Pernah mendengar Pura Nampesela, Pupuan? Pura Nampesela terletak diporos
jalan Desa Padangan menuju Desa Kebon Padangan, tepatnya di ujung utara
dari Banjar Kebon Padangan, Desa Kebon Padangan dan di wilayah Desa
Pakraman Kebon Padangan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan,Bali. Pura
Nampesela terbilang unik, uniknya wanita tidak diperkenankan masuk ke
area pura. Aturan tidak tertulis ini sudah menjadi tradisi turun temurun
di Desa Pekraman Padangan.
DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Ini tentu menjadi pertanyaan bagi umat hindu yang datang atau mendengar
cerita pertama kalinya. Jero Mangku Pasek Padangan bercerita, konon
menurut cerita turun temurun dan juga dari eedan atau wewidian bahwa Ida
Bathara yang berstana di Pucak Luhur Batukaru selain mempunyai banyak
putra, juga memiliki salah satu putri yang mengalami ketidaksempurnaan
fisik atau cacat. Sebagai orang tua Ida Bathara tentu menerima kondisi
fisik putrinya dengan lapang dada. Seiring waktu setelah sang putri
menginjak dewasa, sang putri mendapat hinaan/cemoohan dari putri dan
wanita-wanita lain, maka sang putri diungsikan pada tempat paling sor
(paling bawah), dan hal ini membuat beliau merasa sedih dan kecewa.
Sejak itulah, beliau tidak bersedia ditemui wanita manapun. Sampai akhir
hayatnya ada bhisama beliau, bahwa beliau akan selalu melindungi dan
memberikan cahaya kedamaian kepada seluruh masyarakat Padangan, namun
tetap tidak bersedia disembah oleh wanita. Kemudian beliau distanakan di
Pura Nampesela, dimana pura ini dalam jajaran pura yang ada hubungannya
dengan Pura Luhur Pucak Kedeton, terletak paling sor atau paling bawah.
Dari rangkaian cerita itulah, nama Pura Nampesela berasal; kata Nampi
berarti menerima, kata Sela atau Cela berarti cacat. Jadi, beliau
menerima keadaan fisiknya yang cacat dengan apa adanya.
Odalan Pura Nampesela dilaksanakan dalam rangkaian Karya Ida Bathara
Turun Kabeh, bertepatan dengan Purnama Kadasa setiap lima tahun sekali.
Dalam rangkaian piodalan Bhatara Turun Kabeh ini, lanjutnya, barulah
Pura Nampesela dibuka sehingga pamedek bisa tangkil dan menghaturkan
bakti persembahyangan. Biasanya pelaksanaan piodalan di Pura Nampesela
akan disiapkan sejak dua minggu sebelumnya.
Meskipun tidak ada aturan tertulis bahwa wanita dilarang masuk area pura
namun tidak ada satu orang krama pun yang berani melanggar keyakinan
atau kepercayaan turun temurun tersebut. Sehingga, pihaknya juga tidak
mengetahui pasti apa yang akan terjadi apabila hal itu dilanggar.
Kepercayaan masyarakat setempat yang diterapkan di Pura Nampesela
merupakan tradisi yang patut tetap dijaga dan dihargai oleh siapapun.
Bukan persoalan gender, menyimak cerita diatas dimana sang putri
diungsikan ditempat paling bawah (paling sor) mengapa para pemedek
(wanita) tidak menghaturkan bhakti dari tempat(area) tersebut?
**Artikel diolah dari berbagai sumber
Visit Our Sponsor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar