PULAKI: Suasana di Pura Pulaki, Buleleng, yang menjadi bukti jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha. (Dian Suryantini/Bali Express)
SINGARAJA, BALI EXPRESS-Kisah berdirinya Pura Pulaki di pesisir Pantai Desa Banyupoh, Gerokgak, Buleleng, tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong (1460-1550 M).
Pura Pulaki sebenarnya merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu Pura Kerta Kawat di KM-51 dari Singaraja (sekitar 750 meter sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran.
- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI
Urut-urutan upacara yang diadakan saat piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki. Kemudian Pura Melanting dan Kerta Kawat. Lalu Pura Pemuteran, dan terakhir Pura Pabean.
Letaknya yang strategis di tepi jalan raya, sehingga tidaklah mengherankan sangat banyak mendapat kunjungan dari wisatawan asing ataupun domestik. Apalagi sudah tersedia tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.
Di kawasan Pura Pulaki, tepatnya di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa perkakas yang dibuat dari batu. Antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat dari batu lainnya.
Berdasarkan temuan itu, dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang berada di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku.
Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut sampai dengan peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi.
Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa, tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana, lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.
Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku 'Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya' yang disusun Ketut Ginarsa.
Panglingsir Pura Pulaki, Ida Bagus Mangku Kade Temaja, menceritakan, keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa dipralina-nya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama.
Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun.
- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya, dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
“Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng, dan lain-lainnya,” terangnya.
Kendati begitu, lanjut Ida Bagus Mangku Kade Temaja, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya tetap setia ngaturang bhakti kepada bhatara di Pulaki dengan naik perahu dari Pantai Kalisada.
“Namun saat itu, pura sudah tak ada lagi. Sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki, yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini,” terangnya.
Ida Bagus Mangku Kade Temaja menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pangayatan (pemujaan dari jarak jauh), karena warga tak berani masuk ke dalam hutan.
Mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk ke pedalaman hutan.
Tahun 1920, Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What.
Kawasan ini kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950, yang selanjutnya dilakukan pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Dijelaskan Ida Bagus Mangku Kade Temaja, Pura Pulaki dan pasanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran, tidak bisa dipisahkan.
Dilihat dari lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali, lanjutnya, itu termasuk konsep Sapta Loka, yakni konsep tentang Sapta Patala atau tujuh lapisan alam semesta.
“Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk, sehingga tata letak, struktur, dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang menyatu,” lanjutnya.
Ditambahkan pula, dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan, antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M.
Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama.
Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah delapan ribu orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya.
Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan palinggih yang disebut Pura Melanting.
“Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma, akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma, maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya,” tuturnya.
Di samping distanakan di Pura Melanting, ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki, dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirarta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi.
Pura Pulaki disungsung subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kerta Kawat juga termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan, untuk memohon tegaknya moral etika dan hukuman dalam berbisnis.
Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Selanjutnya Pura Gunung Gondol yang terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha, yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa.
(bx/dhi/rin/JPR)
Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya, dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
“Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng, dan lain-lainnya,” terangnya.
Kendati begitu, lanjut Ida Bagus Mangku Kade Temaja, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya tetap setia ngaturang bhakti kepada bhatara di Pulaki dengan naik perahu dari Pantai Kalisada.
“Namun saat itu, pura sudah tak ada lagi. Sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki, yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini,” terangnya.
Ida Bagus Mangku Kade Temaja menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pangayatan (pemujaan dari jarak jauh), karena warga tak berani masuk ke dalam hutan.
Mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk ke pedalaman hutan.
Tahun 1920, Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What.
Kawasan ini kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950, yang selanjutnya dilakukan pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Dijelaskan Ida Bagus Mangku Kade Temaja, Pura Pulaki dan pasanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran, tidak bisa dipisahkan.
“Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk, sehingga tata letak, struktur, dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang menyatu,” lanjutnya.
Ditambahkan pula, dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan, antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M.
Dagang Banten Bali |
Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama.
Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah delapan ribu orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya.
Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan palinggih yang disebut Pura Melanting.
“Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma, akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma, maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya,” tuturnya.
Di samping distanakan di Pura Melanting, ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki, dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirarta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi.
Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Selanjutnya Pura Gunung Gondol yang terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha, yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa.
(bx/dhi/rin/JPR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar