259) (Ngurah Dwaja dan Mudana, 2015: 20).

2. Nyama




Nyama yaitu bentuk pengendalian diri pada tingkatan Rohani. Dalam tahapan ini terdapat lima bentuk yang disebut dengan Panca Nyama. Ada pun bagian-bagian dari Panca Nyama adalah Akrodha (tidak dikuasai kemarahan), Guru Susrusa (taat pada guru), Sauca (suci lahir bathin), Aharalaghawa (mengatur macam dan waktu makan serta tidak berfoya-foya, dan Apramada yaitu taat tanpa ketakaburan mempelajari dan mengamalkan ajaran suci (Kondra, 2015: 67). Kemudian Ngurah Dwaja dan Mudana (2015: 20-21) menjelaskan pengendalian diri pada tingkatan Rohani terdapat empat yakni a). Sauca (tetap suci lahir batin), b). Santosa (selalu puas dengan apa yang datang), c). Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan) dan Iswara pranidhana (selalu bakti kepada Tuhan). (Sloka berkaitan Sarasamuçcaya, 260)


3. Asana


Asana yaitu sikap-sikap atau posisi duduk dalam ajaran Astangga Yoga seperti misalnya Sila Sana, bajrasana, padmasana dan sukhasana. Asana dalam ajaran yoga bukan hanya pada sikap duduk tetapi juga termaksud gerakan-gerakan tubuh manusia.


4. Pranayama


Pranayama yaitu sikap menarik (puraka), menahan nafas (kumbhaka) dan mengeluarkan nafas (recaka). Proses ini dilakukan dalam posisi asana yang benar seperti sikap sila sana, bajrasana, padmasana dan sukhasana. Sehingga pikiran menjadi tenang dan seimbang.

5. Pratyahara,


Pratyahara yaitu proses pengontrolan dan pengendalian indria dari ikatan objek duniawi, sehingga dapat melihat hal-hal suci (terbebas dari ikatan maya).


6. Dharana,


Dharana yaitu proses penyatuan pikiran dengan sasaran yang diinginkan pada tingkatan rohani.


7. Dhyana


Dhyana yaitu proses pemusatan pikiran yang lebih tenang. Pada tingkatan ini, Pikiran tidak tergoyahkan kepada suatu objek. Dhyana dapat dilakukan pada Ista Devata.

8. Samadhi,



RELATED:
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII
Pengertian Dasa Nyama Brata (Bratha) dan Penjelasannya
Samadhi yaitu penyatuan sang diri sejati (Atman) dengan Tuhan (Brahman). Tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh. (Sloka berkaitan Bhagavadgita, VI.10).


Catur purusartha atau empat tujuan hidup manusia yang utama dalam agama hindu dapat dicapai dengan menjalankan ajaran Astangga Yoga yaitu delapan tahapan Yoga. Sebab dengan yoga seseorang dapat mencapai ketenangan jiwa. Untuk itu, mari kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran Astangga Yoga dengan tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan dalam hal tersebut.


Catatan:

Moksa yaitu terlepasnya jiwa atau Atman dari ikatan maya (bebas dari pengaruh karma dan punarbhawa/kelahiran kembali) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Catur purusartha adalah empat tujuan hidup manusia yang utama terdiri dari; dharma, artha, kama, dan Moksa.



Referensi


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Suhardana, Komang. 2010. Moksa Brahman Atman Aikyam. Surabaya: Paramita.
Kitab Sarasamuccaya.
Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. Bandung: -

Rabu, 23 September 2020

Bulan Dan Hari-Hari dalam Agama Hindu

 Perputaran planet-planet pada porosnya memberikan perhitungan tentang hari, bulan, jam, dan detik. Dalam satu tahun atau awarsa, terdapat 12 bulan yang telah kita ketahui bersama. Dalam agama Hindu, terdapat nama-nama bulan yang disebut sasih. Sasih yang tertuang dalam kitab suci seperti; sravana, bhadrapada, asvina, kartika, margasira, pausa, magha, phalguna, chaitra, vaisakha, jyesta, dan ashada (Wikana, 2010: 110).



Baca: Pengertian Astronomi dan Nama-Nama Planet dalam Tata Surya Hindu


Bulan-Bulan Dalam Agama Hindu


Berikut nama-nama bulan yang menggunakan bahasa Sanskṛta, Kawi, dan bahasa Indonesia, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 89).





Sasih/bulan digunakan untuk menentukan jatuhnya hari raya, sering dipakai juga untuk menentukan musim dan keadaan iklim. Misalnya, pada sasih kapat sampai kasanga adalah musim penghujan. Pada sasih kadasa sampai katiga adalah musim kemarau, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 90).


Hari-Hari dalam Agama Hindu


Kita mengenal nama-nama hari. Dalam 1 minggu ada 7 hari. Nama hari akan mempermudah kita untuk mengetahui waktu. Perputaran pagi, siang, sore, dan malam akan terjadi secara berkelanjutan. Saat malam telah berlalu, akan datang pagi dan menunjukkan bahwa hari sudah berganti. Nama-nama hari dalam agama Hindu, yakni, Rawi, Soma, Manggala, Budha, Brihaspati, Sukra dan Sani (Wikana, 2010:116).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI


Hari-hari dalam satu minggu dalam bahasa Kawi, Sanskṛta dan bahasa Indonesia tertera dalam Tabel 4.2.








Referensi:

https://www.mutiarahindu.com/2018/12/bulan-dan-hari-hari-dalam-agama-hindu.html

RELATED:
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
Pengertian dan Jenis-Jenis Tari Sakral
Pengertian Budaya dan Jenis-Jenis Tari Keagaman

Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.



Cetakan Ke-1, 2015

Cerita Bhima dan Naga Vasuki

 



Bhima sewaktu kecil suka menggoda dan mengganggu anak dari pamannya. Melihat saudaranya sering diganggu dan digoda oleh Bhima, Duryodhana sebagai kakak tertua marah. Duryodhana mulai merasa tidak suka terhadap perilaku Bhima, dan merencanakan sesuatu yang tidak baik terhadap Bhima. Bhima adalah seorang anak yang kurang dalam etika, namun sangat setia dan patuh kepada ibu dan kakaknya. Bhima adalah anak yang paling kuat di antara Pandawa. Bhima selalu menang dalam berkelahi, bergulat, bertinju dan semua permainan yang mengandalkan kekuatan. Jika mereka sedang berada di atas pohon, permainan yang paling ia sukai adalah menggoyangkan pohon dari bawah dan membuat yang lainnya terjatuh dari pohon itu. Mereka marah. Bhima memiliki energi atau tenaga yang sangat kuat. Kekuatan yang dimiliki Bhima merupakan pemberian dari ayahnya.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI



Image; mb.universe

Hati Duryodhana dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian serta kecemburuan. Duryodhana benci dengan Bhima dan memikirkan untuk membalas perbuatan Bhima pada adik-adiknya. Datanglah Sakuni, paman Duryodhana, dan makin mengobarkan percikan kebencian dalam hati Duryodhana.


Sakuni dan Duryodhana menyusun suatu rencana untuk mengalahkan Bhima. Kemudian, diatur rencana untuk menjebak Bhima agar dapat dikalahkan. Suatu hari, mereka bermain di taman dan menghabiskan hari dengan beraneka permainan. Sampai waktu menjelang malam, mereka masih asyik bermain, dan memutuskan untuk berkemah. Ketika malam telah tiba, Bhima sangat lapar dan lelah. Duryodhana membawanya ke dalam tenda dan dialah yang memberikan berbagai pilihan makanan. Bhima adalah orang yang lugu dan tanpa tipu muslihat, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 73).



DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI



Bhima tidak dapat menangkap maksud orang lain. Bhima memakan makanan itu tanpa mengetahui bahwa Duryodhana telah mencampurkan Kalakuta, racun yang mematikan padanya. Karena lelah, Bhima kecil berbaring dan tidur nyenyak. Bhima yang sedang tertidur nyenyak diikat dengan tumbuhan merayap yang amat kuat. Duryodhana kemudian menenggelamkannya ke tempat di mana ular- ular yang berbisa dan mematikan.


Waktu kembalinya ke kota pun telah tiba. Akan tetapi, Pandawa tidak melihat Bhima. Yudhistira mencari Bhima di mana-mana, Tetepi ia tidak dapat menemukannya. Yudhistira berpikir mungkin ia telah sampai ke kota. Kemudian, Yudhistira dengan terburu-buru, pulang dan bertanya pada ibunya,“ Ibu, apakah Bhima ada di sini?”


Kunti terkejut. “Tidak, ia belum kembali.” Melihat wajah Yudhistira, Kunti ketakutan. Ia memberi tahu bahwa Bhima tidak ada di mana- mana. Keempat anak laki-laki itu kembali ke tepian Gangga dan mencari saudara mereka di mana-mana.


“Bhima! Bhima!’’ Mereka memanggilnya. Namun, pencarian mereka sia-sia. Mereka kembali pulang dan memberi tahu bahwa ia tidak ada di mana-mana.


- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Bhima yang telah ditenggelamkan ke dalam air tetap tertidur dengan tangan dan kaki yang terikat dengan tumbuhan merambat. Tiba-tiba, ia merasa sesuatu telah menggigitnya. Satu per satu, ular itu mulai menggigit seluruh tubuhnya. Hal yang aneh terjadi, racun dari ular itu merupakan penawar racun yang telah dimakan oleh Bhima. Bhima bangun dan mulai membunuh ular-ular itu. Beberapa di antaranya berhasil melarikan diri masuk ke dalam kediamanan Vasuki, raja mereka, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 74).



Mereka berkata, “Ia adalah manusia atau mungkin ia adalah raja ular. Ribuan ular telah menggigitnya, tetapi, hanya membangunkannya dari tidurnya yang nyenyak. Engkau harus bertemu dengannya.”



Vasuki ditemani rakyatnya ke tempat di mana Bhima berada. Vasuki mengenali Bhima, putra Kunti, dan memeluknya. Ia berkata pada menterinya, “Berikanlah ia harta dan permata agar ia senang. Aku sangat senang padanya.”


Menteri menjawab, ”Ia adalah seorang pangeran. Permata dan harta tidak akan berguna baginya. Mengapa kita tidak memberinya obat yang akan memberinya kekuatan.”


Vasuki senang dengan saran dari menterinya. Ia menyuruh Bhima duduk menghadap ke timur dan menyuruhnya untuk meminum semangkuk obat. Bhima meminumnya dalam sekali tegukan. Ular-ular yang berkumpul di sana sangat kagum padanya.


Baca: Karakter yang Dapat Diteladani dalam Mahābhārata


Vasuki berkata dan memberi tahu Bhima, “Minumlah minuman itu. Makin banyak kamu meminumnya, kamu akan makin kuat. Setiap mangkuk akan memberimu kekuatan ribuan gajah.” Bhima meminum delapan mangkuk obat dan ia tertidur.



RELATED:
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Bhima tertidur selama delapan hari. Pada hari kedelapan, ia bangun. Bhima diberikan makanan kedewataan oleh Raja Naga dan dibawa ke permukaan sungai. Ia menemukan dirinya telah berada di tempat di mana mereka telah berkemah. Ia kembali pulang pada ibu dan kakaknya. Ia disambut dengan air mata kebahagiaan. Bhima memeluk mereka semua dan menenangkan ibunya yang sekarang tangisannya tidak dapat ditahan lagi. Bhima memberi tahu mereka tentang pengalaman yang aneh. Vidura menyarankannya untuk hati-hati terhadap kebencian Duryodhana, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 75).


Duryodhana melihat Bhima yang ia benci hidup dan sehat tanpa kekurangan apa pun. Ia telah berbahagia selama beberapa hari ini dan sekarang melihat Bhima merupakan sebuah kejutan yang teramat sangat. Ia sangat yakin bahwa ia telah berhasil dengan semua rencananya itu. Sakuni juga terkejut. Kebencian Duryodhana semakin besar saat ini. Akan tetapi, ia harus diam karena ia tahu bahwa Pandawa mengetahuinya (Subramaniam: 2003: 38-41), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 76).





Referensi:
https://www.mutiarahindu.com/2018/12/cerita-bhima-dan-naga-vasuki.html

Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015