Beberapa dari kita masih memperdebatkan masalah perbedaan kalender. Entah karena kekurangan topik pembahasan atau memang karena rasa ingin tahu. Nyatanya, edukasi dan pengayaan literasi sangatlah penting agar tidak terjadi kesalahpahaman. Karena sebagian masyarakat kita masih kekurangan edukasi dan literasi mengenai hal ini, ada baiknya topik ini saya bahas sedikit.
Permasalahannya adalah, beberapa orang kaget (setengah mati) ketika melihat kalender Jyotisha dengan nama-nama tithi, masa dan naksatra. Barangkali mereka baru kali pertama melihat kalender Jyotisha semacam itu. Reaksinya amatlah mantap dan bergetar. “Wah, ini kalender macam apa? Kok berbeda?” Ada pula yang berkata dengan manis, “Ini tidak sesuai dengan Hindu!” Yang lebih santun lagi, ada yang berseru, “Ini bukan budaya Hindu Nusantara! Ini budaya parasit!” Sungguh amat santun, berbudi luhur dan harmonis.
Sebenarnya, perhitungan apa saja yang ada dalam berbagai jenis kalender Hindu? Jenis perhitungan mana yang dipakai oleh leluhur kita di Nusantara? Mari kita bahas pelan-pelan. Mohon maaf buat Anda yang tidak kuat membaca artikel panjang.
Selama ini, beberapa kalender yang sering kita lihat antara lain kalender Masehi yang berdasarkan pada peredaran matahari (solar calendar). Kemudian, ada kalender Bali yang berdasarkan pada sekurang-kurangnya tiga jenis perhitungan yaitu berdasarkan posisi bulan (lunar calendar), posisi edar matahari, dan sistem tika. Ini yang kita kenal sebagai kalender Bali. Selain itu, ada banyak kalender tradisional di mana-mana di seluruh dunia. Kalender bangsa Tiongkok, misalnya, yang usianya nyaris 4.000 tahun, memuat perhitungan yang jauh lebih rumit. Ada pula kalender Sumeria dan Mesir kuno yang menjadi salah satu kalender kuno dengan sistem perhitungan paling kompleks pada zamannya. Jika Anda pernah mendengar kalender Maya, itu juga kalender yang kompleks berdasarkan peredaran bintang, planet dan matahari. Hebatnya, kalender bangsa Maya juga memakai sistem kalender dengan memakai perhitungan peredaran Venus, Jupiter dan gerak presesi kutub.
Kembali ke kalender Hindu yang dipakai oleh satu setengah milyar umat Hindu dunia. Kalender Bali adalah salah satu jenis kalender Hindu yang memakai sistem perhitungan berdasarkan hari pasaran dan pawukon. Ini lazim disebut tika. Selain kalender jenis ini, ada pula kalender Jyotisha, yakni kalender yang memakai sistem perbintangan (naksatra), posisi matahari, posisi bulan dan posisi planet-planet terhadap derajat bujur-lintang tertentu. Antara kalender yang kita temui setiap hari dan kalender Jyotisha memiliki beberapa perbedaan, salah satunya adalah dasar perhitungannya. Perhitungan kalender Jyotisha ini mirip dengan perhitungan bangsa Maya, Mesir kuno, Tiongkok dan Sumeria.
Kalender tika (sebagaimana yang kita kenal di Jawa dan Bali) memakai perhitungan hari pasaran yang tidak memakai pengamatan astronomi langsung (tidak berdasarkan posisi bulan terhadap garis altitude tertentu). Sementara itu, kalender Jyotisha memakai perhitungan posisi naksatra terhadap bulan. Ini yang menentukan nama tithi (hari). Jadi, kalender jyotisha dibuat berdasarkan perhitungan matematis yang rumit antara orbit bulan, matahari dan posisi bintang dalam derajat tertentu. Karena itu, untuk membuat sebuah kalender jyotisha, pengamatan objek langit secara langsung diperlukan.
Dalam kalender jyotisha, ada istilah tithi, yoga, paksa, naksatra, lagna, arunodaya, dan sebagainya. Ini adalah sistem lazim yang dipakai dalam ilmu astronomi Veda. Nama-nama bulan dalam kalender Jyotisha biasanya menggunakan bahasa Sanskerta, seperti Sravana, Jyestha, Asadha, Mrigasira dan sebagainya. Di Jawa dan Bali, ini tidak ada bedanya dengan nama-nama sasih Kasa, Karo, Kadasa dan sebagainya. Ini hanya perbedaan bahasa saja.
Lalu, apakah kalender jyotisha bukan budaya Hindu di Nusantara? Sebelum Anda terlanjur percaya dengan klaim aneh ini, izinkan saya mengutip satu saja contoh kalender yang dipakai oleh leluhur di Nusantara, yakni Mahapatih Gajah Mada. Pernyataan ini saya kutip dari Prasasti Gajah Mada untuk mendiang Raja Kertanegara dari Singasari.
Bunyinya sebagai berikut:
“i saka 1213 jyestha masa irika diwasani kamoktan paduka bhattara sang lumah i siwabuddha, swasti sri sakawarsatita 1273, waisaka masa, tithi pratipada, suklapaksa, ha, po, bu, wara, tolu, niritistha grahacara, mrigasira naksatra, saksi dewata, wayabhya mandala, sobhana yoga, sweta muhurta, brahma prawesa, kistughna karana, wrisabha rasi...”
Terjemahannya:
Pada tahun saka 1213, bulan Jyestha, pada waktu itu berpulang Paduka Raja (Kertanegara) yang disamadhikan di Siwabuddha. Selamat sentosa di tahun Saka 1273, bulan Waisak, tanggal pertama paruh bulan terang (pinanggal), haryang, Rabu Pon Tolu, bulan berada di rasi Mrigasira, dewatanya Candra, mandala barat laut, yoga Sobhana, muhurta Sweta, prawesa Brahma, karana Kistughna, rasi Taurus...”
Jika Anda perhatikan kutipan dan terjemahan prasasti tersebut, Anda akan menemukan unsur-unsur kalender Jyotisha di sana. Ada rasi, karana, yoga, naksatra, muhurta, mandala dan dewata. Semua ini adalah unsur-unsur dalam kalender Jyotisha. Selain itu, di sana ada pula unsur kebudayaan lokal, yakni perhitungan wuku dan wewaran yang saat ini kita kenal.
Dengan demikian, kalender jyotisha adalah kalender lumrah yang dipakai pada zaman Majapahit. Orang-orang pada saat itu lumrah mengenal unsur-unsur astronimi Veda, yakni karana, tithi, naksatra dan sebagainya. Contoh yang saya sampaikan dalam artikel ini hanyalah seperempat dari isi prasasti Gajah Mada. Angka tahun dan penyebutan unsur-unsur kalender jyotisha juga ada dalam lusinan prasasti lain, bahkan dari Bali sendiri. Beberapa prasasti yang memakai perhitungan Jyotisha antara lain Prasasti Sukawana, Songan, Sembiran dan Tamblingan (Gobleg). Jumlahnya ada beberapa puluh keping dan kini sebagian telah diterjemahkan.
Kesimpulannya, kalender Hindu memiliki berbagai macam tipe perhitungan dan masing-masing cara tersebut memiliki dasar perhitungan yang unik, entah sistem jyotisha atau tika. Kedua-duanya sesungguhnya dapat digabungkan sebagaimana tertuang dalam prasasti Gajah Mada. Sebelum memvonis sesuatu, ada baiknya kita melakukan riset dan memperkaya literasi kita untuk mengurangi kesalahpahaman. Komunikasi yang baik akan membawa pada pemahaman yang lebih dalam.
Demikian semoga ada manfaatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar